Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Politik Dinasti dan Hak Demokrasi

28 Juli 2020   21:02 Diperbarui: 29 Juli 2020   14:47 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming Raka beorasi di atas panggung di halaman kantor DPD PDIP Jawa Tengah, Panti Marhaen, usai dirinya resmi mendaftar sebagai bakal calon wali kota Solo untuk periode 2020-2025, Kamis (12/12/2019). (Foto: KOMPAS.com/RISKA FARASONALIA)

Apakah majunya Gibran sebagai Calon Kepala daerah yang direkomendasi oleh PDIP ini merupakan politik dinasti? Mengingat Jokowi bukanlah petahana terkait. Sebaliknya, apakah Gibran akan tetap mendapatkan tiket pilkada, jika dia bukan seorang putra Jokowi? 

Lalu, apakah bijak membatasi karir politik seorang Gibran hanya karena dia putra Presiden? Di sinilah kemudian mekanisme demokrasi yang akan menentukan. Suara masyarakat Solo yang akan menilai kapabilitas dan profesionalitas calon pemimpinnya.    

Profesionalisme Politik

Salah satu anomali demokrasi adalah bahwa demokrasi memiliki watak yang bebas. Kelayakan jabatan politik jika dipandang dari sudut pandang demokrasi, itu diukur dari seberapa besar pemilih yang memilihnya, bukan karena kompetensi atau profesionalitas. Hal inilah yang kemudian menjadi persolan. Ketika demokrasi memberi kesempatan "dinasti" untuk berperan dalam ranah politik, maka profesionalime menjadi luntur.

Politik dinasti yang menggurita, semakin memungkinkan anggota dinasti tersebut untuk berkuasa, dengan satu alasan: jaringan politik.

Sampai derajat ini, profesionalisme kemudian menjadi persoalan yang tampak lain dalam politik. Dengan serta merta, lahirlah para penguasa dan politisi karbitan, yang mereka memperoleh kekuasaan karena warisan.

Selanjutnya, politik dinasti akan menemukan relevansinya ketika dimainkan oleh orang-orang yang professional dan mempunyai integritas yang tinggi. Memang hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, namun ini tampaknya sangat sulit. Sehingga profesionalisme politik menjadi tawaran dalam kecenderungan politik dinasti yang semakin menggurita.

Adalah Sayyidina Umar bin Khattab RA yang sangat berhati hati menjaga politik dinasti ini. Konon, ketika para sahabat mengusulkan putranya, Abdullah bin Umar menjadi gubernur di salah satu daerah, maka dengan tegas sang Amirul Mukminin ini menyatakan, "Cukup satu Umar yang jadi pemimpin". 

Padahal, pada saat itu para sahabat menganggap Abdullah bin Umar merupakan figur yang paling cakap dan layak untuk menjadi gubernur. Sangat kontras dengan keadaan zaman sekarang. Setiap pemimpin, mengorbitkan kerabatnya untuk menjadi pemimpin berikutnya, atau menjadi pemimpin dalam kekuasaan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun