Mohon tunggu...
Muhamad DenyFalah
Muhamad DenyFalah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Hobi saya Berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Danjo Kankei: Hubungan Pria dan Wanita Jepang

14 Oktober 2022   13:05 Diperbarui: 14 Oktober 2022   13:28 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disparitas gender, khususnya antara laki-laki dan perempuan, menjadi topik yang kini sedang dijajaki. Hal ini diakui dengan baik dan telah terjadi di sejumlah negara, Jepang adalah salah satunya. Jepang terkenal dengan keberhasilannya, baik secara ekonomi maupun dalam bidang transportasi dan teknologi. Selain itu, negara yang dikenal sebagai Negeri Matahari Terbit ini memiliki banyak peradaban yang menarik untuk dipelajari. Begitu pula dalam aspek sosial, budaya, dan komunal. Dari segi budaya, Jepang memiliki sesuatu yang khas, seperti dalam interaksi sosial dan budaya. Tentu saja tidak ada pengetahuan yang dapat dipahami hanya secara fisiologis dalam hal laki-laki dan perempuan. Namun juga dipengaruhi oleh budaya dan keadaan sosial.

Danjo kankei adalah konsep Jepang yang menggambarkan interaksi antara pria dan wanita. Danjo kankei juga istilah yang digunakan untuk menggambarkan kontak yang ada antara pria dan wanita di Jepang. Dibandingkan dengan negara-negara Barat, Jepang masih terlalu jauh tertinggal dalam hal menempatkan perempuan pada tingkat sosial yang sama dengan laki-laki. Latar belakangnya mulai dari zaman Edo, ketika perempuan diharapkan bekerja di rumah, mengasuh anak dan suami, sedangkan laki-laki bekerja untuk anak dan istrinya. Laki-laki juga diharapkan bekerja untuk menafkahi keluarganya.

Perempuan akan menerima hukuman yang berat jika mereka berinteraksi dengan laki-laki selain suaminya pada saat itu, tetapi laki-laki diizinkan memiliki selir atau gundik untuk memiliki anak laki-laki yang digunakan untuk melanjutkan sistem, yaitu sistem keluarga yang di mana pusatnya terdapat pada laki-laki, dengan demikian sangat perlu bagi seorang istri untuk memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan sistem tersebut. Kemudian di era Meiji, diyakini bahwa wanita yang belum menikah harus tetap perawan. 

Oleh karena itu, wanita muda disana akan dijaga dengan sangat ketat, sistem ini terbilang tidak adil dan akan mempersulit wanita Jepang untuk mengekspresikan keinginan mereka. Hanya saja setelah Perang Dunia II, setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, memiliki hak yang sama dan dijamin oleh konstitusi baru. Selanjutnya, Undang-Undang Kesetaraan Kesempatan Kerja disahkan pada tahun 1986 dengan tujuan mencegah diskriminasi di tempat kerja terhadap perempuan. Hubungan antara pria dan wanita di Jepang berkembang dari waktu ke waktu dan perempuan diberi hak untuk bekerja untuk pertama kalinya. Pada kenyataannya, sebagian besar wanita saat ini lebih memilih untuk mengejar pekerjaan mereka.

Pada setiap revolusi pasti mempunyai dampak, baik itu positif maupun negatif, apa yang dirasakan masyarakat jepang dengan hadirnya Danjo Kankei ini?

  1. Penurunan Angka Kelahiran dan Pernikahan

Menurut Jane Adams dalam Katrina Gulliver (2012: 4), modernitas di Jepang telah mengubah situasi dan posisi perempuan. Sebelumnya, wanita Jepang tidak diizinkan untuk melakukan sesuatu sendiri, dengan menjadi seorang istri dan melakukan pekerjaan rumah tangga secara umum lebih disukai dari pada bekerja sebagai pembantu, pekerja, atau pekerja fisik lainnya. 

Namun, Jepang akhirnya memberikan perempuan hak untuk setara dengan laki-laki. Perempuan yang memilih profesi menjadi salah satu penyebab turunnya angka kelahiran di Jepang, karena perempuan lebih memilih bekerja dari pada mengurus keluarga, apalagi memiliki anak. Jepang juga memiliki biaya hidup yang cukup tinggi, sehingga ini juga menjadi salah satu faktor wanita enggan menikah, terutama pada usia muda.

Pandemi COVID-19 kemarin juga menjadi salah satu faktor, karena biaya hidup di Jepang sudah cukup tinggi dan pada saat pandemi ini banyak orang yang mengalami kehilangan pekerjaannya dan terjadi pembatasan, yang membuat orang sulit bahkan tidak dapat bertemu secara langsung. Angka kelahiran di Jepang sudah mulai menurun itu pada tahun 2015 dan pada tahun 2019-2021 kemarin, mengalami penurunan lagi yang sangat drastis.

Penurunan angka kelahiran dan pernikahan ini juga memiliki dampak yang cukup buruk, tertuma dalam bidanhg ekonomi. Danjo Kankei ini juga menimbulkan masalah, yaitu tenaga kerja yang semakin menurun, sedangkan semakin bertambahnya tahun pasti akan mengalami perubahan dan pasti membutuhkan generasi muda yang sangat berkualitas, agar Jepang dapat mempertahankan negaranya tetap dalam kedaan maju.

  1. Sulit Mencari Pasangan

Miai memiliki dua definisi, menurut Lebra (1984:102), definisi sempit dan definisi luas. Miai didefinisikan sebagai menyatukan orang untuk tujuan tertentu. Sedangkan arti luasnya adalah perkawinan yang direncanakan atau perkawinan yang berlangsung dengan bantuan perantara yang mempertemukan kedua belah pihak. Di Jepang, pencocokan dipraktikkan di kalangan samurai pada 1960-an. Untuk mempertahankan garis keturunan aliansi yang kuat, samurai menggunakan Miai sebagai perjodohan. 

Menurut Yoko Tokuhiro (2009), konsep perjodohan ini semain kuat dengan adanya Meiji Civil Code, memperoleh garis keturunan merupakan tujuan utama. Akibatnya, keluarga akan memutuskan pendamping dalam tradisi Miai. Namun setelah Perang Dunia II, Meiji Civil Code dicabut, perempuan dan laki-laki lebih bebas memilih pendamping dan peran keluarga dalam mencari pasangan pun berkurang. Miai juga mengalami kemunduran pada saat ini.

Orang Jepang terkenal dengan kegigihan mereka dalam pekerjaan dan karir mereka. Mereka umumnya bersedia bekerja di luar jam untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Orang-orang yang menduduki posisi penting dalam organisasi tentu saja akan disibukkan dengan pekerjaan mereka. Akibatnya, mereka hampir tidak punya waktu untuk memikirkan pasangan atau hubungan mereka. Pada saat wanita Jepang sudah mapan dalam segi ekonominya dan ia juga sudah merasa bisa untuk hidup mandiri, maka ia akan mengutamakan pekerjaanya sebagai prioritas mereka, hal inilah yang membuat wanita Jepang kesulitan dalam menemukan pasanagannya.

  1. Wanita Jepang yang Memilih untuk Tidak Menikah

Di Jepang, wanita yang belum menikah telah menjadi hal yang biasa, wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan memiliki kesejahteraan ekonomi yang baik, maka akan memilih untuk tidak menikah karena kesejahteraanya ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pendapatannya. Wanita sering menghindari pernikahan dalam keadaan seperti ini, karena kehidupan pernikahan di Jepang masih terfokus pada kewajiban konvensional antara suami dan istri dalam keluarga, sehingga distribusi peran gender di Jepang masih timpang. Di sisi lain, suami lebih memilih istri tidak bekerja untuk mengasuh anak (Fukuda, 2013, hlm. 107-116).

Wanita jepang yang sudah terjun ke dunia karir, jika ia ingin memutuskan untuk menikah maka ia akan dihadapkan pilihan yang sulit, yaitu antara meninggalkan karirnya dan mengurus suami dan anaknya, atau tidak menikah dan tetap pada dalam karirnya. Selain itu wanita ketika sudah memiliki anak, ia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurus anaknya, biaya hidup di Jepang pun tinggi. Oleh karena itu, banyak wantia Jepang yang memutuskan untuk tidak menikah di usia muda.

Pada saat ini, masalah dalam Danjo Kankei ini juga dapat memberikan dampak pada bidang lain, hal ini dikarenakan oleh pola pikir yang dimana pria pasti akan lebih baik dari pada wanita, meskipun sudah ada undang-undang untuk kesetaraan, tetapi tetap saja diskriminasi masih tetap terjadi. Pada saat ini, banyak wanita yang berpendidikan tinggi, tetapi tetap saja setelah ia menikah pekerjaan utama wanita itu adalah mengurus rumah, suami, dan anak.

Referensi :

Mulyadi, B. 2018.Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan Perkembangan Budaya Omiai di Jepang

Lebra, Takie Sugiyama. 1984. Japanese Women: Constraint and Fulfillment. Honolulu: University of Hawaii Press.

Tokuhiro, Yoko. 2009. Marriage in Contemporary Japan. Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun