Walaupun tidak semua orang dalam umat beragama yang ikut serta dalam perselisihan ini, namun diakibatkan ‘berisiknya’ orang-orang yang tidak teredukasi dengan baik serta mudah untuk terprovokasi, mengakibatkan hal yang ditonjolkan ketika kita berbicara mengenai agama dan umat beragama adalah perselisihan, konflik, ketidakharmonisan, dan hal-hal yang sebenarnya tidak mencerminkan ajaran agama yang sebenarnya tertulis dengan jelas dalam kitab suci yaitu nilai-nilai kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan sosial tadi tidak melekat dalam pikiran dan jiwa masing-masing individu, memperkeruh perselisihan yang sudah ada.
Menurut saya, titik kesalehan paripurna seorang yang beragama adalah ketika ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan yang menjadi ruh dari ajaran agama tanpa meninggalkan akivitas ibadah yang juga tidak kalah wajib. Sehingga saya tidak bisa menjadikan orang-orang yang sangat aktif memprovokasi dalam seiap pembicaraan dan mimbar-mimbar agama sebagai panutan dalam mempelajari agama, meskipun secara keilmuan saya akui sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang sangat dalam, namun seperti yang saya paparkan diatas, bahwa kuantitas ilmu yang ia miliki tidak menjamin kualitas dan kedewasaan berpikir orang tersebut.
Kesalehan dalam agama harusnya tidak bisa dipisahkan dengan kesalehan sosial. Seperti yang sering ditekankan dalam kajian-kajian agama (baca:Islam) yaitu menjaga hubungan baik dengan Tuhan dengan taat dan rajin dalam melaksanakan ritual-ritual ibadah, serta menjaga hubungan antar sesama manusia dengan mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dan berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik baik secara ekonomi, kerukunan sosial, maupun keilmuan dan keagamaan. Maka dari hal-hal seperti itu saja, kita dapat melihat seberapa sakral ajaran agama dalam pikiran dan jiwa seseorang.
Sedikit cerita mengenai kesakralan agama dalam jiwa dan pikiran manusia, saya belajar hal tersebut dari tetangga saya ketika masih di kampung halaman. Walaupun latar belakang pendidikannya tidak berasal dari madrasah ataupun pondok pesantren, namun menurut saya orang ini memiliki kesalehan yang belum tentu saya temukan dalam diri orang lain yang memiliki pengetahuan agama yang dalam. Ia sering berkontribusi dalam membantu orang-orang yang kekurangan dalam ekonomi tanpa harus diminta, dan hal tersebut menjadi kebiasaan bagi dirinya sebagaimana aktivitas rutin, tidak hanya berupa materi, namun juga memfasilitasi orang-orang tersebut agar mampu berusaha dalam memenuhi kebutuhan ekonomi baik secara edukasi maupun fasilitas yang lainnya seperti lahan usaha dan sejenisnya.
Walaupun ia mengaku tidak menjalankan ritual ibadah yang banyak dan konsisten, namun beliau berpandangan bahwa kualitas keimanan dan seberapa penting dan sakral ajaran agama dalam dirinya bukanlah ketika ia menjalankan ritual-ritual ibadah yang banyak, namun ketika mampu mengimplelementasikan kedamaian dan kerukunan sosial serta berkontribusi dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih baik dalam berbagai macam aspek, maka disitulah kesalehan dan tingkat spiritualitas yang tinggi dapat dicapai, karena dalam kehidupan agama tidak selalu berbicara mengenai ibadah yang sifatnya individu, tetapi juga meliputi kewajiban yang harus dipenuhi dalam ruang sosial.
Jujur saja, saya bukan seorang yang bisa dikatakan baik dalam segi ibadah dan pengetahuan agama, namun hal yang saya yakini mengenai kesakralan ajaran agama adalah ketika agama sudah mengalir dalam setiap aktivitas dan terbukti dengan seberapa besar kontribusinya dalam menciptakan lingkungan umat agama yang lebih baik, baik secara sosial, kualitas ibadah, kualitas edukasi dan kualitas ekonomi. Maka dari itu saya tidak bisa menaati seseorang yang tidak memiliki kesalehan sosial ketika ia membicarakan hal-hal yang dia sendiri tidak melakukannya. Jika seseorang memiliki perhatian yang kuat dalam kesakralan ajaran agama, maka ia tidak akan memberikan nasehat kebaikan jika ia sendiri tidak menerapkannya dalam kehidupan sosial.
Dengan menghubungkan kesakralan ajaran agama dan pemahaman mengenai esensi dari ajaran agama yang mengajarkan kedamaian dan keharmonisan sosial, maka pendapat yang mengataka bahwa urusan keagamaan adalah urusan privat yang menjadi tanggung jawab pribadi harus ditinjau kembali. Menurut saya jika menyangkut hal-hal yang bersifat ritus (ibadah individual) memang harus diserahkan pada keseriusan masing-masing individu untuk menjalankannya. Namun apabila ada hal-hal yang menuntut kesalehan sosial seperti berkontribusi dalam kehidupan sosial, baik dalam lingkungan sesama agama maupun antar agama, maka hal tersebut menjadi kewajiban yang bersifat kolektif dan tidak memandang seberapa banyak pengetahuan agama yang dimiliki atau agama dan mazhab yang dianut.
Terlepas dari pandangan dan pemikiran masing-masing orang, dalam tulisan ini saya hanya mengutarakan hal-hal yang menjadi keresahan dalam diri saya sendiri mengingat dalam agama tentu kita juga berbicara tentang esensi dan nilai-nilai sakral yang ada dalam agama. Menurut saya, kesakralan nilai-nilai agama dalam jiwa dan pikiran seseorang berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang menjadi kewajiban dalam ajaran agama terlepas apapun agama dan mazhab yang dianut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H