Demokrasi dengan sistem kompetisi seperti ini akan memunculkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran moral dan nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat Indonesia, seperti misalnya black campaigne untuk melakukan fitnah, hasutan, pencitraan diri, dan lain sebagainya yang berbau tipu daya. Dalam musyawarah tidak akan terjadi halalisasi yang haram dan haramisasi yang halal. Musyawarah berdiri di atas kekuatan akal yang berupa argumen, sementara demokrasi bergantung pada mayoritas suara yang berdiri di atas kepentingan, bukan kebutuhan.
Dengan musyawarah terdapat peluang yang sama diantara si kaya dan si miskin untuk menjadi pemimpin, tidak semata bergantung pada faktor kekuatan ekonomi, sedang demokrasi ala barat melalui sistem "one man one vote" (satu orang satu suara) telah mereduksinya, tercipta peluang besar untuk menjadi pemimpin dengan "membeli" suara. Konsepsi demokrasi inilah yang kemudian mempermudah terjadinya sistem yang korup, kemudian memecah belah bangsa Indonesia, dan telah pula menimbulkan kesemrawutan pada pola hidup kerakyatan.
Kemudian bagaimana untuk memberikan peluang bagi bangsa Indonesia baik yang kaya ataupun yang miskin untuk bermusyawarah dalam menentukan pemimpin dan  menentukan arah dalam mengelola negara ini!. Jawabnya telah disepakati pada akhir kalimat akhir sila keempat yakni pada frasa "perwakilan".
Secara falsafati, kesepakatan tersebut tertuju pada kehendak terikat untuk mengkuasakan pada kuasa perwakilan yang disebut sebagai lembaga perwakilan. Pada saat tercapainya kesepakatan mengenai bagaimana menyelenggarakan kekuatan politik, maka penerima kuasa itu bertanggung jawab terhadap mandat yang diberikan.
Oleh karena itu, hanya kecerdasan serta integritas moral yang menjadi parameternya, cahaya hikmat tampil dalam bentuk kewibawaan, kepatuhan yang terbentuk dalam keajegan hidup akan bersifat langgeng, turun temurun sehingga lestari. Karena itu, dibutuhkan civic skill dari penyelenggara negara sebagai perwakilan rakyat.
Memang dalam kelangsungannya, pokok perwakilan itu dapat dijadikan sebagai sarana bahkan alat untuk menguasai: kuasa-kuasa yang telah dikuasakan untuk tak dapat lagi dikuasai. Namun dapat pula sebaliknya, korupsi terhadap kuasa-kuasa itu dapat beralih rupa menjadi kumpulan harapan yang tak terkuasakan, revolusi sosial sebagai jawaban.
Menandaskan bahwa, sekalipun kuasa perwakilan telah dimandatkan, ada pelurus bagi pelaksanaan mandat dimaksud, agar tidak mengalami bias bila dimanfaatkan untuk kepentingan. Kebutuhan bersama adalah ukurannya, bukan kepentingan.
Akhirnya dapatlah kita kumpulkan sari pikiran di balik makna yang terkandung pada sila keempat adalah sebagai usaha bersama bangsa Indonesia atas dasar kepemilikan bersama yang diselenggarakan dengan pengertian yang mendalam untuk mencapai kebenaran melalui pola permusyawaratan dan perwakilan.
Akhir kata, bukan ideologi yang mujarab untuk memperbaiki diri, tapi dirilah yang dapat memberikan nilai pada ideologi tersebut.
 Salam Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H