Kecenderungan mabuk agama ini kiranya sangat menghawatirkan kita bersama. Kedamaian dan harmonisasi yang selama berabad tahun terjalin, mendapatkan tantangan bom waktu bernama radikalisme beragama. Ingat, anak muda saat inilah yang kiranya menjadi sasaran empuk pemahaman agama yang radikal tersebut.Â
Melalui internet khususnya media sosial, mereka mendapatkan sajian agama yang dianggap benar. Mereka ini generasi Z yang dididik oleh medsos, google dan youtube. Kita tidak hendak menyalahkan mereka, namun strategi anti radikalisme yang kita lakukan tentu harus mampu menyentuh "zaman" yang dijalani mereka.
Menganggap kepercayaan yang diimani itu benar, adalah sesuatu yang wajar. Namun jika diiringi dengan menganggap orang lain salah, dengan mencaci, persekusi, teror bahkan dengan tindak kekerasan tentu tidak bisa dibenarkan.Â
Agama adalah nilai adi luhur yang mengajarkan kebaikan, oknum pelaku agamalah yang kemudian memutar-balikkannya. Jika Tuhan atau agama memerintahkan kekerasan dan terror, maka sudah sangat jelas, ada yang salah dalam pemahaman terhadap Tuhan dan agama orang tersebut.
Kisah dari seorang ulama terkemuka, Syeh Abdul Qadir al-Jaelani kiranya relevan. Dalam manaqibnya, dikisahkan bahwa ketika sang Syeh sedang khusu' dalam ibadahnya, tiba-tiba ada seberkas sinar yang seolah berfirman "Aku Tuhanmu. Kau hamba pilihanku. Mulai detik ini, aku halalkan untukmu semua yang haram. Kau bebas dari kewajiban agama". Serta-merta sang Syeh kemudian melemparnya dengan sandal sembari berkata "Enyah wahai yang terkutuk!" Sang Syeh yang bergelar Sulthan al-Auliya' (raja para wali) ini yakin akan satu hal, Tuhan tidak mungkin memerintahkan kepada hal yang keji (fahsya'). Begitulah. Jika ada agama yang memerintahkan untuk berbuat kekerasan, sejatinya itu bukan perintah Tuhan, namun boleh jadi itu bagian dari tipu daya syetan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI