Dengan kata yang tak sempat diucapkanÂ
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
 Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.Â
      Sapardi Djoko Damono melihat Cinta sebagai momen hening. Spasi yang sederhana. Cinta bukanlah hal yang digembar-gemborkan lalu kemudian menawarkan kemeriahan di sana-sini. Cinta adalah kesederhanaan. Cinta memang tak menunjukkan wujud nyatanya di hadapan manusia. Cinta tak bisa disentuh. Cinta hanya bisa dirasakan oleh hati yang berasal dari Cinta. Cinta hanya bisa ditemukan dalam pribadi yang berasal dari dan dipersatukan oleh Cinta. Karena itulah Sapardi kemudian menyadari bahwa dalam kesederhanaan manusia dapat menemukan Cinta.
      Hanya orang-orang yang sederhana yang dapat men-Cinta sesamanya. Sederhana. Apa itu sederhana? Sederhana bukanlah masalah ketiadaan kemewahan, sederhana bukanlah tidak memiliki apa-apa. Kesederhanaan merupakan disposisi batin. Kesederhanaan adalah persoalan cara seseorang berpikir, merasa. Orang yang sederhana hanya memikirkan satu hal penting. Ketika ia berpikir baik, hanya baik yang ia pikirkan. Manusia sederhana tak pernah berpikir picik terhadap sesamanya. Tidak ada tempat bagi kejahatan dalam kesederhanaan.
      Maka dalam kesederhanaan pula manusia dapat men-Cinta. Sesederhana percakapan tak sampai antara kayu dan api yang menjadikannya abu. Ada momen hening dalam percakapan semacam ini. Dan Cinta memang tak perlu kata untuk menafsirkan dirinya. Tak ada kata yang mampu menjelaskan bagaimana Cinta secara utuh. Lantas bagaimana Cinta dapat dimengerti jika halnya demikian? Hening. Hanya dalam keheningan Cinta menjadi terasa. Cinta bukanlah milik mereka yang pongah, tidak pula pada pribadi yang meniadakan sesamanya. Cinta menjadi milik manusia-manusia yang mampu hening dengan hidupnya sehingga ia kemudian dapat menyatukan dirinya dengan semesta.
      "Sungguh, aku ingin mencintaimu secara sederhana. Dalam hening. Dalam kesatuan asali kita."
      Untuk mengakhiri tulisan ini saya ingin mencantumkan pikiran tentang cinta dari filsuf yang bernama Nietzche, Pernyataan yang samapi saat ini menjadi sesuatu yang membuat cara pandang saya tentang cinta menjadi lebih tergugah.
      Sehubungan dengan cinta, sejarah pemikiran barat sebelum munculnya Nietzsche memiliki ambivalensi/dilema/keraguan. Ambivalensi muncul ketika berbicara tentang cinta dan kehidupan: "Apakah cinta sebaiknya menolak dunia ini atau menerima sebagaimana adanya?" Hidup ini tidak pernah konstan, perubahan terus terjadi setiap momen. Sifat dunia yang seperti ini membuat manusia tidak puas, kenapa harus ada penderitaan di dunia ini? Kenapa selalu ada kehilangan? Kenapa kepuasan tidak pernah selamanya? Kenapa seringkali ada kekosongan dalam diri ini?