Mohon tunggu...
Muhamad Fauzi
Muhamad Fauzi Mohon Tunggu... -

Bukan penulis, hanya seorang yang terdampar di dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makanan Kita yang Tersisa

30 September 2014   03:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:00 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="720" caption="Di sudut kota Milan. Mobil kecil yang sedang di-charge seperti ini aman ditinggal oleh pemiliknya, walau pun imut dan ukurannya sangat colong-able. Semoga kita penegak hukum kita bisa lebih tegas dan setia dalam meneladankan kejujuran, agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam keindahan yang aman. (sumber: FB Mario Teguh)"][/caption] Kisah berikut saya dapatkan dari Facebook Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia.  Sebuah contoh kecil, tapi seharusnya bisa lebih jauh lagi menggugah kesadaran dalam kita sebagai seorang muslim, kepekaan kita, dan mengevaluasi kekurangan kita dalam mengamalkan agama ini. Nabi kita menganjurkan agar jangan sampai ada makanan terbuang sia-sia. Jika jatuh pun sedapat mungkin dibersihkan. Tetapi kenyataannya orang lain lebih mengamalkan ajaran ini. ***

Jerman adalah sebuah negara industri terkemuka. Di negara seperti ini, banyak orang yang mengira warganya hidup berfoya-foya.

Ketika saya tiba di Hamburg, saya bersama rekan-rekan masuk ke restoran. Kami melihat banyak meja kosong. Ada satu meja di mana sepasang anak muda sedang makan. Hanya ada dua piring makanan dan dua kaleng minuman di meja mereka.

Saya bertanya dalam hati, apakah hidangan yang begitu simple itu dapat disebut romantis, dan apakah si gadis akan meninggalkan si pemuda kikir tersebut?

Kemudian ada lagi beberapa wanita tua di meja lainnya. Ketika makanan dihidangkan, pelayan membagi makanan tersebut dan mereka menghabiskan tiap butir makanan yang ada di piring mereka.

Karena kami lapar, rekan kami pesan lebih banyak makanan. Saat selesai, tersisa kira-kira sepertiganya yang tidak dapat kami habiskan di meja. Begitu kami hendak meninggalkan restoran, wanita tua yang dari meja sebelah berbicara pada kami dalam bahasa Inggris, kami dan teman-teman paham bahwa mereka tidak senang kami memubazirkan makanan.

Lalu temanku berkata kepada wanita tua itu: "Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian berapa banyak makanan yang tersisa."

Wanita-wanita itu meradang. Salah satunya segera mengeluarkan HP dan menelpon seseorang. Sebentar kemudian seorang lelaki berseragam Sekuritas Sosial pun tiba. Setelah mendengar tentang sumber masalah pertengkaran, ia menerbitkan surat denda Euro 50 (kira-kira 750.000 Rupiah) kepada  kami.

Kami semua terrdiam...

Petugas berseragam tersebut berkata dengan suara yang galak: "Pesan hanya yang sanggup anda makan, uang itu milikmu tapi sumber daya alam ini milik bersama. Ada banyak orang lain di dunia yang kekurangan. Kalian tidak punya alasan untuk mensia-siakan sumber daya alam tersebut."

Pola pikir dari masyarakat di negara makmur tersebut membuat kami semua malu, sungguh kami harus merenungkan hal ini. Kita ini dari negara yang tidak begitu makmur. Untuk gengsi, kita sering memesan banyak dan sering berlebihan saat menjamu orang.

Pelajaran ini mengajari kita untuk serius mengubah kebiasaan buruk kita.

"Money is yours but resources belong to the society."

Jadi kawan-kawan, mari mulai mengurangi pemubaziran karena, "Uang memang milikmu, tapi sumber daya alam itu milik bersama."

Orang non-muslim maju karena meninggalkan agamanya, mengambil norma Islam. Kaum muslimin mundur karena meninggalkan agamanya.

***

Sering kita menjumpai buah-buah kebaikan dalam kehidupan, tentang empati, kepedulian pada sesama dan alam sekitar, tentang kedisiplinan, keteraturan, etos kerja dan semangat hidup, juga tentang kejujuran, tanggung jawab dan amanah, justru terdapat pada mereka yang belum mengenal Islam.

Buah-buah kebaikan yang semestinya kita sebagai umat Islam lebih dulu melaksanakannya, antara keyakinan kita akan kesempurnaan Islam, ketinggian dan kemuliaannya dengan realitas bahwa kita belum mampu mengaplikasikannya secara sempurna dalam kehidupan.

Dengan Islam, dengan kesadaran akan muraqabah dan hari pembalasan, semestinya kita lebih dahulu memiliki kesadaran untuk melakukan hal-hal semacam itu. Kesadaran menjauhi sikap mubazir, menebar kemanfaatan bagi kehidupan, seperti pada perilaku tidak membuang sampah sembarangan, memiliki mental hemat energi, menjaga sungai-sungai di sekitar kita, menjauhi contek-menyontek, atau menghormati hak-hak orang lain, tetapi realitasnya berbeda.

Antara kesempurnaan Islam dan ketidaksempurnaan kita, seringkali ritual yang kita jalani belum membekas ke dalam perilaku kita sehari-hari, keshalihan kita secara ritual belum berdampak pada kesadaran sosial kita, semestinya harus membuat kita mau berbenah. Mengapa dengan Islam perilaku kita yang tidak baik belum terkikis, seperti kita belum menjadi orang yang jujur, memiliki kepedulian dan kepekaan.

Seharusnya menjadi harapan, jika Islam kita menjadi sebagaimana Islamnya Rasulullah dan para sahabat, berubah secara drastis dari kejahiliyahan menjadi manusia-manusia beradab, menjadi pribadi-pribadi yang menakjubkan. Islam menjadi keyakinan yang membekas, kekuatan dahsyat yang menumbuhkan motivasi, menemukan kesadaran baru, memberi corak yang khas, sehingga benar-benar terwujud menjadi umat terbaik.

Bagi kita, setidak-tidaknya berupaya menumbuhkan kepahaman tentang agama ini secara menyeluruh, hal-hal kecilnya yang sepele sampai perkara-perkara yang besar bagi kehidupan. mengikis sedikit demi sedikit kekurangan yang dimiliki, memperbaiki secara berangsur-angsur dari aspek-aspek yang semestinya kita mampu. Agar kita memiliki andil dalam menampilkan Islam ini dalam wajah yang sebaik-baiknya, mewujudkannya sebagai peradaban yang menakjubkan, dan Islam menyapa pada dunia dengan kebaikannya yang elok.

Sehingga bagi mereka yang belum mengenal Islam, menjumpainya dalam kesan yang luar biasa, menemukan hikmah dan kebaikannya sebagaimana menemukan mutiara kebenaran yang hakiki. Agar mereka menerima Islam, menyempurnakan kebaikan mereka baik aspek hablumminallah maupun aspek hablumminannas, menjadi kebaikan sempurna di dunia dan akhirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun