Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Sanju" dan Tanda Tanya Jurnalisme

9 Januari 2019   08:35 Diperbarui: 9 Januari 2019   08:50 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sanjay Dutt, bagi anda yang seusia saya nama tersebut pasti tidak asing. Bintang India itu senantiaasa menghiasi layar kaca kita di era 80 an, sepadan dengan Amitabh Bachchan, Govinda, Anil Kapoor atau Mitun cakraborty. Belakangan kisah hidup Sanjay Dutt ini diadaptasi ke dalam sebuah film Bolliwood bertajuk "Sanju (2018)", yang menuai respon pasitif dari jagat perfilman. 

Sanju, panggilan Sanjai Dutt, memiliki sudut gelap perjalanan hidup yang penuh liku, bahkan sempat menikmati pengapnya bui dalam kasus pemilikan senjata dan dugaan terorisme. 

Di samping eksploitasi kisah hidup sang bintang, mulai dari debut aktor, kecanduan narkoba, asmara, konflik keluarga, film ini juga berisi kritik sosial, khususnya tentang peran media. Media dalam film tersebut digambarkan telah berhasil memojokkan Sanju, hingga mampu menggiringnya ke dalam penjara.

Kritik media, dalam hal ini mungkin bisa disederhanakan melalui narasi "tanda tanya". Dengan tanda tanya di akhir kalimat, media sudah berhasil "menghitamkan" realitas yang sebenarnya masih abu-abu, bahkan putih. "Truk berisi Bahan peledak di rumah Dutt?", begitu teks salah satu berita koran yang "menghakimi" Sanju. 

Ketika Sanju mencoba konfirmasi ke redkasi, dengan berlindung di balik "tanda tanya" jurnalistik, sang redaktur dengan mudah ngeles. Padahal dalam persidangan tidak terbukti adaya bahan peledak di rumahnya. 

Dan gara-gara media itulah, semua orang menghakiminya dengan sebutan teroris. Salah satu adegan menunjukkan, bagaimana sang ayah harus dipanggil dengan sebutan "ayah teroris", yang hal tersebut tentu saja sangat menyakitkan bagi sang ayah.

******

Beberapa hari ini, kita diramaikan dengan berita tentang 7 kontainer yang berisi surat suara yang telah tercoblos. Kabar ini sempat dikicaukan oleh dua tokoh yang memiliki follower banyak di media sosial. Andi Arief dan Tengku Zulkarnaen harus tersangkut kasus hoaks ini. Ketika dikonfirmasi mereka berdalih bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tanya yang ada tanda tanyanya. Tanda tanya menjadi "pembenar" terhadap cuitan yang kemudian menjadi viral dan meramaikan dunia maya dan nyata.

Dalam jurnalistik, tanda tanya merupakan salah satu tanda yang berfungsi sebagai penanda kalimat tanya. Dalam reportase berita, tanda tanya berfungsi untuk mengabarkan sebuah fakta atau realitas yang oleh redaksi masih belum diyakini jelas kebenarannya, sehingga hasil akhir kesimpulan diserahkan kepada pembaca. 

Ketika mengikuti kelas jurnalisme awal dulu, seorang tutor mewanti-wanti agar sebuah berita boleh dilaporkan kalau sebuah fenomena sudah yakin berupa fakta. "Namanya berita, ya harus menggunakan kalimat berita, diakhiri dengan titik".

Perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan corak baru dalam jurnalisme. Setiap orang bisa melaporkan fakta, membuat berita, menginformasikan fenomena. Inilah yang disebut dengan citizen jurnalisme, jurnalisme warga. Media sosial, saat ini derajatnya sudah hampir selevel dengan media arus utama. 

Bahkan tidak sedikit media arus utama yang mencari sumber berita dari status media sosial. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan dalam jurnalisme, ketika semua orang "menjadi" wartawan, pewarta. Padahal ada kode etik dan etika jurnalisme yang kiranya menjadi standar dasar dalam melakukan reportase. 

Status atau tulisan yang diperbaharui oleh seseorang yang memiliki follower atau pengikut yang besar akan dianggap menjadi reportase. Apalagi status tersebut mudah sekali untuk disebar dan diviralkan, penyebarannya hanya memerlukan hitungan menit, bahkan detik.  

Di sinilah kemudian "tanya tanya" tidak cukup untuk menjadi "pelindung' bagi seseorang tokoh yang telah menuliskan berita hoaks yang sudah dibaca oleh ribuan orang. Dampaknya akan sangat besar, apalagi jika reportasi atau berita itu dianggap merusak kredibilitas pihak tertentu. Di sinilah terjadi absurditas antara berita dan opini, sayangnya netizen terkadang malas untuk mencerna atau menganalisis hal tersebut.

Tujuh kontainer berisi 70 juta surat suara yang sudah tercoblos, di saat KPU sendiri belum membuat spicement surat suara adalah hal yang sulit dicerna dengan akal sehat, apalagi itu hanya bersumber dari rekaman suara. 

Ketika seseorang membuat status di media sosial (secara otomatis berarti menyebarkan), dengan dalih "tanda tanya" sekalipun, tetap saja hal ini akan menjadi sebuah kegaduhan, apalagi di masa kampanye dan tahun politik seperti saat ini. Kiranya tokoh politik yang aktif di media sosial dengan ribuan pengikut, harus mampu memahami etika jurnalisme dan nilai kearifan.

Hal yang perlu diperhatikan, di atas sebuah prosedur jurnalisme ada hal yang kiranya lebih penting adalah nilai. Nilai ini yang nantinya akan mampu mengungkap apa motif anda menulis sebuah tulisan. Etika jurnalisme dan nilai kebijaksanaan kiranya menjadi penting, di atas prosedur jurnalisme, tanda tanya, tanda petik, atau tetek bengek lainnya. 

Karena meskipun dengan tanda tanya, ketika sudah viral dan menyebar akan mampu menghakimi bahkan membunuh karakter seseorang, meskipun hal tersebut akhirnya ternyata hanya hoaks. Sanjay Dutt Dutt dalam film "Sanju" setidaknya sudah membuktikan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun