Di media sosial, sempat trending tentang umpatan kasar seorang perempuan. Setidaknya ada dua kasus: seorang perempuan yang tidak terima diminta putar balik petugas dan Seorang Ibu yang mengumpat kepada kurir. Seperti biasa, netizen kemudian ramai menghujat. Salah satu komen khas netizen: jangan mau selesai dengan permintaan maaf dan materai sepuluh ribu.
Sepertinya netizen sudah mulai muak dengan perkataan maaf. Inginnya, mereka yang bersalah harus dihukum. Dan anehnya, saat ini "hukum" juga sangat responsif terhadap kasus yang viral. Sehingga ketika ada fenomena viral, seremeh apapun itu, biasanya sampai kepada aparat hukum.Â
Titik permasalahannya bukan disitu, namun mengapa kita seakan malas untuk memaafkan? Memang, memaafkan dalam posisi "menang" bukanlah hal yang mudah.
Lebaran ini, tentu kita mengakrabi dengan tradisi bermaaf-maafan. Di berbagai media sosial dan group percakapan, tentu kita sudah menyebarkan berbagai ungkapan permintaan maaf. Mulai dari kata-kata indah. Meme lucu lebaran sampai gambar template berfoto, semuanya bernuansa permohonan maaf.
Saya tidak tahu sejak kapan Idul Fitri ini identik dengan tradisi bermaafan. Saya pernah tanya seorang teman yang pernah tinggal di Timur Tengah, katanya tidak ada tradisi bermaafan sat lebaran, saling mengunjungi apalagi mengadakan acara kolosal bertajuk halal bihalal. Dari situ, saya meyakini bahwa tratdisi bermaafan dan halal bihalal ini adalah kearifan dan kreatifitas kita dalam beragama di Indonesia.
Kembali ke klausul awal tadi, memaafkan bukanlah sesuatu yang mudah, demikian juga dengan meminta maaf. Jarang orang yang sehabis melakukan kesalahan kepada orang lain kemudian dengan serta merta dan suka rela meminta maaf. Dan mereka yang meminta maaf lewat materai pada kasus di atas, itu bisa jadi karena dilatar belakangi keterpaksaan : dari pada masuk ranah hukum. Meminta maaf dan memaafkan merupakan sesuatu yang berat, apalagi jika dalam posisi "menang".Â
Posisi menang bisa berarti ketika kita berkeyakinan besar tidak melakukan kesalahan, atau jika kita berada dalam konteks sosial yang mendukung kita. Sehingga tidak heran jika kita melewatkan moment interaksi sosial "bermasalah" tersebut dengan begitu saja, tanpa minta maaf dan atau memaafkan, bahkan hingga dalam jangka waktu yang lama.
Nah, melalui Lebaran lah kita tiba-tiba dengan mudah bisa meminta maaf. Melalui idul fitri, biasanya kita akan dengan tulus mau memaafkan. Sehingga Lebaran menjadi moment, untuk membereskan huququ al-adamy, hak-hak kemanusiaan kita, sebagai syarat menuju hari kemenangan dan hari kesucian: idul fitri (kembali suci).Â
Syarat kembali suci adalah ketika kedua belah pihak tidak ada lagi kesalahan yang membebani, satu pihak memohon maaf, pihak yang lain memaafkan. Sehingga kesalahan tersebut sudah "dihalalkan". Inilah barangkali filosofi tradisi halal bihalal: saling menghalalkan.
Kata seorang Ustad, halal bihalal adalah istilah berbahasa arab, yang justru di Arab tidak dijumpai. Halal bihalal merupakan produk khas nusantara, yang diramu oleh para ulama kita untuk memfasilitasi "ruang" saling memaafkan. Halal bihalal merupakan seni maaf-memaafkan yang memungkinkan orang untuk berinteraksi, melakukan pengakuan diri secara sosial, sehingga menghasilkan kohesi sosial yang damai dan saling memaafkan. Secara budaya, tradisi halal bihalal membangun budaya memaafkan, menjadi bangsa yang mudah memaafkan.
Halal bihalal juga menjadi dasar membangun kerekatan sosial yang intens. Terkadang harus kita akui, kita hanya berkunjung ke tetangga, sanak famili barangkali hanya setahun sekali, yakni ketika lebaran. Bisa jadi, kita menginjakkan kaki diruang tamu tetangga dekat kita hanya dan bila saat lebaran. Dan atas alasan inilah, orang-orang yang jauh dari kampung halaman berkesempatan bertemu keluarga, tetangga dan saudara melalui momen mudik.
 Tidak sedikit yang menganggap mudik sebagai sebuah "jihad" yang harus ditunaikan. Maka jangan heran ketika para pemudik itu nekad menjebol penyekatan yang dilakukan oleh petugas. Larangan mudik dalam hal ini tidak menyurutkan mereka untuk kembali ke kampung halaman, sungkem orang tua, dan melaksanakan moment kebersamaan dengan keluarga setahun sekali.
Begitulah selama ini kita dibangun secara kulturan untuk menjadi bangsa yang mudah memaafkan. Dan kiranya pak polisi juga sudah memaafkan para pemudik yang menjebol penyekatan mudik tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H