Ketika sang guru Kong Fu Tze diusir dari kerajaan, si murid dengan sukarela mengikuti sang guru, mengelana ke berbagai daerah. Dan ketika kitab-kitab yang dibawa sang guru di kereta terjerembab di sungai es, maka si murid dengan serta merta menjeburkan diri ke sungai es tersebut, untuk mengambil kitab-kitab yang jatuh tenggelam, meskipun si murid ini akhirnya harus membayar mahal, dengan kehilangan nyawa.
Kisah tersebut adalah salah satu adegan dalam film yang berjudul " Confucius" (2010), yang merupakan biografi dari tokoh besar Cina, Kong Fu Tze (Kong Hu Cu). Adegan tersebut menunjukkan betapa guru memiliki karisma yang luar biasa bagi murid-muridnya. Penghargaan terhadap guru yang luar biasa ini tentunya dilatar belakangi oleh dedikasi guru yang juga luar biasa kepada muridnya. Sehingga ajaran Congfucius hingga hari ini masih dianut oleh mayoritas penduduk Cina, yang saat ini menjadi negara yang sangat berkembang pesat.
Dalam tradisi Islam, penghargaan terhadap guru pun sangat tinggi. Sayyiina Ali bin Abi Tholib dalam sebuah riwayat pernah mengatakan " Aku adalah hamba (budak) dari orang yang mengajariku satu huruf saja dari Al-Qur'an". Bahkan dalam salah satu kitab klasik yang paling terkenal dalam pembelajaran "Ta'lim al-muta'alim" dijelaskan bagaimana penghargaan terhadap guru merupakan salah satu kunci sukses dalam menuntut ilmu.
Namun kenyataan itu kiranya sudah mulai hilang saat. Guru sudah tidak lagi menjadi sosok "sakral" yang harus dijunjung tinggi dan dihargai. Guru - meminjam falsafah Jawa - tidak lagi digugu dan ditiru. Murid saat ini sudah "berani" melawan guru. Dalam beberapa kasus, siswa sudah berani memenjarakan guru, atau setidaknya menuntut guru secara hukum, bahkan ada pula murid yang tega membunuh gurunya.
Distorsi Orientasi Pendidikan
Munculnya fenomena tersebut, tentunya dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, bergesernya orientasi pendidikan kita. Pendidika kita tidak lagi berorientasi pada mendidik manusia untuk baik, tapi lebih mengajar manusia untuk cerdas. Dalam tataran yang lebih praktis, pendidikan lebih berorientasi untuk mendapatkan pekerjaan. Sampai sini, peserta didik tak ubahnya seperti robot, sedangkan sekolah tidak beda dengan sebuah pabrik. Padahal pendidikan pada hakekatnya tidak hanya menjadikan manusia menjadi cerdas (kognitif) dan terampil (psikomotorik), namun juga mendidik menjadi manusia yang baik (afektif).
Kedua, gejala pragmatisme guru. Saat ini, boleh jadi sangat sedikit sekali guru yang "iklas" dalam mengajar. Iklas di sini bukan hanya persoalan materi, namun lebih sebagai pengejawantahan niat beribadah atau orientasi moral-spiritual. Mengajar adalah upaya aktualisasi diri, begitu jika meminjam bahasa Maslow. Munculnya kebijakan sertifikasi guru, semakin menandaskan gejala pragmatisme ini. Pada derajat tertentu, guru mengajar bukan lagi karena suara hati, namun lebih karena tuntutan profesi.
Ketiga, arus demokratisasi dan kebebasan yang sepi makna. Demokratisasi yang terjadi pasca reformasi membawa arus penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi warga negara. Hal ini di satu sisi memang sangat positif, namun di sisi lain mendorong setiap orang untuk berlindung di bawah isu HAM tersebut. Dalam kaitannya dengan pendidikan, terjadi de-patronisasi terhadap guru.Â
Artinya, guru di hadapan siswa tidak lagi dipandang sebagai pribadi yang tinggi dan harus dihormati, namun lebih sebagai partner dalam pembelajaran. Beberapa kasus menunjukkan, bagaimana seorang guru harus berurusan dengan pihak berwajib, hanya kareana ia menjewer siswanya. Hingga pada akhirnya, siswa menjadi manja, dan guru pun menjadi lembek karena takut resiko.Â
Yang terjadi, pembelajaran dilakukan dengan setengah hati dan tidak maksimal. Padahal dalam pembelajaran ada metode reward and punishment, dimana hukuman adalah sesuatu yang sah dalam pembelajaran. Meskipun ini bukan berarti membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh guru, namun bagaimana guru berani mendidik melalui berbagai metode yang dirasa lebih efektif.
Urgensi Perlindungan Profesi Guru