Realitas ini membangkitkan semangat Kartini untuk mendobrak tradisi dengan melakukan perubahan yang mendasar. Ia menuntut adanya suatu pembaharuan di bidang pendidikan. Ide-ide nya pun meluncur bak meteor yang menerangi cakrawala semesta gagasan, melalui goresan pena-penanya, maka lahirlah buku “Habis gelap terbitlah terang”.
Kartini menghendaki dibukanya wanita Indonesia dari “penjara” yang mengekang mereka, dan membelenggu kebebasan bergeraknya. Wanita Indonesia hendaknya mempunyai hak yang sama dengan pria untuk mengarungi dan menikmati indah serta mulianya dunia pendidikan. Konsep ini sejalan dengan amanat Rasul bahwa “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai keliang lahat”. “Menuntut ilmu wajib bagi laki-laki maupun wanita” (Al-Hadis).
Hari berganti, bulan pun berlalu, dan tahun pun datang. Rezim Orde Lama tumbang, Rezim Orde Baru jatuh, reformasi berkibar. Hari Kartini tidak berubah, tetap diperingati setiap tanggal 21 April. Hari-hari ini, wanita berhasil mengangkat derajatnya ke puncak yang paling tinggi dengan mendudukan wanita sebagai RI-1 (Presiden Megawati).
Bila dilihat sepak terjang kaum kartini saat ini, berada pada dua titik ekstrem. Apabila Kartini masih hidup, tentulah dia sangat bersuka cita melihat cita-citanya dikembangkan orang.
Tingkat pendidikan wanita semakin hari semakin membaik, dan kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk mengikuti pendidikan, demikian maju. Air mata bahagia akan mengalir melihat realitas ini.
Namun pada saat yang sama, kita lihat banyak Kartini, berubah dari sistem pingitan menjadi sistem “pungutan”. Begitu bebas (liar) Kartini berpesta pora di hotel-hotel, klub-klub malam, karaoke, atau lokasi lainnya. Mereka dengan mudah dipungut oleh siapapun, dengan 1001 macam alasan (lihat Buku Moammar Emka “Jakarta Under Cover-Sex n’ the City). Dalam buku tersebut Emka menyajikan 24 kisah mesum yang lahir dari prilaku cabul sebagian kelas menengah—atas Jakarta. Emka yang jebolan IAIN Jakarta, ia seperti Marquis de Sade, pengarang Perancis abad ke-18 yang menerjunkan diri ke lapangan untuk memperoleh hasil data yang maksimal dalam penggarapan bukunya The 120 Days of Sodom.
Kenapa mereka (para wanita) melakukan itu? tidak mampu untuk melanjutkan sekolah? karena rumah tangga berantakan, karena “tekanan bawah perut”, atau hanya untuk kepuasan semata-mata?
Dari kawin paksa berubah menjadi pergaulan bebas, tanpa mengikuti nilai-nilai agama. Inilah yang mereka anggap moderen (?). Kalaulah Kartini masih hidup, maka akan mengalir air mata dukacita. Karena cita-citanya ditumbangkan orang.
Lihatlah, setiap tanggal 21 April mereka mengenakan kebaya nasional. Apakah menggunakan lipstik buatan Bekasi, atau Itali. Tidak beda dengan mereka yang menggunakan parfum merek Surabaya, atau Singapura. Sandalnya yang buatan Cibaduyut atau negara maju. Semuanya cantik-cantik. Sambil bernyanyi “Ibu Kita Kartini, Putri Sejati…..”
Bisakah kita tebak, mana Kartini pengembang, dan mana Kartini penumbang?
Wallahu’alam.