Sengkarut antara Bawaslu dan KPU terkait mantan napi korupsi yang mencalonkan diri sebagai calon Legislatif (Caleg) akhirnya terjawab. Â Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.Â
Sebelumnya, terjadi kontroversi, dimana Bawaslu sempat meloloskan mantan napi korupsi  dalam pencalonannya sebagai caleg. Bawaslu berdalih, keputusan tersebut adalah perintah Undang-undang.
Sebelumnya, KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi caleg dalam Pemilu 2019. Polemik tentang hal ini pernah ramai saat PKPU ini diterapkan. Hingga akhirnya pihak terkait melakukan pengaduan ke pihak  Bawaslu. Dengan berpayung undang-undang Pemilu, Bawaslu menegaskan bahwa Eks napi koruptor tetap bisa mengikuti kontestasi politik 2019, dengan melakukan publikasi tentang status korupsi yang bersangkutan.
Ada beberapa catatan yang kiranya perlu didiskusikan terkait dengan hak dan sanksi politik bagi mantan nara pidana korupsi ini. Pertama, pelarangan eks napi ini adalah bentuk dari pencabutan hak politik. Menjadi calon legislatif adalah hak bagi warga negara, yang tentunya dijamin oleh Undang-undang. Dalih prevensi terhadap kejahatan korupsi barangkali menjadi argumentasi pelarangan ini. Namun sanksi politik ini kiranya harus diletakkan dalam proporsi demokrasi yang wajar.Â
Jika kita masih percaya pada sistem hukum dan permasyarakatan kita, maka ketika seorang terpidana sudah menjalani masa hukumannya di lembaga permasyarakat, maka itu adalah bentuk dari sanksi hukum yang diberikan. Ketika mereka keluar dari penjara, mereka mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara secara normal kembali. Â
Fungsi lembaga permasyarakatan adalah memberikan bekal, bagaimana agar para "warga binaannya" tidak melakukan kejahatan yang sama atau lebih. Â Sehingga memberikan sanksi politik setelah sanksi hukum adalah upaya yang kiranya berlebihan.
Kedua, setiap orang, siapapun dia, berpotensi untuk melakukan kejahatan korupsi. Â Meminjam istilah "bang Napi", kejahatan terjadi bukan hanya karena faktor niat saja, tapi juga faktor kesempatan. Jika mau dihitung secara statistik, lebih banyak mana para pelaku korupsi yang dilakukan oleh tersangka baru dengan para residevis? Data ini setidaknya akan melahirkan gambaran, betapa perilaku korupsi ini bisa menjangkiti siapa saja. Â
Pelarangan nyaleg bagi eks napi korupsi seakan menutup ruang "taubat" dan penebusan dosa di ruang politik. Barangkali pengalaman terjatuh dalam sebuah lubang akan menjadi pelajaran untuk tidak terjatuh pada hal yang sama.Â
Kehidupan manusia yang selalu dinamis, baik-jahat yang berjalin kelindan, pahala dosa yang fluktuatif setidaknya menjadi pertimbangan untuk memberiikan kesempatan. Meskipun dalam kerangka pencegahan, upaya pelarangan ini juga mempunyai rasionalisasi pembenaran sendiri.
Ketiga, Â pencegahan korupsi kiranya perlu menyasar sektor hulu. Pola koruptif seringkali terjadi karena mahalnya biaya politik yang ditanggung oleh para kontestan. Modus "bayar hutang" selama ini banyak mewarnai motivasi korupsi para pelakunya. Â Sektor hulu juga berlaku pada sistem birokrasi yang menjadi sasaran empuk perilaku korupsi.Â
Pada kasus suap RAPBD misalnya, seringkali menjadi hulu bagi praktik korupsi pada tahap selanjutnya. Mudahnya, banyak oknum koruptor yang sebenarnya "tidak berdaya" untuk tidak korupsi.Â
Mereka larut dalam sistem dan jeratan budaya yang melingkari  sebuah birokrasi. Korupsi berjamaah pada kasus DPRD Malang setidaknya merepresentasikan kecenderungan ini. Bagaimana 41 orang bisa menerima suap secara berjamaah. Hal ini menandakan, ada budaya sistemik yang tidak bisa dihindarkan oleh individu.
Di atas semua itu, sebenarnya yang dilakukan oleh Bawaslu adalah bagian dari implementasi Undang-undang yang menjadi sandaran hukum bagi tugas dan fungsi pengawasan.  Jika memang pelarangan Eks napi korupsi sebagai upaya pencegahan praktik korupsi pada sektor hulu, maka harus disepakai bahwa Undang-undang Pemilu kita harus  mendukung hal tersebut. Â
Celakanya, Undang-undang sendiri adalah produk politik yang dirumuskan oleh DPR. Sedangkan kita tahu sendiri, bahwa DPR lah yang selama ini banyak berurusan dengan persoalan korupsi.Â
Dibutuhkan i'tikad politik secara massif untuk mampu membangun regulasi Pemilu yang responsif terhadap pencegahan korupsi. Â Hak dan sanksi politik kiranya bisa didialogkan dalam kerangka keadilan dan persamaan bagi warga dihadapan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H