Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kartini di Abad Reformasi

21 April 2024   15:00 Diperbarui: 21 April 2024   15:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret Kartini di Abad Reformasi

Sejarah panjang cerita emansifasi wanita cukup berdarah-darah. Tahapan demi tahapan berjalan demikian ketat secara revolusi. Penggalan ceritanya antara lain dapat dilihat pada dekade Arab jahiliyah dahulu, memperlakukan wanita demikian “rendah”. Mereka  diciptakan hanya sebagai “makanan” kaum pria di tempat tidur dengan sistem haremnya.

Wanita juga dilakukan sebagai “babu” yang tugasnya mempersiapkan hidangan di dapur. Dijadikan sebagai hostes, guna memenuhi nafsu perut dan “bawah perut” lelaki pada waktu itu. Gambaran ini juga dilengkapi dengan sikap sumun dawuh. Komentar tidak boleh ada, apalagi melakukan penolakan atau pembangkangan.

Sedikit komentar, tamparan dan tendangan pun melayang tanpa ampun. Dalam kehidupan berumah tangga, suami bertindak sebagai “raja” dan melakukan apa saja yang dikehendaki. Arab jahiliyah merasa sangat hina jika mempunyai anak perempuan, sebab dianggap pembawa sial. Anak perempuan harus dibunuh, atau dikubur hidup-hidup.

Kisah mengharukan tentang perempuan juga terjadi pada saat sahabat Nabi yaitu Ummar Bin Khattab, yang membunuh bayi perempuannya. Di belakang hari setelah Umar masuk Islam, ia sering meneteskan air mata, bahkan tersendu sehingga janggutnya yang panjang menjadi basah.

Ceramah Rasullallah saw  tentang kewanitaan, tak sanggup membendung kesedihannya. Pikirannya melayang jauh saat dimana dia menguburkan anak perempuannya hidup-hidup. Cerita kelabu masa lalu Umar  yang begitu menyakitkan dan menyesakan. Pada zamannya, wanita Arab bukan hanya mentradisikan sistem pingitan dan kawin paksa, tapi juga “menendang” wanita kelembah yang paling hina.

Nabi Muhamad tampil sebagai Rasul yang memperjuangkan nasib wanita. Adat jahiliyah yang serba biadab, dikikis habis. Kata bertuahnya sangat pantas dimunculkan disini : 

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya, adalah orang yang paling indah akhlaknya. Sedangkan yang paling baik diantara mereka adalah yang paling baik kelakukannya terhadap wanita”. (H.R. Abu Daud).

Menurut Rasul, wanita adalah sekelompok manusia yang patut mendapat perlindungan dan dihargai.  Dalam rentang waktu 14 abad yang lalu setelah kelahiran Muhammad saw, lelaki yang berakhlak agung dan mulia itu. Maka di Indonesia  lahirlah seorang sosok wanita yaitu Raden Ajeng Kartini. Kartini lahir tanggal 21 April 1879 M, sedangkan Nabi Muhammad saw lahir tanggal 21 April 571 M. Tanggal lahir Kartini terukir dalam sejarah sebagai “Hari Kartini”, identifikasi emansifasi wanita Indonesia.

Kartini pada zamannya memperjuangkan hak-hak wanita di Indonesia, terutama nasib wanita remaja putri terhadap pendidikan. Nasib wanita putri yang terbelakang dalam hal pendidikan, bukan dikarenakan mahalnya biaya pendidikan seperti saat ini, melainkan karena terbelenggu oleh suatu tradisi yang kuat (terutama di Jawa).

Pada zamannya, wanita pada usia tertentu harus tinggal di rumah menjadi gadis pingitan. Mereka hanya boleh jalan antara kasur, dapur, dan  sumur. Hidupnya terkurung dan terkungkung antara tiga komponen itu. Pada saatnya pun wanita  dipaksa kawin dengan pilihan orang tuannya , tanpa ada reserve sedikitpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun