Di masa kolonialisme, Pasar Baru ini menjadi sebuah tempat yang maju. Banyak orang-orang Eropa yang berkunjung untuk sekadar berwisata dan memanjakan mata.Â
Selain itu juga, Pasar Baru dapat dikatakan sebagai sebuah wadah multikulturalisme. Di masa itu, banyak sekali pedagang-pedagang India juga pedagang asal Cina yang menjajakan dagangannya.
Orang-orang asing seperti orang Cina dan India yang berdagang di Pasar Baru ini banyak menggoreskan tinta-tinta sejarah hingga kini. Seperti sekarang ini, di Pasar Baru masih banyak sekali toko kain yang penjualnya orang India asli.Â
Selain itu juga masih banyak toko yang menjajakan makanan khas Cina atau pun menghiasi toko mereka dengan huruf kanji.Â
Arsitektur Pasar Baru juga merupakan bentuk akulturasi antara budaya Eropa dan Cina. Oleh karena itu, Pasar Baru dapat dikatakan sebagai wadah multikulturalisme dan sarana akulturasi.
Sekarang ini, Pasar Baru masih menjadi pusat niaga yang besar meski sudah tak sebesar dulu.Â
Banyak masyarakat lokal maupun turis internasional pergi ke sana untuk memburu barang-barang vintage, atau sekadar memanjakan mata untuk menilik tinggalan sejarah di masa lampau yang tertinggal sebagai warisan.Â
Selain itu, tak jarang pula mereka datang untuk memanjakan lidah dengan santapan khas Pasar Baru. Sebut saja seperti Bakmi Gg. Kelinci, Cakue Ko Atek, dan masih banyak lagi.Â
Selain harganya yang relatif murah, rasanya justru tak murahan lho. Makanan-makanan yang ada di Pasar Baru ini bisa menjadi destinasi selanjutnya untuk melepas penat dan lapar pasca thrifting.
Semakin lama eksistensi trend thrifting ini berlanjut, maka akan semakin banyak masyarakat yang silih berganti mendatangi Pasar Baru. Hal ini tentu dapat berpotensi untuk memajukan Pasar Baru seperti sedia kala.Â
Nah kalau kamu, gimana nih? Sudah pernah main ke Pasar Baru? Jika belum, yuk ngethrift di Pasar Baru!