Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Klepon, dan Ayam Pezina

28 Juli 2020   07:50 Diperbarui: 28 Juli 2020   08:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Klepon menjadi viral. Gegara sebuah meme "klepon tidak Islami", ditulis dengan huruf kapital, di bawahnya terdapat narasi promosi kurma. Belakangan muncul meme yang menggambarkan klepon bersurban, berkafiyeh dan berpeci, respon untuk islamisasi sang klepon. 

Ini mungkin hanya lucu-lucuan, mengingat sampai sekarang tidak ditemukan nama dan toko yang tertera sebagai pengiklan. Meskipun sebagian pihak ada yang sudah terlanjur marah dan "serius merespon" fenomena ini.

Jika "klepon syar'i" boleh jadi adalah keisengan dan disinyalir "fiktif", saya punya testimoni tentang hal yang agak mirip. Dan ini true story. Serius. 

Pernah seorang mahasiswa bertanya di sebuah kelas perkuliahan, ada kalau lima tahunan yang lalu. "Pak, bagaimana hukumnya makan telur dari hasil zina ayam?" 

Awalnya, saya mengira mahasiswa ini iseng, prank, lucu-lucuan atau apalah. Namun dari rona wajah, air muka dan intonasi, dia serius. Saya ikut tertawa, ketika satu kelas heboh menertawainya. 

Namun itu tidak lama, karena saya melihat si mahasiswa ini serius menanti jawaban, tidak ada rona cengengesan sedikitpun. Antara shock dan ingin tertawa, saya hanya menjawab dengan candaan, "Masa sich ayam zina, kapan nikahnya?"

Belakangan saya baru ngeh, setelah melihat sebuah poster iklan --bisa jadi juga meme-- dengan judul besar, "Yakinkah Telor yang kita makan sudah halal?" 

Nah di bawahnya secara jelas menuliskan fenomena zina ayam ini, "Jangan sampai kita memakan telur yang dihasilkan ayam pezinah. Untuk itu kami sajikan kepada anda TELUR HALAL". 

Tidak kalah heboh, narasi di bawahnya, "Kami sangat memperhatikan pergaulan ayam-ayam kami agar tidak terlibat pergaulan dan sex bebas. Kami menjamin setiap pejantan hanya boleh membuahi 4 indukan sesuai syari'ah."

Tampaknya, mahasiswa saya tadi terpapar isu dari poster iklan ini. Atau sebaliknya, iklan ini terinspirasi dari mahasiswa saya tadi? hee... 

Sebagaimana klepon syar'i di atas, saya juga kurang yakin kalau ini dibuat dengan "serius" atas dasar syar'i. Boleh jadi, Ini hanya strategi pemasaran saja. Biasalah, kreativitas para pengiklan kita memang terkadang ekstrim, yang penting viral. Viral menjadi kata kunci strategi pemasaran di era digital, mengingat tidak memerlukan biaya tinggi untuk membayar advertising di media. Cukup media akan memberitakannya secara gratis.

Agama, adalah pangsa pasar yang sangat emosional. Segmenting dan targeting pasar berafiliasi agama, akan lebih mudah dalam membangun emosi spiritualitas. Apalagi jika terkait nilai syar'i: halal-haram. Hal ini akan sangat mudah menggiring persepsi dan emosi pembeli dan pelanggan. 

Fenomena hijrah yang saat ini menjadi tren beragama, semakin menguatkan aksioma: hijrah harus dimulai dengan konsumsi yang halal. Akhirnya, ketika ada teks "halal-haram" orang menjadi sensi dan sangat berhati-hati.

Permasalahanya adalah ketika iklan tersebut dianggap "mengganggu" eksistensi bisnis dan kepentingan pihak lain. Prinsip iklan: silahkan sebut kecap anda nomor satu, tapi jangan cantumkan kecap B nomor dua atau nomor seratus. 

Pada kasus klepon tidak Islami, jelas akan menyinggung para penjual dan penikmat klepon. Karena jika logikanya diteruskan, klepon yang tidak islami ini akan dekat dengan penyimpulan klepon tidak halal. 

Berikutnya, narasi tidak islami adalah sebuah kerancuan berpikir: menyandangkan sebuah entitas sebagai sesuatu yang berhukum syar'i, hanya karena asal daerah. Tidak heran jika kemudian beberapa kalangan heboh mengecam meme tersebut.

Pada kasus ayam pezina, ada semacam mafhum mukholafah (logika berbalik) bahwa semua ayam yang tidak diperlakukan secara syar'i seperti narasi poster tersebut adalah telur dari hasil zina yang tidak halal. 

Padahal, berapa milyar ayam yang bertelor dengan tanpa menikah, melakukan poligami dan poliandri tak terbatas, bahkan tak segan-segan inses, menikah dengan saudara, orang tua -- ups induk - maupun anak. 

Dan sejak kapan para ayam ini menjadi muallaf dan mukalaf? Di sinilah kita harus bijak bersikap, tidak mudah terpancing dan memandang realitas dunia maya sebagai sesuatu yang "maya" pula.

Komodifikasi berbalut agama memang menjadi promosi mudah dan murah. Pada segmen pola beragama tertentu akan sangat mengena, sehingga mampu menjadi motivasi keputusan pembelian. 

Pemasaran mensyaratkan adanya positioning, menempatkan "citra" sebuah produk ke dalam benak konsumen. Dan motif agama akan menjadi motif fundamental yang mampu menjadikan konsumen itu memilih dan loyal. 

Namun jika menggunaan atribut agama digunakan secara serampangan, tentu akan mudah melahirkan ketersinggungan bagi pihak lain. Dan ini tentu saja menyalahi etika dalam pemasaran dan berbisnis.

Husnudzan saja, fenomena klepon dan ayam pezina ini hanya untuk lucu-lucuan belaka. Memberi hiburan di tengah sekapan pandemi yang masih tak berujuang ini. Tidak perlu dianggap serius berlebihan dan menjadi baper. Santuy saja. 

Ketika awal munculnya fenomena "klepon tidak islami" ini, saya menuliskan status di media sosial: "Pengen makan klepon syar'i", sembari berimajinasi: sepincuk klepon di daun pisang, sebelum menyantap dibacakan shalawat 100 kali, istighfar 100 kali dan basmalah 100 kali. Nyam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun