Mulai dari pelarangan minuman beralkohol ketika menonton pertandingan di stadion, hingga kontroversi pemblokiran semua atribut yang menjurus ke arah identitas LGBT. Dimana isu terakhir menjadi isu yang semakin menggunung di awal-awal kompetisi ini dimulai.
Seperti yang kita ketahui, dua hal di atas adalah hal yang dianggap bukanlah sebuah pelanggaran norma jika mengacu pada budaya barat. Lain hal bagi Qatar yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, khamr dan penyimpangan seksual adalah dua hal yang sangat tabu dan dilarang dalam kepercayaan masyarakat muslim.
Walau hingga akhirnya Qatar mencoba bertoleransi untuk memperbolehkan bendera pelangi dan segala atributnya berseliweran di sekitaran stadion ketika pertandingan.
Lebih jauh menelisik soal Piala Dunia kali ini yang saling berkaitan dengan isu-isu di atas, keterlibatan para penguasa negeri di Timur Tengah ini sangat jelas terasa. Bahkan cukup menjadi sorotan khalayak umum, khususnya dari pihak dunia barat.
Ketidakpercayaan para kritikus barat soal pencitraan dan kepalsuan yang ditunjukan para keluarga-keluarga bangsawan Qatar ketika menggelar hajat sepakbola ini bisa dibilang semakin membesar. Dimana para bangsawan ini memiliki kekuasaan mutlak atas kepolisian, yang kredibiltasnya semakin dipertanyakan.
Membuat keseluruhan persiapan dan pagelaran akbar ini semakin menarik dan memancing perhatian publik dunia. Bahkan bisa dibilang bahwa ajang Piala Dunia kali ini lebih kental dengan aroma geopolitik nya dibanding dengan acara intinya, olahraga.
Sebuah Kebanggaan dibalik Cibiran
Terlepas dari semua berita-berita negatif yang menyelimuti Piala Dunia edisi Qatar ini, masih banyak hal positif yang sejatinya bisa disebarkan dan dibanggakan.
Kebanggaan atas terselenggaranya Piala Dunia pertama kali di Jazirah Arab, khususnya di negeri muslim. Yang paling penting, para penduduk lokal yang dengan tangan terbuka menyambut para tamu-tamu yang datang dengan sangat ramah, membuat semua image miring yang muncul setidaknya bisa terobati.