Boikot atau penolokan merupakan sesuatu yang telah terjadi sejak zaman dahulu, akan tetapi istilah ini mulai dipopulerkan pada abad ke-19. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris Boycott yang muncul ketika terjadinya "perang tanah" di Irlandia, yang berasal dari nama seseorang agen tanah yang bekerja untuk tuan tanah Earl Erne dengan nama Captain Charles Boycott. Boikot dapat diartikan sebagai perilaku mendesak dengan menahan diri atau tidak berurusan, dan mengkonsumsi dengan satu pihak atau banyak pihak sebagai bentuk pemaksaan atau protes dalam mencapai tujuan tertentu.
Dalam arti lain, menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Model Laws, pemboikotan merupakan wujud penolakan yang dilakukan secara kolektif untuk menjual, membeli, dan mengancam akan melakukannya sebagai wujud pemaksaan terhadap pihak yang bukan termasuk dalam anggota organisasinya untuk mematuhi atau mengikuti aktivitas yang ditentukan oleh organisasi tersebut. Istilah boikot sangat berkaitan dengan tindakan kolusif dan pemaksaan.
Berhubungan dengan persaingan usaha, pemboikotan merupakan segala tindakan yang merujuk pada hubungan kerjasama dengan tujuan untuk menolak berasosiasi dengan pihak lainnya. Dapat diartikan bahwasanya boikot merupakan suatu perbuatan kerjasama yang dijalankan oleh sekelompok pengecer dalam penolak pembelian produk perusahaan tertentu yang disebabkan karena alasan yang mereka tidak sukai. Dalam persaingan industri, pemboikotan merupakan suatu metode untuk menahan atau menekan pihak lain dalam memberikan dukungan kepada target pesaing. Upaya ini dilakukan semata-mata untuk tujuan mengusir pesaing keluar dari pasar, supaya pemboikot dapat mengamankan bisnisnya di dalam pasar tersebut. Selain itu, penetapan harga juga bisa menjadi tindakan yang dapat menimbulkan eksploitasi yang menargetkan pelanggan dalam hal pemboikotan yang melibatkan penolakannya untuk menjual, kecuali dalam ketentuan tertentu.
Pada tahun 1986, terdapat kasus pemboikotan atas isu apartheid atas penindasan ekstrem dan keadaan darurat yang terus menerus terjadi di Afrika Selatan. Tindakan pemboikotan yang dilakukan oleh ratusan organisasi kemasyarakatan membuahkan hasil dengan membawa isu apartheid ke panggung internasional yang memicu pemerintah dan perusahaan internasional menarik dukungan terhadap pemerintah Afrika Selatan karena tekanan yang dilakukan sekutunya di luar negeri. Akibatnya tekanan ekonomi yang terus berlanjut dari luar negeri, akhirnya apartheid berhasil dihancurkan pada awal tahun 1990an.
Selain itu, terdapat juga kasus pemboikotan produk H&M salah satu brand fashion terkenal asal Swedia yang terjadi di negara Cina. Adanya dugaan kerja paksa dan memperkerjakan petani dengan sangat murah di Xinjiang yang dilakukan kepada satu juta warga etnis Uighur dan sebagian besar etnis minoritas muslim lainnya berujung pemboikotan produk oleh Cina yang berdampak sangat merugikan bagi perusahaan H&M. bukan hanya H&M saja, merek fashion terkenal lainnya juga memperoleh ancaman di Cina, karena terdapat pernyataan atas keprihatinan tentang tuduhan pelanggaran ketenagakerjaan di ladang kapas Xinjiang. Pada akhirnya, tindakan yang dilakukan oleh H&M adalah mendedikasikan perusahaan untuk memperoleh kembali kepercayaan para pelanggan, kolega, dan mitra bisnisnya di Cina.
Baru-baru ini juga telah terjadi tindakan pemboikotan atas barang produk Israel atau yang bekerjasama dengan perusahaan Israel. Hal tersebut telah dipicu oleh reaksi gerakan solidaritas dari berbagai negara, termasuk Indonesia akibat terus berlanjutnya konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. Aksi pemboikotan produk yang terafiliasi dengan Israel di Indonesia di respon dengan sangat baik oleh pemerintah dan juga masyarakat. Â Pemboikotan produk-produk yang terafiliasi dengan Israel yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia didukung juga dengan adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan umat Islam untuk menahan atau tidak membeli produk-produk Israel dan yang berafiliasi dengan Israel.
Dari aksi pemboikotan tersebut dapat memicu dampak perdamaian antara Palestina dan Israel. Akan tetapi adanya pendapat bahwa aksi tersebut juga dapat berdampak pada penurunan ekonomi, khususnya karyawan yang bekerja di perusahaan produk tersebut. Dilihat secara ekonomi, aksi ini dapat mempengaruhi tindakan penetapan harga produk yang diboikot, dengan semakin menurunkan harga produknya. Hal ini sangat menguntungkan konsumen, kerana perusahaan yang diboikot tidak ingin kehilangan pasar atas konsumennya. Tidak hanya itu, adanya potensi pengurangan produk impor yang dapat mengakibatkan sebuah momentum untuk produk lokal dapat berkembang semakin eksis di pasar. Adapun dampak negatif dari aksi boikot ini ketika dilakukan dalam jangka panjang akan berakibat kepada para karyawan yang bekerja di perusahaan terkait. Dampak tersebut dapat berupa pemutusan pekerjaan yang dapat menimbulkan hilangnya pekerjaan, penurunan penghasilan masyarakat, penurunan minat dan daya beli konsumen, dan mungkin dapat mempengaruhi perdagangan internasional dan ekonomi Nasional.
Dalam tujuannya untuk mengakhiri segala keterlibatan negara, institusi, dan perusahaan terhadap rezim genosida Israel gerakan pemboikotan dapat efektif ketika dilakukan secara strategis. Terdapat beberapa klasifikasi target yang disuarakan oleh gerakan global Boycott, Divestment and Sanction (BDS) dalam memaksimalkan pemboikotan ini, diantara yaitu Consumer boycott target merupakan klasifikasi target boikot total terhadap merek-merek yang dipilih dengan cermat atas dasar perusahaan terkait terbukti terlibat dalam apartheid Israel, contohnya adalah Slemens, PUMA, Carrefour, AXA, Hewlett Packard Inc (HP Inc), Soda  Stream, Ahava, RE/MAX, dan Israel produce in your supermarkets. Selain itu terdapat juga Pressure (non-boycott) targets yang merupakan klasifikasi target yang hanya untuk ditekan dan tidak untuk diboikot karena alasan strategis tertentu, contohnya adalah Google dan Amazon, Airbnb/Booking/Expedia, dan Disney.
Munculnya sikap solidaritas antar manusia di berbagai belahan dunia yang serentak menyuarakan dukungan terhadap Palestina dengan aksi boikot produk dan perusahaan yang berafiliasi dengan Israel. Hal ini dapat menjadi pemicu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya dengan produk substitusi. Konsumen semakin sadar bahwasanya penting untuk memilih produk dengan baik dan benar, bukan hanya tentang sebatas halal saja, akan tetapi kesadaran terhadap lebih memilih produk lokal itu suatu hal yang diutamakan. Melihat fenomena tersebut, menjadi sebuah peluang untuk produk dan perusahaan lokal untuk bersaing dan berkembang di pasar nasional bahkan internasional.
Maraknya aksi boikot yang terjadi di berbagai negara dapat menggambarkan meningkatnya aktivisme konsumen etis (Ethical consumer), termasuk juga konsumen yang peduli pada aspek halal. Karena aspek halal merupakan manifestasi dari etis itu sendiri, jelas karena sehat, aman, dan secara spiritual membawa ketenangan bagi konsumen. Kemunculan Etchical consumer menjadi awal mula transformasi konsumen yang dapat berdampak pada eksistensi pasar halal yang semakin berkembang di seluruh dunia.
Kesadaran konsumen terhadap etika meningkat, dan tuntutan konsumen akan suatu produk yang etis meningkat. Hal ini dapat memicu perubahan orientasi usaha atau juga tindakan untuk tetap bertahan di pasar. Menurut Theory Plan Behavior sikap adalah faktor yang dapat mendorong niat dan perilaku pembelian suatu produk. Dengan memiliki sikap yang baik atau positif, tingkat pembelian konsumen pada umumnya akan meningkat. Â Sama halnya dengan kasus perusahaan Pro Israel, persepsi konsumen tentang zalim tidaknya persepsi mereka terhadap perusahaan dan produknya, menimbulkan sikap yang dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen pada produk perusahaan tersebut.
Pada akhirnya, respon yang baik dan strategis diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan yang di boikot. Akan ada dua dampak dari variabel kepercayaan konsumen. Pertama, kepercayaan konsumen terhadap perusahaan dapat menimbulkan dorongan niat dan perilaku konsumen untuk membeli produk perusahaan tersebut, sehingga hal itu dapat memicu pasar perusahaan yang baik dan berkembang. Kedua, dengan sebaliknya ketika konsumen tidak memiliki kepercayaan terhadap perusahaan dapat menimbulkan dorongan niat dan perilaku konsumen untuk menahan atau tidak membeli produk perusahaan tersebut, sehingga hal itu dapat memicu Perusahaan terkait kehilangan pangsa pasarnya.
Kepercayaan konsumen dapat memicu dampak yang positif dan negatif. Jadi, dengan meningkatnya Etchical consumer atau etchical market diharapkan perusahaan yang diboikot dapat melakukan tindakan yang tepat, merespon dengan sikap semakin sadar alias memperhatikan konsumen, antara mau tetap kokoh dengan pendiriannya atau merubah sikap perusahaan yang berorientasi kepada kemanusiaan, sehingga perusahaan yang bersangkutan tidak kehilangan pasar, dan malah justru makin bisa berkembang dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen pasar yang etis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H