Bahkan tidak sedikit media arus utama yang mencari sumber berita dari status media sosial. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan dalam jurnalisme, ketika semua orang "menjadi" wartawan, pewarta. Padahal ada kode etik dan etika jurnalisme yang kiranya menjadi standar dasar dalam melakukan reportase.Â
Status atau tulisan yang diperbaharui oleh seseorang yang memiliki follower atau pengikut yang besar akan dianggap menjadi reportase. Apalagi status tersebut mudah sekali untuk disebar dan diviralkan, penyebarannya hanya memerlukan hitungan menit, bahkan detik. Â
Di sinilah kemudian "tanya tanya" tidak cukup untuk menjadi "pelindung' bagi seseorang tokoh yang telah menuliskan berita hoaks yang sudah dibaca oleh ribuan orang. Dampaknya akan sangat besar, apalagi jika reportasi atau berita itu dianggap merusak kredibilitas pihak tertentu. Di sinilah terjadi absurditas antara berita dan opini, sayangnya netizen terkadang malas untuk mencerna atau menganalisis hal tersebut.
Tujuh kontainer berisi 70 juta surat suara yang sudah tercoblos, di saat KPU sendiri belum membuat spicement surat suara adalah hal yang sulit dicerna dengan akal sehat, apalagi itu hanya bersumber dari rekaman suara.Â
Ketika seseorang membuat status di media sosial (secara otomatis berarti menyebarkan), dengan dalih "tanda tanya" sekalipun, tetap saja hal ini akan menjadi sebuah kegaduhan, apalagi di masa kampanye dan tahun politik seperti saat ini. Kiranya tokoh politik yang aktif di media sosial dengan ribuan pengikut, harus mampu memahami etika jurnalisme dan nilai kearifan.
Hal yang perlu diperhatikan, di atas sebuah prosedur jurnalisme ada hal yang kiranya lebih penting adalah nilai. Nilai ini yang nantinya akan mampu mengungkap apa motif anda menulis sebuah tulisan. Etika jurnalisme dan nilai kebijaksanaan kiranya menjadi penting, di atas prosedur jurnalisme, tanda tanya, tanda petik, atau tetek bengek lainnya.Â
Karena meskipun dengan tanda tanya, ketika sudah viral dan menyebar akan mampu menghakimi bahkan membunuh karakter seseorang, meskipun hal tersebut akhirnya ternyata hanya hoaks. Sanjay Dutt Dutt dalam film "Sanju" setidaknya sudah membuktikan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H