Mohon tunggu...
muhamad ikram pelesa
muhamad ikram pelesa Mohon Tunggu... Ilustrator - Sang Gladiator

Sedetik Melewatkan Kedzoliman, Kita Turut Melahirkan Para Penindas Baru

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Fakta Desa Fiktif dan Spekulasi Sri Muliani

14 November 2019   00:01 Diperbarui: 14 November 2019   11:20 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Sumber : Kendari Pos

Baru saja semalam pengulasan hasil investagasi jurnalis salah satu media televisi nasional dalam program FAKTA selesai, tiba-tiba publik kembali dibingungkan dengan penyataan Menteri Keuangan Sri Muliani yang membantah akan adanya desa fiktif dikonawe depan awak media di Gedung Kementerian Koordinator Perekonomian pada hari senin (11/11/2019).

Sungguh pernyataan punggawa keuangan bumi pertiwi ini ibarat menjilat ludah sendiri. Seakan-akan ini adalah lelucon dalam stand up comedy yang mesti diakhiri ditengah riuhnya tawa para audiens

Hal lain juga ditunjukan pada lambannya Progres penangan kasus dugaan desa fiktif yang tengah bergulir dimeja polda sultra, stagnan dan hampir tak ada perkembangan. ini seakan mengisaratkan bahwa tiada kesungguhan dari pihak aparat penegak hukum dalam mengungkap skandal desa fiktif yang telah menyedot anggaran milyar rupiah tersebut. 

Sebelumnya Polda Sultra telah meminta kepada BPKP Povinsi Sulawesi tenggara untuk melakukan audit besaran kerugian negara yang diakibatkan atas desa fiktif tersebut, namun sampai saat ini yang kita lihat adalah lambannya proses audit jumlah kerugian negara yang ditangani oleh Badan Pemeriksa Keuangan  Provinsi (BPKP) Sulawesi tenggara,

Seolah kasus ini begitu rumit ketimbang pengenugerahan penghargaan Opini  Wajar Tampa Pengecualian (WTP) secara beruntun diberikan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Pemerintah Kabupaten Konawe yang tengah mengalami Defisit Keuangan Daearah Ratusan Milyar rupiah, Terbelit Utang Ratusan Miliar rupiah akibat pembangunan Rumah Sakit, maraknya kasus korupsi yang menjerat para pejabat utama (Kasus Korupsi Dana Pemeliharaan Sekolah Lingkung Dinas Pendidikan Tahun 2016, Dana Penyertaan Modal Perusda Konawe Jaya Tahun 2016, Kasus Danah Hibah Tahun 2016, Kasus Tunjangan Profesi Guru Tahun 2015, Kasus Dana Blockgrand Tahun 2016) dan Honor aparat desa yang tak kunjung dibayarkan hingga saat ini. Sungguh ini sangat menimbulkan banyak spekulasi ditengah masyarakat. Mampukah BPKP Sultra memberikan hasil audit yang kredibel ditengah mesrahnya ia dengan penguasa dijazirah bumi konawe ?

Dipilihnya Brand Isu "Desa Fiktif" ditengah Arus Kuat Polemik RUU Kontroversi dan Desakan PERPU KPK.

Persoalan Desa Fiktif dalam Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa yang dinilai Bodong itu sebenarnya telah lama bergulir, mungkin sekitar 1 (satu) tahun lalu. Baik melalui investigasi, demonstrasi sampai pada pelaporan yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Indonesia Konawe (IMIK) Jakarta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dibulan mei lalu, ditempat yang sama desakan dan permemintaan ditujukan kepada lembaga Anti Rasuah tersebut untuk mengambil alih penanganan sejumlah kasus korupsi termasuk Desa Fiktif Konawe yang ditangani oleh Polda sultra. Namun ternyata KPK RI hanya sebatas membantu proses pengusutan kasus yang diduga mengakibatkan kerugian negara sampai dengan puluhan miliyar rupiah, tanpa melakukan supervisi secara totalitas.

Disadari ataupun tidak, mencuatnya kasus desa fiktif ini boleh jadi ditengah kuatnya arus protes Rancangan Undang-Undang yang dinilai kontroversi, gejolak yang ditimbulkan tidak hanya mampu menggerakkan sebagian pihak namun hampir seluruh elemen masyarakat mulai dari Mahasiswa, Buruh, Petani sampai dengan Anak STM, ditambah peristiwa tersebut diwarnai dengan insiden penembakan 2 orang mahasiswa asal kota kendari yakni Randi dan M. Yusuf Kardawi tentunya peristiwa tersebut sampai saat ini masih mneyisahkan luka mahasiswa se-nusantara terlebih kepada pihak keluarga korban yang masih merasa tidak puas atas pengusutan kasus kematian keluarga mereka, dan ini jika dibiarkan dapat menyulut api gerakan mahasiswa untuk kembali menyerukan perlawanan mereka . 

Disisi lain kembali munguatnya arus desakan kepada presiden joko widodo untuk segera mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) KPK RI, tentunya arus desakan tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab buzzernya dimotori oleh pihak-pihak yang piawai dalam memainkan conflict of interest. Selain itu juga beredarnya rumor belum tuntasnya bagi-bagi kue (jabatan dalam kabinet pemerintahan) Presiden Joko Widodo kepada sejumlah pihak yang menuntut peran dalam pemerintahanya. 

Untuk itu pemerintah mesti mencari cara untuk mengalihkan issue agar konsentrasi mayoritas publik teralihkan, tentunya issue yang dipilih mesti mampu membuat animo masyarakat tergerak untuk mencari tahu, menjadikan topik bahasan utama disetiap ruang obrolan. 

Maka dipilihlah issue Desa Fiktif selain baru, persoalan ini juga tergolong unik sebab modus dugaan korupsinya merupakan hal baru dalam persoalan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang, hingga brand ini dianggap mampu untuk mengalihkan sejenak sejumlah tekanan yang ditujukan kepada pemerintah.

Ada Upaya Pelemahan Issue Desa Fiktif

Selain pernyataan kontradiktif Menteri Keuangan Sri Muliani yang membatah sendiri pernyataannya sebelumnya dan lambannya penanganan kasus yang dilakukan kepolisian daerah sulawesi tenggara, juga terdapat operasi silent kepada sejumlah pembawa berita yang tiba-tiba menurunkan tensi penungkapan dan menyamarkan fakta-fakta atas kasus tersebut. Mengapa timbul kecurigaan demikian? 

Pada awal pengungkapan kasus desa fiktif, pressure gerakan, statement disejumlah media hingga tulisan terakhir penulis yang berjudul "Desa Fiktif, Mitos atau Fakta ? dan Perda Bodong Rumah Desa Fiktif Konawe" telah menjelaskan bahwa cikal bakal munculnya 56 desa fiktif dikonawe berasal pada Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Pada tahun 2011yang Itu yang tidak pernah masuk dalam pembahasan ataupun pengesahan di DPRD Konawe selama pada tahun 2011. Sehingga kuat dugaan bahwa Perda Nomor 7 Tahun 2011 adalah "Perda Bodong" sebab diketahui bahwa pada tahun tersebut hanya terdapat 1 (satu) Perda tentang Desa, yakni PERDA Nomor 2 Tahun 2011 tentang pembentukan dan Pendefinitifan 42 Desa.

Namun pada setiap reaksi atas peristiwa tersebut baik dalam berita media cetak, media online dan media televisi tiada satupun yang pernah menyebut ataupun mengulas posisi perda nomor 7 tahun 2011 sebagai perda bodong legal standing dari 56 desa fiktif tersebut. Padahal sangat mudah untuk mengurai persoalan desa fiktif ini, meski tanpa memakai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hal tersebut bisa kita lihat payung hukum dari 56 Desa tersebut. 

Pertama, Perda pembentukan dan pendefinitifan desa tersebut tidak ada dan Kedua, Tidak Terdaftarnya Perda Nomor 7 Tahun 2011 Sebagai Perda Tentang Desa Pada Lembaran Daerah Kabupaten Konawe, kedua fakta tersebut sangat cukup untuk menguji keberadaan 56 Desa tersebut apakah Fiktif atau telah sesuai prosedur. 

Pada Fakta lainnya terdapat Surat Nomor 140/3188 Tanggal 10 Juli tahun 2015, Perihal Rekomendasi Pemberian Kode Wilayah Desa di Kabupaten Konawe yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeridengan demikian dimasukannya Perda Nomor 7 Tahun 2011 sebagai payung hukum 56 Desa dalam perda tersebut untuk mendapatkan Kode Wilayah (Kode Desa) Pada Kementerian Dalam Negeri membenarkan bahwa pemda konawe meng"adakan" Perda Nomor 7 Tatun 2011 itu pada agenda tertentu.

Pendapat Sang Bupati Terkait Payung Hukum 56 Desa Fiktif

Pada hari senin kemarin tepatnya 11 November 2019, disebuah acara televisi swasta yang melakukan investigasi mengenai desa fiktif dikabupaten konawe dalam tayangan tersebut terdapat seassion wawancara dengan bupati konawe, Kery Saiful Konggoasa, pada kesempatan itu terungkap bahwa sang bupati memberikan keterangan berbeda ketika host tersebut menanyakan payung hukum 56 desa tersebut, KSK sapaan akrabnya secara sadar menyebutkan bahwa ke 56 desa tersebut berada dalam perda Nomor 2 Tahun 2011. 

Sementara data yang dimiliki penulis berbanding terbalik dengan pernyataan bupati konawe, dimana Perda Nomor 2 Tahun 2011 adalah tentang pembentukan dan pendefinitifan 42 Desa bukan 56 desa. Lain halnya pada perda Nomor 7 tahun 2011, perda dalam tulisan sebelumnya telah menyatakan sebagai perda bodong ini malah memayungi 56 Desa yang disebutkan oleh Bupati Konawe itu. Sehingga penulis berpendapat bahwa sang bupati diduga melakukan pembohongan publik !

Ketika KPK Ditinggal Dalam Kasus Desa Fiktif

Informasi terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membantah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut desa fiktif yang diduga menerima dana desa sudah hilang. Bahkan, hasil proses investigasi yang dilakukan komisi antirasuah, dari 34 desa, ditemukan tiga desa terbukti fiktif. 

Kata Fiktif di sini bermakna jumlah penduduk tidak sesuai dengan aturan desa yang ditentukan di dalam Undang-Undang Desa. Seperti misalnya, di dalam UU Desa pasal 8 ayat 3 menyebutkan "pembentukan baru di wilayah Sulawesi Tenggara harus memiliki minimal 400 KK atau 2.000 jiwa”. 

Dari hasil investigasi, area yang diketahui terdapat desa fiktif memang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara.

mengutip pernyataan Juru bicara komisi antirasuah pada media online www.idntimes.com, Febri Diansyah meminta agar data apapun yang mereka temukan tidak lantas dipertentangkan.  

Menurut febri perlu pisahkan hasil investigasi dengan pemeriksaan dan jika ada temuan lain dalam proses investigasi atau audit misalnya ada desa-desa lain, sebaiknya tidak dipertentangkan. Lalu, setelah ditemukan ada tiga desa yang terbukti fiktif, apakah KPK akan turun tangan secara langsung menindak dan memproses secara hukum?

Nampak Dilema Febri hanya mampu mengatakan bahwa pihaknya tak bisa menindak apabila ditemukan adanya penyelewenangan dana tersebut karena kasus dana desa fiktif dipegang oleh kepolisian.  

Sebab, fungsi mereka hanya koordinasi dan supervisi kasus itu. Perkara apakah temuan yang semula tiga desa lalu berkembang lagi, Febri menggarisbawahi hal itu tergantung bukti yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisian. Pertanyaanya, Dengan indikasi kerugiaan negara miliaran rupiah, Apakah KPK tidak bisa langsung melakukan supervisi kasus secara total ?

KPK hanya mampu mendorong dilakukannya audit menyeluruh untuk mengecek apakah terdapat desa lainnya yang fiktif dari kasus ini, ia justru mengajak kepada para pemangku kepentingan untuk melakukan audit investigasi dan mengecek apakah hanya tiga desa saja yang terindikasi fiktif. Atau ternyata ada desa lainnya yang hantu tetapi ikut menerima dana desa tersebut. 

Namun uniknya beberapa pihak kini berbalik membantah adanya dugaan penyelewengan dana desa ke desa fiktif. Kementerian Desa dan Pemukiman Tertinggal membantah ada yang disebut desa fiktif. 

Menkeu Sri Mulyani pun akhirnya mengoreksi pernyataannya sendiri dengan menyebut tidak ada lagi desa yang fiktif. Sementara, Polda Sulawesi Tenggara, daerah yang diduga terdapat desa fiktif membantah KPK ikut membantu mereka. 

Padahal diketahui bahwa Polda Sultra meminta bantuan KPK RI untuk membantu proses penanganan kasus Desa Fiktif karena dianggap rumit dan keterbatasan sumber daya untuk pengungkapan. Lantas, mengapa KPK tetap berkukuh untuk melakukan investigasi terhadap kasus ini ?

Terakhir, Dalam perkembangan kasus desa fiktif hampir semua kalangan masyarakat menilai bahwa semakin lama kasus ini bergulir tanpa sikap tegas dari KPK RI, semakin samar pula proses penyelesaian kasus desa fiktif. 

Di tengah pesimisme masyarakat saat ini, lembaga anti rasuah menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan kita untuk menegakkan supremasi hukum dinegeri ini. Sebagai anak daerah diperantauan menjadi kewajiban moril penulis untuk meneropong progres kasus-kasus daerah termasuk perkembangan penanganan kasus Desa Fiktif ini. Oleh karena itu mari kita doakan pengusutan kasus ini segera selesai, tentunya dimulai dari keseriusan Polda Sulawesi Tengara bersama BPKP Sulawesi tenggara dalam menunjukan progres pengungkapan kasus yang diduga telah merugikan negara hingga miliaran rupiah.

Penulis adalah : Muhamad Ikram Pelesa, S.Si

  • Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Indonesia Konawe (IMIK) Jakarta
  • Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI Bidang Eksternal
  • Wakil Sekretaris Jenderal PP GPII Bidang Hukum dan HAM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun