Mohon tunggu...
muhamad syarifudin
muhamad syarifudin Mohon Tunggu... Bankir - seorang bankir

Saya seorang bankir yang sudah baik dan ramah.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 1 Prof Apollo " Globalisasi Perpajakan"

29 September 2021   10:34 Diperbarui: 29 September 2021   11:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Teori Umum Fenomena Globalisasi Perpajakan

  • Pendahuluan

Dalam beberapa tahun belakangan ini, terdapat pertumbuhan sangat pesat pada globalisasi di bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi, pendorong utama gobalisasi adalah peningkatan arus informasi, uang dan barang melalui perusahaan multinasional. Globalisasi ekonomi merupakan sebuah proses integrasi ekonomi nasional ke suatu sebuah ekonomi global. 

Salah satu bentuk dari globalisasi ekonomi adalah adanya peningkatan pada keterbukaan dalam perekonomian negara pada perdagangan internasional, baik perdagangan barang dan jasa antar negara, yang terjadi karena biaya transportasi dan komunikasi menjadi lebih rendah karena semakin rendahnya hambatan dalam berbagai bidang, seperti pergerakan pada barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, globalisasi ekonomi tersebut mendorong terciptanya hubungan ekonomi yang dapat saling memberikan pengaruh antar negara, disamping itu, lalu lintas barang dan jasa akan mendorong pembentukan perdagangan antar negara. Dengan adanya globalisasi ekonomi ini, kontrol pemerintah akan semakin menurun karena adanya proses globalisasi yang digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan digerakkan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah secara individu. 

Kegiatan perdagangan internasional akan memberikan pengaruh pada kondisi dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, hal ini dikarenakan semua negara bersaing di pasar internasional (Agusalim & Pohan, 2017; Suprijanto, 2011). Dimana, globalisasi perdagangan akan meningkatkan angka perdagangan antar negara dengan adanya peningkatan dalam spesialisasi dan efisiensi, hal ini dikarenakan negara yang memiliki keunggulan daya saing produk akan terus meningkatkan jumlah produksi dan daya saing (Aliyah & Indra, 2017).

Proses integrasi ekonomi nasional dalam sistem ekonomi global diperankan oleh sejumlah aktor utama proses tersebut. Terdapat tiga aktor utama, yaitu Transnational Corporations (TNCs) yang mencakup perusahaan multinasional besar, di mana dengan adanya dukungan dari sejumlah negara yang diuntungkan oleh TNCs tersebut membentuk dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Organisations (WTO) yang merupakan aktor kedua. Yang ketiga adalah lembaga keuangan global IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Ketiga aktor internasional tersebut menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan investasi, Intellectual Property Rights dan kebijakan internasional (Suprijanto, 2011). 

Selain itu, semakin luas dan tidak terbatasnya lalu lintas barang dan jasa dalam sistem perdagangan internasional tersebut juga secara tidak langsung mempengaruhi jumlah dan struktur penerimaan pajak negara. Karenanya para aktor internasional tersebut menuntut negara untuk melakukan penyesuaian kebijakan nasional yang bertujuan untuk mencapai kelancaran proses integrasi ekonomi nasional dalam ekonomi global dengan mengorganisasikan bisnis dalam satu komando untuk tujuan bersama, yaitu memaksimalkan laba dan meminimalkan segala macam biaya, termasuk biaya pajak (Darussalam, 2015).

Dengan demikian salah satu kebijakan nasional yang dibentuk untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan membentuk penerapan kebijakan atau peraturan perpajakan, yang mana hal tersebut digunakan untuk mencegah terjadinya pajak terutang. Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Sondakh, 2013). 

Hal ini dianggap sebagai sebuah hutang dari rakyat kepada rakyat yang perlu digunakan untuk membangun negara sehingga setiap orang kemudian diwajibkan untuk berpartisipasi berdasarkan undang-undang. Hal ini disebabkan karena dalam melakukan pembangunan, pada dasarnya pemerintah memerkukan dana yang besar, namun pada dasarnya pemasukan dana dari penerimaan pajak atau penerimaan lainnya memerlukan waktu yang tidak sedikit. Pada awalnya pemerintah dapat melakukan pinjaman dari bank sentral, namun cara ini tidak dapat dilaksanakan sepanjang tahun. 

Di saat yang sama pemerintah tetap harus mengeluarkan biaya pembangunan tetapi tidak dapat menunggu hingga akhir tahun pajak. Oleh karena itu, pemerintah kemudian membuat aturan jadwal pemasukan dana untuk dapat memenuhi kebutuhan pembangunan tersebut. Sehingga dari sektor pajak, pemerintah kemudian membuat regulasi pengumpulan dana dari pajak dengan menerapkan sisstem pembayaran pajak yang dipungut di muka.

Di era globalisasi saat ini, perspektif kebijakan pajak telah bergeser dari domestik ke internasional, yang mana hal tersebut mengartikan bahwa kebijakan pajak negara saat ini tidak bisa lagi dikaji dalam ruang domestik saja, melainkan harus mempertimbangkan efek dari kebijakan pajak di negara lain mapun sebaliknya. Meskipun demikian, masing-masing negara memiliki kedaulatan untuk menentukan sistem pajaknya masing-masing, yang mana kedaulatan tersebut telah memberikan dampak pada penerapan kebijakan pajak yang berbeda antar satu negara dengan negara lainnya, termasuk tarif pajak itu sendiri. 

Tidak hanya sistem atau kebijakan perpajakan, semakin bertambah luasnya dan majunya hubungan ekonomi internasional, makin terasa perlunya diadakan suatu rekonsiliasi jurisdiksi pajak dari negara-negara yang bersangkutan. Dengan adanya rekonsiliasi ini, hak pemajakan masing-masing negara yang terlibat diatur secara tegas, sehingga kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda semakin kecil. Berdasarkan pada hal tersebut, makalah ini akan membahas mengenai fenomena globalisasi perpajakan dalam perspektif teori umum perpajakan itu sendiri.

  • Pembahasan
  • Globalisasi dan Insentif Pajak

Insentif pajak pada dasarnya merupakan suatu bentuk fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak tertentu berupa penurunan tarif pajak yang bertujuan untuk memperkecil besarnya beban pajak yang harus dibayarkan. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mendefinisikan insentif pajak sebagai segala bentuk insentif yang mengurangi beban pajak perusahaan dengan tujuan untuk mendorong perusahaan – perusahaan tersebut untuk berinvestasi di proyek atau sektor tertentu (Putri D. T., 2021). 

Menurut Winardi (dalam Putri & Iqbal, 2020), insentif pajak adalah pemungutan pajak dengan tujuan memberikan rangsangan untuk menghasilkan pendapatan pemerintah dan juga memberikan dorongan kearah perkembangan ekonomi (Putri & Iqbal, 2020). Sedangkan Zee, Stotsky, dan Ley (2002) mendefinisikan insentif pajak dari 2 (dua) sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hukum (statutory term) dan dari sudut pandang efektifitas (effective term). Dari sudut pandang statutory term, insentif pajak diartikan sebagai “ketentuan pajak khusus yang diberikan kepada proyek-proyek investasi yang memenuhi syarat yang mewakili penyimpangan yang menguntungkan menurut undang-undang dari ketentuan terkait yang berlaku untuk proyek-proyek investasi secara umum” 

Pengertian ini akan berguna untuk mengklasifikasi insentif pajak. Sedangkan dari sudut pandang effective term insentif pajak diartikan sebagai, “ketentuan pajak khusus yang diberikan kepada proyek investasi yang memenuhi syarat yang memiliki efek menurunkan beban pajak efektif – diukur dengan cara tertentu – pada proyek tersebut, relatif terhadap beban pajak efektif yang akan ditanggung oleh investor tanpa adanya ketentuan pajak khusus. Berdasarkan definisi ini, semua insentif pajak, oleh karena itu, harus efektif”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa insentif pajak merupakan suatu fasilitas atau perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada investor untuk memperngaruhi perilaku investor sehingga tertarik untuk menanamkan modalnya negaranya. Pemberian insentif pajak tersebut pada umumnya dilakukan dalam empat bentuk, yaitu (a) Pengecualian dari pengenaan pajak; (b) Pengurangan dasar pengenaan pajak; (c) Pengurangan tarif pajak; (d) Penangguhan pajak. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan terhadap perkembangan daerah/ negara, meningkatkan investasi yang menyerap tenaga kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran atau untuk memperkerjakan orang-orang dengan spesifikasi tertentu, menarik investasi yang akan membawa peningkatan teknologi atau aktivitas penelitian dan pengembangan, maupun merangsang perkembangan industri, baik yang berorientasi pada ekspor maupun impor (Putri D. T., 2021). 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian insentif pajak tersebut juga dilakukan guna mendorong atau menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mendorong dan mempercepat pembangunan nasionalnya sehingga dapat meningkatkan daya saing yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini disebabkan karena seperti yang telah dikatakan bahwa globalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini telah menimbulkan efek kompetitif dalam bidang produksi dari masing-masing negara. Yang pada akhirnya, globalisasi perdagangan ekonomi tersebut juga telah menimbulkan adanya kompetisi untuk menarik investasi ke dalam masing-masing negara dengan menurunkan tarif pajak korporasi atau memberikan insentif pajak (Darussalam, 2015).

  • Globalisasi dan Treaty Shopping

Pada dasarnya masing-masing negara memiliki kedaulatan untuk menentukan sistem pajaknya masing-masing. Namun interaksi antar sistem perpajakan negara di era globalisasi saat ini juga telah menyebabkan adanya double non-taxation, dimana suatu penghasilan residen dari negara A yang berdomisili B menjadi hak pemajakan pemerintah di negara A dan B. konflik atas hak pemajakan tersebut kemudian mendorong organisasi multilateral, seperti OECD dan UN membuat suatu bentuk model perjanjian penghindaran pajak berganda (bilateral tax treaty). 

Hal ini juga dilakukan oleh Indonesia, yang mana saat ini Indonesia telah membuat perjanjian bilateral mengenai P3B dengan 70 negara. Tax treaty ini pada umumnya dibuat untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan mencegah lolosnya Wajib Pajak dari pengenaan pajak (Bustamar Ayza, 2016). Tax treaty juga pada dasarnya memberikan pengaturan terhadap barang ekspor seperti dengan adanya Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) adalah merupakan sertifikasi asal barang, dimana dinyatakan dalam sertifikat tersebut bahwa barang/komoditas yang diekspor adalah berasal dari daerah/negara pengekspor.

Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, bilateral tax treaty ini cenderung lebih mengarah kepada upaya pemberian sinyal kepada dunia internasional bahwa pemerintahan mereka pro terhadap investasi dan tunduk kepada pola permainan yang telah dijadikan konsesus secara global. Manfaat utamanya adalah adanya sinkronisasi kerangka pemajakan atas penghasilan-penghasilan yang lintas yurisdiksi. 

Dimana pendapatan atau keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan internasional seperti investasi yang melintasi batas negara dapat dikenakan pajak di mana pendapatan tersebut diperoleh (source country), atau di mana orang yang menerimanya tinggal (resident country). Pemajakan pada resident country didasarkan pada prinsip bahwa orang tersebut harus berkontribusi terhadap layanan publik yang diberikan kepada mereka oleh negara tempat mereka tinggal, atas semua pendapatan mereka dari mana pun asalnya. Sedangkan pemajakan pada source country dibenarkan oleh pandangan bahwa negara yang memberikan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan atau keuntungan harus memiliki hak untuk mengenakan pajak.

Pendapatan yang didapatkan dari kegiatan internasional pada dasarnya akan menempatkan penerima manfaat sebenarnya (beneficial owner) dari pendapatan tersebut sebagai wajib pajak (Barata, 2011). Berdasarkan pada PPh Pasal 26 maka penerima penghasilan yang bukan agen, yang bertindak sebagai nominee dan perusahaan conduit adalah beneficial owner yang dipotong Pajak Penghasilannya sebesar tarif yang tercantum dalam P3B dengan negara mitra. 

Dengan adanya P3B selain menghindarkan dari pengenaan pajak berganda juga memberikan manfaat bagi wajib pajak, yaitu dengan meringankan pajak yang harus dibayar dengan adanya pemotongan pajak (reduced rate). Meskipun demikian, dalam perkembangannya, bilateral tax treaty tersebut semakin banyak dimanfaatkan untuk treaty shopping, yaitu upaya meminimalkan pajak dengan cara memanfaatkan treaty network yang dimiliki suatu negara dengan negara lain, terutama apabila jaringan tersebut juga melibatkan tax haven. 

Treaty shopping adalah penggunaan tax treaty oleh orang yang bukan residen dari kedua negara mitra tax treaty, yang biasanya dilakukan melalui pembentukan perusahaan conduit di salah satu negara mitra tax treaty tersebut (Arnold & McIntyre, 1995). Kemudian Stef van Weeghel (1998) mengatakan bahwa treaty shopping mengandung arti suatu situasi dimana suatu pihak (person) yang tidak berhak mendapatkan fasilitas P3B menggunakan –dalam arti yang paling luas- individual atau legal person lain untuk memperoleh fasilitas P3B yang sebenarnya tidak tersedia langsung untuk pihak (person) tersebut.

Sedangkan dalam konteks P3B Indonesia, treaty shopping tersebut digambarkan sebagai upaya dari Wajib Pajak yang sebenarnya bukan WPDN dari negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia untuk mendirikan suatu badan hukum baru di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia, agar penghasilan yang berasal dari Indonesia itu dapat menikmati fasilitas yang diberikan P3B Indonesia, namun badan tersebut, sebenarnya bukan beneficial owner atas penghasilan dari sumber penghasilan di Indonesia (Mansury, 2006). 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa treaty shopping merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan treaty benefit yang disediakan oleh suatu tax treaty oleh subjek pajak yang tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam P3B itu sendiri terdapat kesepakatan-kesepakatan khusus antara dua negara dalam hal fasilitas pemajakan yang akan diberikan. Fasilitas yang disediakan tersebutlah yang kemudian mendorong pihak investor untuk melakukan treaty shopping yaitu suatu skema transaksi yang sengaja di desain untuk mendapatkan fasilitas pajak berupa penurunan tarif ataupun pembebasan pajak oleh Subjek Pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana yang disediakan di dalam P3B.

Dengan kata lain, treaty shopping tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan beban pajak yang seminimal mungkin. Treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan conduit company, di salah satu negara yang terlibat dalam perjanjian dimana conduit company tersebut dikuasai atau dimiliki oleh penduduk negara ketiga. Karena perusahaan penyalur berdomisili di negara pihak yang mengadakan perjanjian, maka mereka berhak diperlakukan sesuai dengan P3B. Sehingga nantinya investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam taxtrety tersebut. 

Padahal yang berhak menikmati fasilitas berdasarkan suatu P3B adalah WPDN dari dua negara yang mengadakan P3B, yaitu residen dan beneficial owner dari penghasilan yang dieproleh WPDN tersebut. Untuk meminimalkan risiko treaty shopping tersebut, maka Indonesia dapat melakukan renegosiasi P3B untuk memasukan Pasal yang berkaitan dengan pembatasan penggunaan P3B bagi mereka yang melakukan penyimpangan dari tujuan diadakannya P3B, yaitu pasal tentang limitation on benefit (Darussalam, 2015).

  • Globalisasi dan International Tax Avoidance

Adanya interaksi antar sistem perpajakan negara juga telah menyebabkan adanya double non-taxation atau tax avoidance. Tax avoidance atau penghindaran pajak adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan (Pohan, 2016). Dyreng (dalam Pea, 2017) juga mengatakan bahwa tax avoidance merupakan usaha untuk mengurangi atau bahkan meniadakan hutang pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Kemudian Barr dan James (dalam Pea, 2017) mengatakan bahwa tax avoidance merupakan suatu bentuk manipulasi penghasilan secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tax avoidance merupakan upaya penghindaran pajak yang memberikan efek terhadap kewajiban pajak yang dilakukan dalam cara atau teknik yang masih dalam bingkai ketentuan perpajakan (Pea, 2017). Upaya ini merupakan alternatif pilihan dalam perencanaan pajak yang dapat menghemat besarnya pajak yang dibayarkan oleh perusahaan.

Di masa kini, upaya penghindaran pajak tersebut seringkali dilakukan oleh perusahaan multinasional atau perusahan-perusahaan yang beroperasi di berbagai negara. Biasanya metode atau teknik yang digunakan untuk melakukan penghindaran pajak tersebut adalah dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Hal ini disebabkan karena Perusahaan multinasional dapat melakukan usaha di berbagai negara yang masing-masing mempunyai tata hukum dan hukum pajak tersendiri. Hal ini kemudian menyebabkan perusahaan multinasional memiliki keunggulan atas perusahaan lokal karena memiliki fleksibilitas geografis lebih besar dalam menentukan lokasi produksi dan sistem distribusi, perusahaan multinasional berkesempatan untuk melakukan penghindaran pajak dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (internasional tax avoidance).

Seperti misalnya kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh Google, yaitu perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara, diantaranya adalah di Belanda, Irlandia, dan di negara Bermuda seperti yang ada pada skema Double Irish. Ketika suatu perusahaan beroperasi lintas negara, maka akan terjadi perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku. Perbedaan hukum tersebut pada akhirnya menciptakan celah-celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari pajak. Pemanfaatan celah hukum yang berlaku di beberapa negara ini merupakan hal yang legal secara subyektif sehingga penghindaran pajak dapat dikatakan legal untuk dilakukan. Pemanfaatan celah hukum ini juga dilakukan oleh Google, dengan tujuan untuk membayar pajak lebih kecil dari atau bahkan tidak membayar sama sekali atas suatu penerimaan tertentu. Dalam kasus ini Google memanfaatkan celah-celah (loopholes) yang ada dalam undang-undang perpajakan dari berbagai negara dimana perusahaan ini berdiri sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah atau bahkan dapat menghindari pengenaan pajak. Pemanfaatan loopholes ini dimungkinkan, karena bagaimanapun lengkapnya suatu undang-undang, belum tentu mencakup semua aspek yang diinginkan.

Pada dasarnya tindakan tersebut dianggap sebagai penghindaran pajak yang legal (tax avoidance). Meski legal, tindakan tersebut dipandang tidak etis karena bertentangan dengan tujuan pembuatan undang-undang perpajakan, yaitu pajak seharusnya dibayar di negara tempat penghasilan diperoleh. Penghindaran pajak ini jika dipandang secara lebih luas akan mengarah pada meningkatnya ketidaksetaraan di seluruh dunia. Jika fokus yang diberikan kepada bahaya penghindaran pajak kepada masyarakat lebih tinggi daripada bagaimana hal tersebut didefinisikan secara hukum, maka kita dapat melihat bahwa hal itu berkontribusi pada meningkatnya ketidaksetaraan, meningkatkan beban pajak pada pembayar pajak penduduk dan merusak legitimasi negara. Selain itu, akomodasi pemerintah atas struktur-struktur yang memfasilitasi penghindaran pajak juga dapat disalahgunakan oleh mereka yang ingin menyembunyikan uang.

Di sisi lain, perusahaan yang menghindari pajak berarti menghindari kewajiban sosial. Penghindaran pajak dapat membuat perusahaan rentan terhadap tuduhan keserakahan dan keegoisan, merusak reputasinya, dan menghancurkan kepercayaan publik. Membayar pajak dalam jumlah yang sesuai di negara tempat sebuah perusahaan beroperasi dipandang sebagai hal yang bertanggung jawab secara sosial bagi perusahaan untuk melakukannya, hal ini dilakukan dengan menyediakan dana untuk layanan publik seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Ini adalah layanan publik yang diuntungkan oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghindaran pajak telah dicap oleh sebagian orang sebagai praktik tidak bermoral dan tidak etis yang merusak integritas sistem perpajakan. Karena penghindaran pajak tersebut dapat mengakibatkan kurangnya pendapatan negara dari sektor pajak. Kurangnya pendapatan pajak, pada gilirannya, menghambat pembangunan infrastruktur yang direncanakan oleh pemerintah suatu negara karena dana yang dibutuhkan tidak tercukupi. Oleh karena itu, penyempuranaan peraturan hukum perpajakan internasional perlu dilakukan.

  • Globalisasi, Profit Shifting, dan Isu Tarif Pajak

Telah dikatakan bahwa globalisasi telah menimbulkan perkembangan ekonomi di dunia dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya perusahaan-perusahaan nasional menjadi multinasional sehingga menyebabkan tidak adanya batasan perekonomian antar negara di seluruh dunia. Namun adanya transaksi antar negara menimbulkan masalah yakni adanya perbedaan tarif pajak yang berlaku. Tarif pajak sendiri diartikan sebagai dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak ini berupa persentase yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Menurut Zulma (dalam Dewi, Widyasari, & Nataherwin, 2020), tarif pajak disusun berdasarkan pertimbangan atas kelangsungan usaha wajib pajak, sehingga indikator dalam mengukur tarif pajak adalah prinsip kemampuan dalam membayar pajak; kemampuan dalam membayar pajak; dan tarif pajak yang diberlakukan dalam suatu negara (Dewi, Widyasari, & Nataherwin, 2020). Tarif pajak ini dapat terbagi menjadi beberapa macam, yaitu a) tarif sebanding atau proporsional, yaitu tarif pajak yang berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsionalnya terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak; b) tarif tetap, yaitu tarif pajak yang jumlah tetap sama terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak terutang tetap; c) tarif progesif, yaitu tarif pajak dimana apabila persentase tarif yang digunakan semakin besar jika jumlah yang dikenakan pajak semakin besar; dan d) tarif degresif, yaitu tarif pajak dimana apabila jumlah yang dikenakan pajak semakin besar maka persentase tarif akan semakin kecil (Mardiasmo, 2016).

Terkait dengan hal tersebut, kedaulatan negara untuk menentukan sistem pajaknya masing-masing telah memberikan dampak pada penerapan kebijakan pajak yang berbeda antar satu negara dengan negara lainnya, termasuk tarif pajak itu sendiri. Dimana beberapa negara mengenakan tarif pajak yang sangat rendah dengan memperbolehkan berbagai biaya pengurang tarif penghasilan kena pajak, beberapa negara mengenakan tarif pajak normal, tinggi, atau bahkan tidak menerapkan pajak sama sekali (Denita, 2018). Perbedaan tarif pajak tersebut kemudian mendorong terjadinya transfer pricing guna menghindari tarif pajak yang tinggi sehingga kenaikan atau penurunan harga terjadi secara tidak wajar. Tingginya tarif pajak yang dikeluarkan oleh suatu negara telah menimbulkan pertimbangan untuk membuat hutang menjadi pembiayaan dengan maksud mengurangi beban pajak, salah satunya dengan menggunakan transfer pricing, untuk meminimalkan beban pajak terutang dan memaksimalkan bonus yang akan diterima. Transfer pricing ini merupakan salah satu bentuk atau teknik untuk melakukan profit shifting, yaitu upaya pengalihan keuntungan perusahaan ke negara lain yang memiliki tarif pajak rendah atau bahkan bebas pajak agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau dapat membayar pajak seminimal mungkin. Dengan kata lain, profit shifting ini sensitif terhadap perbedaan tarif pajak, yang mana perbedaan tarif pajak tersebut kemudian digunakan untuk merekayasa dan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dengan mengalokasikan keuntungan yang didapatkannya di berbagai negara dengan tarif dan basis pajak yang berbeda sehingga mereka dapat memperoleh efisiensi pajak dari upaya profit shifting ini secara tidak wajar. Akhirnya upaya ini telah merugikan dan mengancam negara-negara yang telah menetapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem pajak mereka, serta dapat menyebabkan ketimpangan dalam ekonomi global.

  • Globalisasi dan Debt Equity Ratio

Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai oleh pinjaman atau hutang. Debt to equity ratio merupakan rasio yang mengukur tingkat penggunaan hutang (leverage) terhadap total sharehoder’s equity yang dimiliki perusahaan. Kasmir (2016) menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio (DER) merupakan “rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh utang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik perusahaan. Dengan kata lain, rasio ini berfungsi untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang”. Sedangkan Syamsuddin (2013) menjelaskan bahwa DER merupakan rasio yang dapat menunjukkan hubungan antara jumlah pinjaman jangka panjang yang diberikan oleh kreditur dengan jumlah modal sendiri yang diberikan oleh pemilik perusahaan. Dimana perusahaan yang memiliki DER yang tinggi cenderung mencerminkan risiko keuangan perusahaan yang semakin besar karena utang akan menimbulkan keterikatan yang tetap bagi perusahaan berupa kewajiban untuk membayar beban bunga beserta cicilan kewajiban pokok secara periodik, dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki rasio DER yang lebih rendah.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Prihantoro (dalam Merzieana, 2015) yang mengatakan bahwa debt to equity ratio (DER) adalah: “Mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya. Semakin besar penggunaan hutang maka dapat berdampak pada financial distress dan kebangkrutan. Berdasarkan dampak ini bila perusahaan memiliki hutang yang tinggi, hal tersebut akan mengurangi pembayaran dividen untuk menghindari transfer kekayaan dari kreditur kepada pemegang saham. Dalam hal ini kepentingan kreditur tetap diperhatikan karena keuntungan disimpan untuk pelunasan hutang” (Merzieana, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan hutang yang tinggi akan menyebabkan penurunan dividen karena sebagian besar keuntungan dialokasikan sebagai cadangan pelunasan utang. Sebaliknya pada tingkat penggunaan hutang yang rendah, perusahaan mengalokasikan dividen tinggi sehingga sebagian besar keuntungan yang digunakan untuk kesejahteraan pemegang saham. Peningkatan dividen memberi kesempatan untuk emisi saham baru sebagai subsitusi atau pengganti atas penggunaan hutang.

 Terkait dengan hal tersebut, di era global ini, dengan berkembangnya dunia bisnis, persaingan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya semakin meningkat dan semakin ketat. Untuk dapat bersaing dengan perusahaan lainnya, perusahaan harus dapat mengelola seluruh aset dan kewajibannya dengan semaksimal mungkin agar kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan perencanaan awal perusahaan yang didirikan. Untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan agar selalu eksis dalam dunia usaha, maka diperlukan penanganan, pengelolaan, dan peningkatan kinerja sumber daya perusahaan secara efektif dan efisien, khususnya dalam bidang pengelolaan keuangan. Sejalan dengan upaya bersaing tersebut, banyak perusahaan yang melakukan ekspansi untuk memperluas jangkauan perusahaannya. Untuk melakukan ekspansi tersebut tentu, perusahaan membutuhkan dana yang relatif besar, sehingga perusahaan seringkali melakukan pinjaman, baik dalam bentuk hutang atau menerbitkan saham di pasar modal. Terlebih bagi perusahaan multinasional, adanya ketentuan bahwa pembayaran bunga dapat menjadi pengurang pajak juga telah mendorong perilaku untuk mendanai afiliasinya dengan menggunakan utang dibandingkan dengan penyertaan modal.

Sayangnya, dalam pelaksanaan suatu bisnis atau usaha tentunya tidak selalu berjalan dengan lancar dan mudah, sebab dalam praktiknya, ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan bisnis atau usaha itu sendiri. Dimana perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspansi dan menghadapi berbagai tantangan yang sulit akan cenderung sulit untuk memenuhi dan membayar semua kewajibannya atau bahkan mereka seringkali meningkatkan penggunaan hutangnya yang akibatnya biaya modal atau hutang sebelumnya semakin besar. Hutang yang semakin besar inilah yang menyebabkan beban perusahaan menjadi besar karena beban biaya hutang yang harus ditanggung. Semakin besar hutang akan menyebabkan prioritas perusahaan untuk membayar dividend akan semakin kecil karena keuntungan perusahaan berkurang dengan adanya biaya hutang perusahaan

  • Globalisasi dan Transfer Pricing

Organizaton for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai penentuan harga dalam transaksi antar anggota grup perusahaan multinasional yang dapat menyimpang dari nilai pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Pada dasarnya tujuan utama dari transfer pricing adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan, namun sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi (Nurhayati, 2013).

Istilah transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu pengertian netral dan pengertian negatif (pejorative). Pengertian netral mengasumsikan bahwa harga transfer adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan pengertian pejorative memandang harga transfer sebagai harga yang diterapkan oleh perusahaan multinasional dengan maksud untuk mengalokasikan penghasilan dari suatu perusahaan ke perusahaan lainnya pada negara yang berbeda dalam perusahaan multinasional tersebut dengan tujuan untuk menurunkan laba kena pajak di negara yang mempunyai tarif pajak tinggi dan mengalihkan labanya ke negara lain yang tarif pajaknya rendah atau bahkan nol (Achmadiyah, 2013).

Terkait dengan hal tersebut, di era globalisasi saat ini, banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang menggunakan praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Meskipun tidak mudah, namun dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Terdapat beberapa metode yang umum digunakan dalam melakukan transfer pricing, yaitu (Hongren, 2008):

  • Penentuan harga transfer atas dasar biaya (Cost Based-Transfer pricing) Banyak perusahaan yang menggunakan metode dengan dasar biaya dalam penentuan harga transfer (Cost Based). Karena banyaknya definisi tentang biaya, sehingga perusahaan mungkin menggunakan biaya variabel, biaya penuh, atau biaya standar dan lainnya menggunakan biaya aktual dalam menentukan harga transfer. Standar Cost merupakan dasar yang sering digunakan dalam penentuan harga transfer, karena jika pendekatan actual cost yang digunakan maka ketidakefisienan dalam produksi yang terjadi dalam devisi penjual yang nantinya terbawa dalam devisi pembeli sehingga nilainya tidak sesuai dengan keadaan
  • Penentuan harga transfer atas dasar harga pasar (Market Based-Transfer pricing) Harga pasar didapat dari daftar harga yang dipublikasikan untuk barang atau jasa yang sejenis dengan produk atau jasa yang ditransfer dari harga yang dibebankan dari devisi yang memproduksi jika devisi tersebut menjual kepada pihak luar. Dalam grup perusahaan multinasional mempunyai harga pasar, apabila jasa atau barang yang ditansfer antar divisi atau antar perusahaan, maka harga pasar ini merupakan bentuk dasar yang adil dari sudut pandang pengukuran kinerja. Kendala yang sering terjadi dalam penggunaan harga pasar adalah keterbatasan informasi mengenai pasar,
  • Negosiasi (Negotiated Transfer pricing) Metode negoisasi ini biasanya digunakan oleh perusahaan multinasional terutama pada setiap divisi yang memiliki perjanjian atau komitmen dalam penentuan harga transfer, sebab akan mencerminkan prospektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat pertanggung jawaban karena nantinya para divisi akan mempertanggung jawabkan atas harga transfer yang dinegosiasikannya.

Sebuah perusahaan multinasional melakukan transfer pricing untuk mencapai dua tujuan yaitu (Mangoting, 2004):

  • Performance Evaluation.
  • Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau Return On Investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis akan meningkatkan ROI-nya, tetapi di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya akan berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan dalam ROI. Hal semacam inilah yang terkadang membuat transfer pricing itu berada di posisi yang terjepit. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan seperti ini, induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan harga transfer.
  • Optimal Determination of Taxes 

Tarif pajak antar satu negara dengan negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut. Afrika misalnya, karena tingkat investasi rendah, tarif pajak yang berlaku di negara tersebut juga rendah. Tetapi apabila kita berbicara tentang Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang berlaku di negara tersebut sama dengan di negara Afrika. Hal ini jelas, karena di negara maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi, yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif pajak yang ditetapkan di negara yang bersangkutan tinggi

      Masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu dua tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana pada dasarnya 70% dari perdagangan internasional di Indonesia berasal dari transaksi afiliasi, sehingga sudah seharusnya transfer pricing menjadi fokus bagi Indonesia. Adapun maksud afilisasi atau hubungan istimewa yang dimaksud tersebut menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.7) adalah sebagai berikut: (a) perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermediaries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries dan fellow subsidiaries); (b) perusahaan asosiasi (associated company); (c) perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor); (d) karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut; (e) perusahaan di mana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut (Harimurti, 2007).

Dari sisi pemerintah, transfer pricing ini dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang karena perusahaan multinasional menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah. Namun dari sisi bisnis, upaya ini dilakukan untuk meminimalkan biaya-biaya, termasuk dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Karenanya meskipun transfer pricing tersebut tidak selalu membuat rugi, Indonesia harus memperhatikan lebih lanjut transfer pricing yang terjadi di wilayahnya. Hal ini disebabkan karena dengan transfer pricing tersebut, alokasi profit akan menjadi lebih adil karena mengacu pada value creation atas substansi, risiko, dan intangibles, yang mana hal tersebut juga dapat digunakan untuk menjawab berbagai sengketa transfer pricing yang selama ini terjadi. Sebab apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa (Harimurti, 2007). Selain itu, OECD juga menyarankan untuk melakukan perhitungan ALP atas produk komoditas yang selama ini belum jelas penerapannya dengan menggunakan klausul safe harbor atau nilai rasio margin ambang batas. Sebab selama ini Indonesia masih mengalami hambatan dan kesulitan untuk mencari pembanding, padahal transaksi afiliasi tersebut dilakukan secara sederhana dan bernilai kecil, sehingga adanya safe harbor ini akan memberikan kepastian bagi beberapa industri atau transaksi tertentu (Darussalam, 2015).

Meskipun demikian, Indonesia seharusnya tidak hanya melihat dari output OECD saja, namun juga dapat mengusulkan adanya format baru dokumentasi transfer pricing, seperti country by country reporting (CbCR), yaitu suatu bentuk dokumentasi transfer pricing yang disinergikan dalam grup dan melampirkan informasi mengenai aktivitas dan laba yang dihasilkan oleh setiap entitas dalam grup. Dokumentasi transfer pricing adalah alat yang efektif untuk menangkal bagi profit shifting strategi bia manipuliasi transfer pricing. Selain itu, dokumentasi ini juga memberikan biaya yang tidak sedikit bagi wajib pajak karena prinsip ALP yang mensyaratkan pembanding. Sehingga dokumen CbCR ini didasarkan dari pemaksaan transparansi perusahaan multinasional. Sebab bagi sebagian besar otoritas pajak, fakta mengenai aktivitas dan laba afiliasi wajib pajak mereka sangat dibutuhkan untuk melihat seberapa wajar laba yang didapatkan oleh wajib pajak dalam supply chain grup perusahaan. Karenanya, upaya ini perlu mendapat dukungan dari pemerintah melalui ketentuan baru serta memaksimalkan alternative dispute resolution untuk menekan sengketa dan permasalahan yang ada (Darussalam, 2015).

  • Globalisasi dan Kewajiban Diclosure untuk Skema Tax Planning 

Lebih lanjut, adanya keinginan untuk membatas tax benefit yang didapatkan dari aktivitas penghindaran pajak biasanya dapat dilakukan dengan cara membentuk kewajiban disclosure perencanaan pajak. Kewajiban disclosure tersebut diartikan sebagai kewajiban untuk mengeluarkan atau memberikan informasi. Pengungkapan dinyatakan sebagai penyediaan informasi berupa informasi keuangan dan non keuangan yang relevan dan efektif dari badan usaha. Tujuan dari pengungkapan tersebut sebenarnya untuk melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda seperti pemerintah, masyarakat atau investor (Prihanto & Damayanti, 2020). Apabila dikaitkan dengan pajak, pengungkapan atau disclosure tersebut dapat diartikan bahwa laporan perpajakan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil atau keuntungan atau laba yang didapatkan dari aktivitas suatu unit usaha. Dengan demikian, informasi tersebut harus lengkap, jelas, dan dapat menggambarkan secara tepat kejadian-kejadian ekonomi yang berpengaruh terhadap hasil operasi unit usaha tersebut.

Sedangkan Tax Planning atau Perencanaan Pajak secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Perencanaan pajak dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal (Prianto, 2016). Terdapat beberapa strategi pajak yang dapat ditempuh untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu (Pohan, 2013):

  • Tax Saving
  • Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Contoh: pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan sebagai biaya dalam menghitung pph badan. Pemberian natura dapat dimasukkan sebagai penghasilan karyawan sehingga dapat dikurangkan sebagai biaya. Perlakuan ini mengakibatkan Penurunan PPh badan lebih besar daripada kenaikan PPh pasal 21 (dengan asumsi perusahaan memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 juta, dan PPh badan tidak bersifat final.
  • Tax Avoidance
  • Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan objek pajak. Contoh: Pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final, untuk mengefisiensikan PPh pasal 21 karyawan, dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin kesejahteraan dalam bentuk natura, mengingat pemberian natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan merupakan objek PPh pasal 21. Misal pada saat perusahaan dalam kondisi rugi secara fiskal, atau memiliki kompensasi kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif besar di tahun-tahun sebelumnya
  • Penundaan Pembayaran Pajak
  • Penundaan pembayaran pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan. Contoh: Untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan, khususnya atas penjualan kredit, karena penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan pajak
  • Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan

Wajib pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran yang dapat dikreditkan. Sebagai conroh: PPh pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina yang bersifat final jika pembelinya perusahan yang bergerak dibidang penyaluran migas. Tetapi jika pembelinya bergerak dibidang pabrikan, PPh pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh badan

Terkait dengan hal tersebut, pajak bagi pemerintah merupakan sumber pendapatan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Namun bagi perusahaan, pajak merupakan biaya atau beban yang akan mengurangi laba bersih. Jika keuntungan diperoleh perusahaan besar secara otomatis pajak penghasilan yang dibayarkan ke kas negara juga besar. 

Berdasarkan fenomena inilah maka perusahaan dalam hal ini manajer keuangannya, berusaha agar dapat melakukan penghematan atau pengurangan pajak secara legal, yang mana hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk perencanaan pajak. Perencanaan pajak atau Tax Planning tersebut merupakan tahap awal untuk melaksanakan analisis secara sistematis berbagai perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan minimum. 

Dalam arus globalisasi serta tingkat persaingan yang ketat, menyebabkan seorang manajer perusahaan maupun badan usaha dalam melakukan tax planning perusahaannya dituntut untuk benar-benar menguasai situasi yang dihadapi, baik dari segi internal maupun eksternal, sehingga perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap transaksi-transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan. 

Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) (W, Saifi, & Dwiatmanto, 2014).

Dalam hal ini, perencanaan pajak tersebut juga berhubungan dengan laba bersih yang didapatkan perusahaan. Jika beban pajak dapat diminimalkan maka laba perusahaan akan lebih besar. Dalam kerangka kerja konseptual akuntansi, Hery (2015) mengatakan bahwa informasi mengenai (ukuran) laba perusahaan dapat menjadi dasar untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa depan. 

Oleh karenanya, perusahaan harus dan wajib untuk memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil atau keuntungan atau laba yang didapatkan dari aktivitas suatu unit usaha untuk dapat membentuk skema perencanaan pajaknya. Sebab menurutnya fokus utama pelaporan keuangan adalah informasi mengenai kinerja perusahaan yang diberikan oleh ukuran laba. Jadi, selain untuk meminimalkan beban pajak, perencanaan pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja perusahaan karena laba bersih perusahaan bertambah besar. 

Hal ini juga dijelaskan oleh Saefi, Kesuma, Lahaya (2017) yang mengatakan bahwa penghematan kas dari akibat penghematan pajak yang dilakukan perusahaan melalui langkah-langkah perencanaan pajak yang sesuai peraturan dan undang-undang perpajakan, telah mampu meningkatkan kinerja perusahaan yang diukur dengan rasio likuiditas dan solvabilitas.

  • Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa globalisasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai penyempitan dan percepatan keterkaitan seluruh dunia, batas-batas teritorial maupun budaya antar bangsa menjadi seolah hilang. Sehingga globalisasi ini telah membuka lalu lintas perdagangan barang dan jasa antar negara yang pada akhirnya negara-negara yang ada memiliki keterlibatan yang luas dalam perdagangan antar negara atau terlibat dalam perdagangan internasional. 

Dengan menjadi bagian dari perdagangan internasional, akan dapat mendorong ekonomi nasional, karena perdagangan internasional akan memperluas pangsa pasar serta dapat meningkatkan daya saing produksi dalam negeri. Dengan semakin terbukanya sistem ekonomi dan perdagangan saat ini, dibutuhkan kebijakan atau peraturan perpajakan untuk mencegah terjadinya pajak terutang. 

Berdasarkan pada teori umum perpajakan, ada berbagai fenomena globalisasi perpajakan yang terjadi di era globalisasi saat ini, antara lain: 1) adanya persaingan yang ketat di dunia bisnis dan ekonomi global, negara-negara didunia saling berkompetisi untuk menarik investasi ke dalam masing-masing negara dengan menurunkan tarif pajak korporasi atau memberikan insentif pajak guna  meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mendorong dan mempercepat pembangunan nasionalnya sehingga dapat meningkatkan daya saing yang dimiliki oleh negara tersebut; 

2) interaksi antar sistem perpajakan negara di era globalisasi saat ini telah menyebabkan adanya double non-taxation, yang kemudian mendorong negara-negara untuk membentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (bilateral tax treaty). 

Sayangnya perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut saat ini cenderung dimanfaatkan untuk treaty shopping untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan beban pajak yang seminimal mungkin; 

3) Selain treaty shopping, interaksi antar sistem perpajakan negara juga telah menyebabkan terjadinya penghindaran pajak, yang biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang; 

4) tidak hanya penghindaran pajak, perusahaan-perusahaan multinasional saat ini juga seringkali melakukan profit shifting akibat tingginya tarif pajak yang dikeluarkan oleh suatu negara, dengan mengalokasikan keuntungan yang didapatkannya di berbagai negara dengan tarif dan basis pajak yang berbeda sehingga mereka dapat memperoleh efisiensi pajak dari upaya profit shifting ini secara tidak wajar; 

5) adapun metode yang dilakukan untuk profit shifting adalah transfer pricing, upaya yang dilakukan untuk penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang atau meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi. Akibatnya upaya ini membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang karena perusahaan multinasional menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah; 

6) tuntutan untuk dapat bersaing dan memenangkan persaingan global, membuat banyak perusahaan yang melakukan ekspansi untuk memperluas jangkauan perusahaannya dengan melakukan pinjaman, baik dalam bentuk hutang atau menerbitkan saham di pasar modal, akibatnya penggunaan hutang perusahaan menjadi besar, yang terkadang hal tersebut berdampak pada financial distress dan kebangkrutan perusahaan itu sendiri; dan 

7) tingkat persaingan yang ketat di era globalisasi saat ini juga menuntut manajer perusahaan maupun badan usaha dalam melakukan tax planning, sehingga perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap transaksi-transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan agar mereka dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun