Mohon tunggu...
Muh Almubarak
Muh Almubarak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mulai dari awal

Hidup krisis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Modern dan Mengenal Diri

20 Juni 2021   23:37 Diperbarui: 21 Juni 2021   00:26 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dibawah tekanan cepatnya informasi yang berseliweran di sosial media tidak sedikit dari kita yang terseret ke dalam pusaran kecepatan sehingga menurunkan daya kritis, analisis dan perenungan kita atas informasi yang kita terima. Di sisi lain fenomena kecepatan ini juga turut andil menggerus waktu dan kesadaran kita untuk bertafakkur dan mema'rifati diri sebagai jalan untuk memahami si lahiriah agama dan dimensi batin agama guna mendekatkan diri kepada Al-Khalik.

Mengenal diri (ma'rifat an-nafs) adalah salah satu hal yang mendesak dan menjadi kebu tuhan dasar batin manusia dari gejala empirisme dan materialisme yang menumpulkan sisi ruhani manusia. Nampak gemuruh dari seruan untuk kembali pada Al-Quran dan As-sunnah serta beragama secara kaffah dari para muballigh pada umumnya, hal ini mungkin tidak berbanding lurus dengan seruan untuk kembali mentafakkuri dan mema'rifati diri, sehingga model keberagamaan manusia seperti ini, nampak mengalami pendakalan makna batin dan kemarau spiritual, mungkin tidak berlebihan jika kita memandangnya sebagai syndrome manusia modern yang mesti di pecahkan dan di temukan jalan keluarnya. 

Setiap manusia, sejatinya berbuat demi meraih kesempurnaan dan kebahagiaan jiwanya, Mulai dari tuntutan material, intelektual, hingga spiritual semua ini di anggap sebagai dorongan instingtif dan fitrawi pada jiwa manusia guna menemukan keseimbangan dan kebahagiaan hidupnya. Lantas apa kepentingan manusia kembali kepada diri atau mengenal diri ? 

Hal ini di sebabkan segenap aktifitas manusia memiliki pijakan, mukaddimah, pondasi, dan landasan aktifitasnya pada diri (jiwa) mereka sendiri. Di sisi lain manusia sebagai subjek yang memiliki kehendak, kebebasan dan kesadaran berkonsekuensi munculnya tanggung jawab atas segenap apa yang mereka pilih dan perbuat.

Bertalian dengan itu, apakah misi para Nabi itu selaras dengan jiwa manusia? pakah seruan untuk menegakkan dan mencintai keadilan adalah hal yang berkoresponden dengan jiwa manusia? Apakah pada diri manusia memiliki semacam benih yang akan tumbuh menjadi kesadaran untuk beragama dan bertuhan? Ataukah seperti tudingan dari materialisme yang berkembang di eropa bahwa kesadaran religius manusia hanyalah konstruksi ekternal dari masyarakat dan sejarah saja? Dari persoalan-persoalan filosofis ini menjadi dasar akan kebutuhan manusia untuk kembali kepada diri guna menumukan akar kemanusiaannya lewat mengenal diri. 

Selain dari pada tuntutan filosofis, Makrifat An - Nafs juga merupakan perintah yang imperatif di dalam ajaran Islam seperti yang tercermin pada (Qs : Adz-Dzariyat ) bahwa Allah SWT setelah mengajak manusia untuk memperhatikan tanda - tanda kebesaran-Nya yang terhampar di alam raya, kemudian mengajak manusia untuk mengenal tanda - tanda kebesaran-Nya di dalam jiwa manusia itu sendiri. Sejalan dengan pentingnya Makrifat an - nafs juga di tekankan oleh Nabi Muhammad SAW beliau bersabda barang siapa yang telah mengenal dirinya (Mak'rifat An-Nafs), Maka ia sungguh mengenal Tuhannya.

Dalam tradisi intelektual dan spiritual islam, Makrifat an-nafs menjadi perhatian dan apresiasi, bahkan dianggap sebagai ukuran prestasi dan capaian kemanusiaan bagi mereka yang sedang menjalani proses pencarian hakikat diri dan agama, seperti ungkapan Sayyidina Ali KW. "Bahwa capaian terbesar seseorang manakala ia telah berjaya dalam mengenal dirinya (Ma'rifat An- Nafs)".

Dengan demikian Ma'rifat An nafs di samp ing sebagai sarana untuk menemukan dan memahami akar dan hubungan antara Kemanusiaan, agama dan Tuhan, di sisi lain Makrifat An-Nafs sebagai pondasi Intelektual untuk memasuki level spiritual Makrifatullah melalui penyucian jiwa (Tadzkiyat An -Nafs).

Dalam rangka menemukan dan mengenali kesejatian diri manusia (Fitrah) berdasarkan pemetaan Syahid Muthahhari dan Prof. Taqi Misbah Yazdi dalam bedah tuntas fitrah dan Jagad diri, kita akan menemukan kerinduan, kehendak dan kedekatan sebagai unsur yang suci pada diri manusia, sebagai faktor pen dorong kecendrungan spiritual dan ibadah manusia.

Pada jiwa manusia terkandung kerinduan, kerinduan merupakan daya dorong yang membuat manusia senantiasa menginginkan perjumpaan (Liqa') dengan objek yang di rindukannya. Meskipun demikian, para psikolog umumnya memandang persoalan ini hanyalah sekadar gejala psikis dari kecendrungan seksualitas pada diri manusia. 

Namun berbe da dari pandangan para arif bahwa kerinduan yang menuntut perjumpaan fisik merupakan efek dari kerinduan kepada Dzat yang Tetap dan Mutlak. Dari hal ini nampak dalam kerinduan manusia setelah mengalami perjumpaan fisik, jiwa manusia senantiasa bergerak mencari dan memuaskan dahaga kerinduan nya. Olehnya, kerinduan yang hakiki merupakan jenis kerinduan manusia kepada yang Mutlak yakni Allah SWT melalui Ibadah. 

Kemudian jiwa manusia memiliki daya untuk bertindak secara sadar atas segenap per buatannya, hal ini menjadi dasar manusia sebagai makhluk yang non deterministik dan sehingga perbuatannya memiliki nilai dan makna, daya ini dikenal dengan daya kehendak. Kehendak pada jiwa manusia sangat bertumpu pada kekuatan informasi (ilmu), Informasi yang objektif dapat menguatkan dan meyakinkan hati (iman) dengan kuatnya keterpautan Objektifitas (akal) dan Subjektifitas (hati) menjadi dasar turunnya kehendak perbuatan yang Ikhtiari yakni perbuatan yang dilandasi akal dan hati. 

Dari kerinduan dan kehendak Ikhtiari, mensinyalir adanya objek yang senantiasi di rin dukan dan kehendak berbuat adalah sarana perjumpaannya, dari ke dua dorongan internal tersebut kita menemukan dorongan yang paling dalam dan intim yang sekaligus menjadi tujuan kerinduan dan kehendak manusia, yakni dorongan untuk mendekat diri kepada Allah SWT. 

Dalam hal ini kedekatan kepada Allah SWT adalah kedekatan ruhani (Hati), sebab kedekatan dalam pengertian fisik sangatlah terbatas sedang jiwa manusia menuntut perjumpaan abadi yang tidak di batasi oleh ruang dan waktu. Dapat kita ilustrasikan seperti kerinduan seorang kekasih yang dilanda asmara kepada kekasihnya yang membuatnya menderita karena terpisah, maka segala daya dan upaya akan di kerahkannya untuk segera berjumpa dan mendekati kekasihnya demi menuntaskan dahaga rindunya. 

Secara Tadwiniah Allah SWT mengutus para nabi (syariat) untuk membimbing ma nusia untuk menemukan kemanakah dan bagaimanakah fitrah itu mesti di letakkan dan di orientasikan. Dan secara Takwiniah Allah menciptakan kerinduan dan kehendak pada manusia (batin) agar ia menemukan kesempurnaan diri dan tujuan penciptaannya. Semua prosedur baik yang lahir dan batin, husuli dan huduri Allah sediakan sebagai sarana manusia untuk kembali mengenali diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian dari penjelasan ini, kita ingin mengenali bahwa Islam adalah agama fitrah, yakni agama yang menjadi kebutuhan dasar batin manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun