Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pasar Bebas Politik

28 Juni 2018   09:01 Diperbarui: 28 Juni 2018   09:16 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2018 benar-benar merupakan tahun politik. Segenap aktifitas politik  berjalin-kelindan dengan hiruk-pikuk kehidupan berbangsa. Pada satu sisi, partai-partai sedang menghadapai gempa politik yang menjadi pertarung(h)an di 2019. 

Di sisi yang lain, para politisi sedang menimbang-nimbang partai mana yang sekiranya mempunyai "chemistry" dengan dirinya, sehingga merelakan diri menjadi kutu loncat. Dan Pilkada 2018 ini menjadi semacam test case,  untuk mengetahui peta dan kekuatan politik masing-masing partai.

Pemilu 2019 sudah di depan mata. Gerbangnya sudah bisa kita lihat dan masuki, meskipun koridor untuk menujunya berliku dan gulita, terkadang dipenuhi dengan onak berduri. Namun bukan politisi jika tidak mampu menembus dan menyisihkan durinya. Politisi dituntut untuk menjadi penakluk sejati, menaklukkan lawan dan kawan. Intrik politik adalah keniscayaan, menggunting dalam lipatan untuk sebuah tujuan adalah kewajaran.

Perang tagar misalnya, selalu menjadi manuver politik oleh kalangan tertentu. Mereka seakan menjual "ide dan angan" supaya bisa dibeli oleh konstituen dengan harga yang mahal. Dan untuk itu, tidak peduli cacian, data palsu, bahkan fitnah terhadap lawan politiknya. Benar kata pepatah, tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa dunia politik adalah rimba belantara. Siapapun secara bebas berhak untuk memilih dan bertindak. Untuk sementara, etika, fahsun dan norma lainnya tidak begitu penting untuk diperhatikan. Siapa yang kuat dan kaya, berhak untuk memilih rumah parpol yang diinginkan. Di sinilah pasar bebas politik berlaku.

Istilah pasar bebas (free trade) merupakan istilah ekonomi untuk menyebut sebuah model perdagangan yang bebas, yang tidak dibatasi oleh wilayah, apalagi norma dan regulasi. Prinsipnya mengacu pada sang begawan kapitalis, Adam Smith, di mana pemerintah (Negara) tidak berhak untuk mengatur persolan ekonomi. Kredonya, "Serahkan semuanya pada mekanisme pasar", karena pasar akan selalu menuju titik keseimbangan (equilibrium).

Dalam politik, pasar bebas politik adalah kondisi di mana para pelaku politik bebas untuk melakukan kegiatan politiknya. Etika, moral, norma tidak boleh membatasi, apalagi mengungkung prilaku politik seseorang. Untuk kepentingan politiknya, seseorang bebas menggunakan strategi dan taktik  apapun. Kecenderungan ini mengikuti prinsip politik ala Machiavelli, di mana semua strategi itu sah untuk mencapai kepentingan politiknya. 

Sampai di sini, maka partai politik kehilangan elan vitalnya. Partai politik tidak lagi menjadi wahana pengkaderan dan pengembangan kader. Namun parpol sudah mampu dibeli oleh mereka yang kaya dan popular. Fenomena para tokoh yang loncat partai, yang kemudian mendapatkan kedudukan tinggi di partai, adalah manifestasi dari rapuhnya partai sebagai wadah kaderisasi. 

Padahal banyak kader yang sudah mengalami proses kaderisasi yang lama, bahkan mulai level bawah. Namun karena mereka tidak mempunyai energi dan popularitas, maka mereka mudah dikalahkan oleh penyumbang energy besar, meskipun dia baru masuk partai. 

Partai hanya menghamba pada mereka yang mempunyai energy dan "darah segar" yang besar. Jika demikian halnya, maka ungkapan parpol sebagai penyangga demokrasi dengan serta merta runtuh. Pada titik tertentu, demokrasi sudah mampu dibeli oleh kekuatan kapitalis.

Sehingga tidak heran jika kemudian para penguasa yang dilahirkan oleh sistem rekrutmen kader partai yang demikian, integritasnya sangat dipertanyakan. Para elit partai yang saat ini terjerat kasus korupsi boleh jadi adalah buah dari model rekrutmen pasar bebas tersebut. pada akhirnya kepentingan bangsa dan rakyatlah yang selalu dikorbankan.

Perselingkuhan kapitalis-politik ini pada tataran tertentu akan menciderai sistem demokrasi yang sedang berproses ini. Rayuan kekuasaan dan godaan wewenang pada akhirnya menggiurkan para pemimpin bangsa ini untuk selalu melakukan prilaku politik yang menguntungkan dirinya sendiri, atau setidaknya partai politiknya. Inilah makna politik sebagai kekuasaan dan alat penundukan.

 Terakhir menarik untuk menukil sebuah adagium, seorang negarawan akan memikirkan tentang generasi selanjutnya, sedangkan politisi hanya akan memikirkan tentang pemilu selanjutnya. Prilaku politik politisi hanya berkutat pada siklus lima tahunan, tidak mampu berfikur jauh ke depan, memikirkan persoalan bangsa dan generasi penerus. Jadilah negarawan dan berpolitiklah untuk bangsa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun