Ketiga, Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber; sekolahnya di Belanda dan teman-teman Belandanya.
 Keempat, Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Bahkan, Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Karena surat-surat yang ditulis Kartini bisa dikatakan hanya "curhatan" bersama teman-temanya, bukan untuk dipublikasikan apalagi untuk menabur paham Feminisme di Indonesia.
 Kelima, justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis Kartini ini adalah Mr. Jacques Henrij Abendanon, menurut . Tiar Anwar Bachtiar, secara politis, Abendanon merupakan penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sehingga wajar jika kemudian ia mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, dengan meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Sehingga ini bisa disebut awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia.[8]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H