"Tuhan itu ada dua: Tuhan yang menciptakan alam semesta dan Tuhan yang diciptakan oleh para pemuka agama", demikian kritikan beragama dalam film Bollywood berjudul "PK", yang berarti mabuk.Â
Apa yang kita kenal dengan Tuhan dan agama, seringkali lahir dari mulut para agamawan, yang terkadang mereduksi hakekat Tuhan dan agama itu sendiri. Dan gejala ini yang tampaknya menguat akhir-akhir ini, di mana agama telah 'direnggut' oleh para pemuka agama, yang berdalih penyambung ayat Tuhan. Yang terjadi, Tuhan ditampakkan dalam bentuk yang begitu naifnya.Â
Bagaimana tidak, Tuhan dengan begitu mudahnya dipinjam untuk membenci, tindak kekerasan, bahkan membunuh orang lain. Tampaknya dalam hal ini Marx sedikit benar, agama telah menjadi candu yang memabukkan.
Kita awali dengan dengan beberapa fenomena. Pertama, fenomena terorisme yang akhir-akhir ini marak terjadi, mulai dari mako Brimob, bom Surabaya dan beberapa aksi sporadis terorisme terhadap polisi. Pelaku bom surabaya yang merupakan satu keluarga sungguh mengejutkan nalar kemanusiaan kita.Â
Beberapa bukti menunjukkan bahwa pelaku terlibat dalam sebuah "jamaah" keagamaan yang berparadigma radikal. Dan tentunya ini bukan hal pertama, beberapa bom sebelumnya, seperti bom kampung Melayu, Â bom Thamrin, bom Medan, sampai pada "superbom" Bali, semua pelaku diidentifikasi bermotif agama. Bagaimana bisa, Tuhan yang maha pengasih dan penyayang ini dimanifestasikan dalam perilaku yang merusak dan menghilangkan jiwa umat manusia.
Kedua, kasus seorang dokter di Solok yang harus menerima intimidasi dan teror hanya karena memosting pendapatnya tentang "seseorang" yang melarikan diri ke luar negeri. Komentar ini kemudian dianggap menghina 'ulama'. Sontak, para pendukung 'ulama' tersebut kemudian melancarkan teror, intimidasi dan persekusi kepada perempuan muda tersebut. Sang dokter pun akhirnya harus rela "hijrah' ke kota lain.
Ketiga, fenomena demo besar-besaran saat Pilkada Jakarta, karena persoalan penodaan agama. Ribuan orang -- konon sampai jutaan -- tumpah ruah demo di Monas karena ingin membela agamanya, dan sebagaimana kita tahu, demo ini terjadi berjilid-jilid dan ada majlis alumninya. Fenomena ini menjadi bola salju, bahkan sampai terjadi, masjid yang tidak mau menerima sholat jenazah hanya karena beda pilihan pemimpin. Â Â
Tiga fenomena ini, ditambah beberapa posting dan komentar di media sosial yang bernada hujatan, caci maki, dan fitnah kepada pihak lain yang dianggap "salah", menjadi pertanda bahwa ada semacam fenomena "mabuk" agama.Â
Orang beragama, tapi tidak mampu membedakan kebenaran yang hakiki. Nilai-nilai agama yang mengandung kebenaran universal dan humanis direduksi dengan kebenaran  kelompoknya, sembari mengolok-olok, mengafirkan pihak yang berseberangan. Beragama, namun menerima doktrin dari pemuka agama secara mutlak, tanpa ada filter rasionalitas dalam memahami agama. Bagaimana mungkin, pesan Tuhan melalui agama bisa berubah menjadi pesan-pesan kebencian, kekerasan bahkan terror kepada ummat manusia?
Fenomena ini tentu saja bukan fenomena baru, meskipun derajat dan kualitas pada era informasi ini sangat tinggi frekuensinya. Kita tentu masih ingat, Sayyidina Ali bin Abi Tholib terbunuh oleh pedang seorang yang dikenal taat beragama, Abdurrahman bin Muljam. Bahkan ketika menghunuskan pedang ke tubuh Khalifah Ali, ia memekikkan bacaan Al-qur'an dengan fasih. Hal ini dilatarbelakangi karena pemahaman agama, bahwa Ali telah murtad dan dianggap halal darahnya.
 Sejarah telah mencatat, seorang khalifah keempat Khulafa' al-rasyidin, yang merupakan menantu Rasulullah SAW, pemuda yang oleh rasul digelari bab al ilmi, pintu gerbang ilmu, seorang dari golongan remaja yang pertama kali masuk Islam dan dijamin masuk surga oleh Rasul, harus rela meregang nyawa ditangan seorang fanatik khawarij, hanya karena tuduhan murtad.
Kecenderungan mabuk agama ini kiranya sangat menghawatirkan kita bersama. Kedamaian dan harmonisasi yang selama berabad tahun terjalin, mendapatkan tantangan bom waktu bernama radikalisme beragama. Ingat, anak muda saat inilah yang kiranya menjadi sasaran empuk pemahaman agama yang radikal tersebut.Â
Melalui internet khususnya media sosial, mereka mendapatkan sajian agama yang dianggap benar. Mereka ini generasi Z yang dididik oleh medsos, google dan youtube. Kita tidak hendak menyalahkan mereka, namun strategi anti radikalisme yang kita lakukan tentu harus mampu menyentuh "zaman" yang dijalani mereka.
Menganggap kepercayaan yang diimani itu benar, adalah sesuatu yang wajar. Namun jika diiringi dengan menganggap orang lain salah, dengan mencaci, persekusi, teror bahkan dengan tindak kekerasan tentu tidak bisa dibenarkan.Â
Agama adalah nilai adi luhur yang mengajarkan kebaikan, oknum pelaku agamalah yang kemudian memutar-balikkannya. Jika Tuhan atau agama memerintahkan kekerasan dan terror, maka sudah sangat jelas, ada yang salah dalam pemahaman terhadap Tuhan dan agama orang tersebut.
Kisah dari seorang ulama terkemuka, Syeh Abdul Qadir al-Jaelani kiranya relevan. Dalam manaqibnya, dikisahkan bahwa ketika sang Syeh sedang khusu' dalam ibadahnya, tiba-tiba ada seberkas sinar yang seolah berfirman "Aku Tuhanmu. Kau hamba pilihanku. Mulai detik ini, aku halalkan untukmu semua yang haram. Kau bebas dari kewajiban agama". Serta-merta sang Syeh kemudian melemparnya dengan sandal sembari berkata "Enyah wahai yang terkutuk!" Sang Syeh yang bergelar Sulthan al-Auliya' (raja para wali) ini yakin akan satu hal, Tuhan tidak mungkin memerintahkan kepada hal yang keji (fahsya'). Begitulah. Jika ada agama yang memerintahkan untuk berbuat kekerasan, sejatinya itu bukan perintah Tuhan, namun boleh jadi itu bagian dari tipu daya syetan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H