Ketika kita berbicara mengenai nilai-nilai sakral dalam agama, maka orang yang paling dekat untuk dijadikan rujukan adalah Mircea Eliade. Ia menerangkan bahwa ada dua dimensi berbeda dalam kehidupan kita ketika bersinggungan dengan nilai-nilai ajaran agama, yaitu dimensi ‘dunia biasa’ dan ‘dunia sakral’. Hal ini dimaksudkan agar ketika kita berusaha mendalami nilai-nilai yang ada dibalik sebuah fenomena keagamaan maupun hal-hal semacamnya, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang seharusnya sakral malah menjadi nilai yang cukup remeh dengan dalih menyederhanakan nilai-nilai kegamaan tersebut agar dapat dipahami oleh orang banyak.
Walaupun keputusan untuk menyederhanakan konsep yang diajarkan oleh agama agar mudah dipahami misalnya untuk kepentingan mengajar orang-orang yang baru saja berpindah agama (dalam konteks agama Islam yaitu mualaf) itu diserahkan oleh orang yang mengajar yaitu pemuka agama seperti ustadz atau kyai yang bertanggung jawab atas edukasi agama si mualaf tersebut. Namun bagi orang-orang yang memang fokus untuk mempelajari agama dan bukan dalam tahap awam atau pemula seperti mualaf tadi, memang harus ditekankan bahwa setiap nilai-nilai yang diajarkan oleh agama memiliki nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa dianggap remeh.
Selain itu, ketika kita berusaha menyederhanakan ajaran agama, khususnya bagi orang yang sudah beragama sejak lama tersebut maka bisa menimbulkan salah pemaknaan, dalam artian bahwa si pembelajar tidak lagi mampu memahami kesakralan ajaran agamanya sendiri sehingga bisa menimbulkan sikap meremehkan atau tidak menghargai agama sebagai hal yang harus melekat dalam jiwanya, sehingga ketika dihadapkan dengan hal-hal yang sifatnya kebutuhan akademik dan edukasi kepada masyarakat yang lebih luas maka ia tidak mampu mengajarkan nilai-nilai agama secara akademik dan formal dengan menekankan elemen yang sakral dalam ajaran agama tersebut.
Maka dari itu kita sering menemukan kasus-kasus dimana orang-orang tidak menghargai waktu-waktu ibadah bahkan tidak bisa menghargai orang lain yang sedang beribadah, misalnya merekam orang yang sedang shalat dengan konteks bercanda, atau menjadikan ajaran agama yang bersifat spiritual sebagai candaan tanpa konteks dan tujuan edukasi.Â
Menurut saya hal itu sangat disayangkan, dimana sebagian teman-teman kita yang memiliki keyakinan kuat akan ajaran agamanya menjadi risih dengan orang-orang yang membuat candaan-candaan tersebut. Feedback yang dihasilkan juga tidak bagus dan dapat menjadi sumber permusuhan dan konflik dalam lingkungan agama, ditambah dengan oknum-oknum provokator semakin memperparah konflik yang tercipta.
Dari paragraf diatas saja dapat diketahui bahwa dengan sebuah candaan akibat tidak memahami betapa sakralnya sebuah kegiatan ibadah dalam agama mampu menyebabkan konflik yang sangat serius dan mampu merusak keutuhan dan kerukunan dalam lingkungan sosial.Â
Golongan yang satu mencela golongan yang lain, sehingga esensi agama yang selalu mengajarkan kebaikan dan keharmonisan sosial tidak akan terlihat, karena saya yakin, apapun agamanya pasti mengajarkan tentang kebaikan dan kerukunan sosial, namun dengan adanya oknum-oknum yang tidak teredukasi dengan baik mengenai nilai-nilai agama, maka dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan perpecahan dalam lingkungan sosial, walaupun agamanya sama.
Selain permasalahan diatas, menurut saya perbedaan-perbedaan dalam mazhab atau referensi sebagai tolak ukur pemikiran juga terjadi dikarenakan nilai-nilai agama yang diajarkan, khususnya pada dewasa ini, tidak menekankan esensi dan nilai-nilai kesakralan yang menjadi ruh dalam aktivitas keagamaan. Hal ini diperparah oleh para pengajar agama yang seharusnya mengajak kepada persatuan dan kerukunan umat beragama, justru malah menjadi provokator yang dapat membuat orang-orang awam yang masih harus diedukasi dengan baik, malah terlibat atau bahkan menciptakan permusuhan dalam lingkungan sesama agama.
Saya sendiri sering menyaksikan teman-teman saya yang berbeda mazhab terlibat dalam pertengkaran dan perselisihan hanya dikarenakan konflik dalam pembacaan basmalah pada surah Al-Fatihah dalam shalat. Menurut saya tindakan seperti itu dikarenakan oknum-oknum pengajar (baca: ustadz) yang tidak solutif dan mendamaikan serta mengedukasi dengan baik yang menekankan esensi dan nilai-nilai sakral sebuah aktivitas ibadah, malah melakukan branding terhadap orang-orang yang berbeda mazhab dan mengajarkan fanatik buta terhadap satu mazhab. Hal ini tentu tidak mampu menciptakan lingkungan umat agama yang solid dan memiliki rasa kekeluargaan sesama agama, hal ini justru memertajam permusuhan dan betapa rendahnya literasi agama dalam ruang lingkup spiritual walaupun berlabel pemuka agama.
Saya merasa, bahwa sejauh apa dan sebanyak apa buku yang dipelajari oleh seorang penuntut ilmu agama, tidak menjamin kedewasaan berpikir bagi orang tersebut agar menciptakan perdamaian dan keharmonisan sosial dalam ruang lingkup umat beragama, buktinya seperti yang saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa teman-teman saya yang merujuk pada pengajaran orang-orang yang berilmu dalam agama namun tidak memiliki kedewasaan berpikir untuk mengajarkan hal yang bersifat esensial dan sakral bagi para muridnya, menciptakan konflik tak berujung dalam lingkungan kehidupan sosial para pengikutnya, mereka terkotak-kotak oleh sebuah dinding pembatas yang disebut mazhab, ormas, ustadz atau ulama yang diikuti sehingga solidaritas dan kerukunan yang sudah diajarkan oleh kitab suci menjadi tidak terimplementasi dengan baik.
Berangkat dari hal tersebut, maka saya bertanya-tanya, seberapa sakral ajaran agama sehingga tujuan yang sangat jelas ditekankan dalam kitab suci menjadi tidak terwujud. Hal sebaliknya seperti permusuhan, adu domba, perselisihan bahkan dalam hal yang seharusnya bisa didiskusikan dengan baik semakin tajam dan berada dalam titik nadir. Jika ajaran agama yang seharusnya sakral, menjadi bensin bagi api permusuhan bagi lingkungan umat sesama agama maupun antar agama, lalu apa fungsi agama bagi mereka selain identitas dan cara menunjukkan eksistensi diri?
Walaupun tidak semua orang dalam umat beragama yang ikut serta dalam perselisihan ini, namun diakibatkan ‘berisiknya’ orang-orang yang tidak teredukasi dengan baik serta mudah untuk terprovokasi, mengakibatkan hal yang ditonjolkan ketika kita berbicara mengenai agama dan umat beragama adalah perselisihan, konflik, ketidakharmonisan, dan hal-hal yang sebenarnya tidak mencerminkan ajaran agama yang sebenarnya tertulis dengan jelas dalam kitab suci yaitu nilai-nilai kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan sosial tadi tidak melekat dalam pikiran dan jiwa masing-masing individu, memperkeruh perselisihan yang sudah ada.
Menurut saya, titik kesalehan paripurna seorang yang beragama adalah ketika ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan yang menjadi ruh dari ajaran agama tanpa meninggalkan akivitas ibadah yang juga tidak kalah wajib. Sehingga saya tidak bisa menjadikan orang-orang yang sangat aktif memprovokasi dalam seiap pembicaraan dan mimbar-mimbar agama sebagai panutan dalam mempelajari agama, meskipun secara keilmuan saya akui sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang sangat dalam, namun seperti yang saya paparkan diatas, bahwa kuantitas ilmu yang ia miliki tidak menjamin kualitas dan kedewasaan berpikir orang tersebut.
Kesalehan dalam agama harusnya tidak bisa dipisahkan dengan kesalehan sosial. Seperti yang sering ditekankan dalam kajian-kajian agama (baca:Islam) yaitu menjaga hubungan baik dengan Tuhan dengan taat dan rajin dalam melaksanakan ritual-ritual ibadah, serta menjaga hubungan antar sesama manusia dengan mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dan berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik baik secara ekonomi, kerukunan sosial, maupun keilmuan dan keagamaan. Maka dari hal-hal seperti itu saja, kita dapat melihat seberapa sakral ajaran agama dalam pikiran dan jiwa seseorang.
Sedikit cerita mengenai kesakralan agama dalam jiwa dan pikiran manusia, saya belajar hal tersebut dari tetangga saya ketika masih di kampung halaman. Walaupun latar belakang pendidikannya tidak berasal dari madrasah ataupun pondok pesantren, namun menurut saya orang ini memiliki kesalehan yang belum tentu saya temukan dalam diri orang lain yang memiliki pengetahuan agama yang dalam. Ia sering berkontribusi dalam membantu orang-orang yang kekurangan dalam ekonomi tanpa harus diminta, dan hal tersebut menjadi kebiasaan bagi dirinya sebagaimana aktivitas rutin, tidak hanya berupa materi, namun juga memfasilitasi orang-orang tersebut agar mampu berusaha dalam memenuhi kebutuhan ekonomi baik secara edukasi maupun fasilitas yang lainnya seperti lahan usaha dan sejenisnya.
Walaupun ia mengaku tidak menjalankan ritual ibadah yang banyak dan konsisten, namun beliau berpandangan bahwa kualitas keimanan dan seberapa penting dan sakral ajaran agama dalam dirinya bukanlah ketika ia menjalankan ritual-ritual ibadah yang banyak, namun ketika mampu mengimplelementasikan kedamaian dan kerukunan sosial serta berkontribusi dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih baik dalam berbagai macam aspek, maka disitulah kesalehan dan tingkat spiritualitas yang tinggi dapat dicapai, karena dalam kehidupan agama tidak selalu berbicara mengenai ibadah yang sifatnya individu, tetapi juga meliputi kewajiban yang harus dipenuhi dalam ruang sosial.
Jujur saja, saya bukan seorang yang bisa dikatakan baik dalam segi ibadah dan pengetahuan agama, namun hal yang saya yakini mengenai kesakralan ajaran agama adalah ketika agama sudah mengalir dalam setiap aktivitas dan terbukti dengan seberapa besar kontribusinya dalam menciptakan lingkungan umat agama yang lebih baik, baik secara sosial, kualitas ibadah, kualitas edukasi dan kualitas ekonomi. Maka dari itu saya tidak bisa menaati seseorang yang tidak memiliki kesalehan sosial ketika ia membicarakan hal-hal yang dia sendiri tidak melakukannya. Jika seseorang memiliki perhatian yang kuat dalam kesakralan ajaran agama, maka ia tidak akan memberikan nasehat kebaikan jika ia sendiri tidak menerapkannya dalam kehidupan sosial.
Dengan menghubungkan kesakralan ajaran agama dan pemahaman mengenai esensi dari ajaran agama yang mengajarkan kedamaian dan keharmonisan sosial, maka pendapat yang mengataka bahwa urusan keagamaan adalah urusan privat yang menjadi tanggung jawab pribadi harus ditinjau kembali. Menurut saya jika menyangkut hal-hal yang bersifat ritus (ibadah individual) memang harus diserahkan pada keseriusan masing-masing individu untuk menjalankannya. Namun apabila ada hal-hal yang menuntut kesalehan sosial seperti berkontribusi dalam kehidupan sosial, baik dalam lingkungan sesama agama maupun antar agama, maka hal tersebut menjadi kewajiban yang bersifat kolektif dan tidak memandang seberapa banyak pengetahuan agama yang dimiliki atau agama dan mazhab yang dianut.
Terlepas dari pandangan dan pemikiran masing-masing orang, dalam tulisan ini saya hanya mengutarakan hal-hal yang menjadi keresahan dalam diri saya sendiri mengingat dalam agama tentu kita juga berbicara tentang esensi dan nilai-nilai sakral yang ada dalam agama. Menurut saya, kesakralan nilai-nilai agama dalam jiwa dan pikiran seseorang berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang menjadi kewajiban dalam ajaran agama terlepas apapun agama dan mazhab yang dianut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H