Sebelumnya juga sudah direncanakan diadakan parade drum band antar sekolah Muhammadiyah se Kabupaten Semarang, namun rencana tersebut kemudian dibatalkan mengingat keterbatasan anggaran.
Muhammadiyah itu sumber dayanya terbatas, maka harus digunakan seefektif mungkin. Kalau ormas lain biasa mengadakan seremonial dengan anggaran mencapai ratusan juta, bagi Muhammadiyah, uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk membangun sekolah. Memang seperti inilah yang dipesankan Ketua PWM Jateng yang baru, menjelang persiapan Musyda beberapa waktu sebelumnya.
“Hari ini ada tujuh Musyda di Jawa Tengah, tetapi saya memilih untuk menghadiri Musyda di Kabupaten Semarang. Saya berharap visi Islam berkemajuan muncul dari Kabupaten Semarang.” Demikian ketua PWM Jateng Drs. H. Tafsir, M.Ag mengawali sambutannya.
“Kabupaten Semarang adalah satu-satunya PDM di Jawa Tengah yang belum memiliki amal usaha di bidang kesehatan.” Sebuah sindiran agar Muhammadiyah Kabupaten Semarang memiliki amal usaha yang patut dibanggakan.
Musyda ini cukup istimewa, disamping ketua PWM Jateng, hadir pula Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Abdul Mu`ti, M.Ed. “Kalau mendirikan rumah sakit, minimal harus tipe B.” Beliau kian menyemangati gagasan tersebut.
Apa yang terjadi acara pembukaan Musyda ini bukan hanya bisa dipandang sebagai kegagalan panitia penyelenggara yang tidak mengantisipasi membludaknya pengunjung. Tetapi merupakan gambaran keberhasilan segenap warga Muhammadiyah Kabupaten Semarang dalam membangkitkan kembali semangat untuk membesarkan persyarikatan. Dengan sukarela mereka berbondong-bondong datang dari segenap penjuru kabupaten ini, termasuk datang dari cabang-cabang yang selama ini belum eksis.
Siang itu dilanjutkan pelaksanaan Musyda di SMA/SMK Muhammadiyah Sumowono, 100 meter dari lapangan tempat dilangsungkannya pembukaan.
Karena dipakai untuk Muhammadiyah dan tiga ortom sekaligus, sementara ruangan yang tersedia terbatas, Pemuda Muhammadiyah dan NA hanya menempati ruang kelas yang tidak terlalu luas untuk melaksanakan sidang, dengan estimasi jumlah peserta tidak terlalu banyak. Aula dan ruang perpustakaan yang lebih luas dipakai oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah. Sebuah potret ketimpangan regenerasi yang menimpa Muhammadiyah.
Sebuah ruang kelas yang berkapasitas 50 orang, dipakai untuk 80 orang. Terasa agak berjejal, beberapa meja dikeluarkan agar lebih banyak menampung kursi. Tetapi beberapa peserta terus menyusul berdatangan. Meski agak pengap, untungnya tidak ada peserta yang merokok. Akhirnya beberapa senior harus keluar dari ruangan, memberikan kursinya kepada peserta yang baru datang agar bisa duduk.
“Seger.” Celetuk seseorang yang baru saja keluar dari ruangan.
“Muhammadiyah KBnya berhasil.” Pembicaraan itu meluncur di teras ruangan.