Akhirnya Gibran Rakabuming Raka, Putra Sulung Presiden Jokowi mendapatkan 'tiket" dalam Pilkada Surakarta.Â
Sebagaimana dugaan beberapa kalangan, PDIP memberikan rekomendasi kepada owner Markobar tersebut, menyisihkan pesaing satu partai Achmad Purnomo yang juga merupakan wakil Walikota Solo. Beberapa kalangan menganggap hal ini sebagai politik dinasti, mengingat sang Ayah merupakan Presiden RI saat ini.
Isu tentang politik dinasti menjadi ramai diperbincangkan. Ihwal regulasi politik dinasti ini, dulu sempat menjadi perdebatan rumit dalam pembahasan Rancangan undang-undang (RUU) Pilkada.Â
Pasalnya, sangat sulit merumuskan formula regulasi terhadap pembatasan politik kerabat ini. Ada kontradiksi yang mengitari regulasi politik dinasti.Â
Di satu sisi, politik dinasti dianggap berpotensi menciptakan kepemimpinan kroni dan nepotis. Di sisi lain, regulasi ini juga akan membatasi hak politik warga Negara untuk dipilih dalam demokrasi. Meskipun dalam UU no 8 tahun 2015 tentang Pemilihan kepala daerah disyaratkan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Fenomena kepala daerah yang "mewariskan" jabatan kepada para kerabatnya, merupakan fenomena yang semakin menjamur dalam konstelasi politik di negeri ini.Â
Di beberapa daerah, banyak para Bupati dan kepala daerah yang ketika masa jabatannya habis dan tidak bisa mencalonkan lagi, maka Mereka menggunakan kekuatan petahananya untuk mengorbitkan para kerabat dan keluarganya. Hal ini, lambat laun menjadi sebuah kecenderungan umum, yang sedikit banyak mempengaruhi sistem politik.
Sesungguhnya, politik dinasti ini lahir dari kecenderungan liberalisme politik yang menjadi efek demokrasi. Artinya, ketika demokrasi meniscayakan adanya kebebesan individu untuk mendapatkan hak politiknya sebagai pemimpin, maka siapapun dia, mendapatkan hak yang sama. Dan inilah yang kemudian menyuburkan politik dinasti.Â
Di samping karena kedekatan dengan posisi petahana yang disandang kerabatnya, alasan kapital yang kuat juga mendukung kecenderungan ini. Sehingga tak heran jika politik dinasti ini tidak hanya berbentuk vertikal, tapi juga horisantal.
Disebut vertikal bila garis dinasti ini "diturunkan" dalam periode yang berbeda, pada jabatan yang sama. Sedangkan horizontal jika kroni dinasti ini menyebarkan cengkraman guritanya kepada daerah lain. Secara demokrasi, barangkali hal ini sesuatu yang sah dan wajar.Â
Namun jika politik dinasti ini jatuh pada pihak yang tidak professional dan kompeten, maka hanya akan menjadi petaka dalam demokrasi. Beberapa kasus korupsi tidak sedikit yang berpangkal dari fenomena politik dinasti ini.
Apakah majunya Gibran sebagai Calon Kepala daerah yang direkomendasi oleh PDIP ini merupakan politik dinasti? Mengingat Jokowi bukanlah petahana terkait. Sebaliknya, apakah Gibran akan tetap mendapatkan tiket pilkada, jika dia bukan seorang putra Jokowi?Â
Lalu, apakah bijak membatasi karir politik seorang Gibran hanya karena dia putra Presiden? Di sinilah kemudian mekanisme demokrasi yang akan menentukan. Suara masyarakat Solo yang akan menilai kapabilitas dan profesionalitas calon pemimpinnya. Â Â
Salah satu anomali demokrasi adalah bahwa demokrasi memiliki watak yang bebas. Kelayakan jabatan politik jika dipandang dari sudut pandang demokrasi, itu diukur dari seberapa besar pemilih yang memilihnya, bukan karena kompetensi atau profesionalitas. Hal inilah yang kemudian menjadi persolan. Ketika demokrasi memberi kesempatan "dinasti" untuk berperan dalam ranah politik, maka profesionalime menjadi luntur.
Politik dinasti yang menggurita, semakin memungkinkan anggota dinasti tersebut untuk berkuasa, dengan satu alasan: jaringan politik.
Sampai derajat ini, profesionalisme kemudian menjadi persoalan yang tampak lain dalam politik. Dengan serta merta, lahirlah para penguasa dan politisi karbitan, yang mereka memperoleh kekuasaan karena warisan.
Selanjutnya, politik dinasti akan menemukan relevansinya ketika dimainkan oleh orang-orang yang professional dan mempunyai integritas yang tinggi. Memang hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, namun ini tampaknya sangat sulit. Sehingga profesionalisme politik menjadi tawaran dalam kecenderungan politik dinasti yang semakin menggurita.
Adalah Sayyidina Umar bin Khattab RA yang sangat berhati hati menjaga politik dinasti ini. Konon, ketika para sahabat mengusulkan putranya, Abdullah bin Umar menjadi gubernur di salah satu daerah, maka dengan tegas sang Amirul Mukminin ini menyatakan, "Cukup satu Umar yang jadi pemimpin".Â
Padahal, pada saat itu para sahabat menganggap Abdullah bin Umar merupakan figur yang paling cakap dan layak untuk menjadi gubernur. Sangat kontras dengan keadaan zaman sekarang. Setiap pemimpin, mengorbitkan kerabatnya untuk menjadi pemimpin berikutnya, atau menjadi pemimpin dalam kekuasaan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H