Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika Kontinuitas (Berpolitik) Rubah

2 November 2023   19:30 Diperbarui: 2 November 2023   19:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Panasnya kondisi alam sekarang ini yang kita alami mungkin sejalan dengan sama panasnya dengan "fenomena" kehidupan pribadi manusia yang mendiami.  Mungkin hal ini tidak ada hubungannya namun sebuah bacaan ringan yang diri baca "dialog rubah" menjadikan ide untuk menulis tentang hubungannya.  Bukan sebagai sebuah "paham cocoklogi" ilmu yang mencoba untuk mencocok cocokkan namun hanya sebagai sebuah bahan untuk perenungan diri karena tidak mungkin Sang Pencipta memperlihatkan sebuah fenomena tanpa perlu untuk dipikirkan dan tanpa sebuah makna. 

Ingatlah bahwa internalitas diri (kosmik)  sebagai pribadi diri seorang manusia akan mempengaruhi eksternalitas (kosmos) yang ada disekitar kehidupan kita.  Suatu misal : diri  yang mengalami "kepanasan diri" adalah mereka yang  memiliki jabatan ataupun mereka orang-orang yang tidak memiliki jabatan namun ingin mendapatkan jabatan, maka  ketika ada sebuah peristiwa yang mengancam keinginannya dalam mempertahankan eksistensinya tergerus maka diri akan menjadi panas sehingga perlu membuat strategi yang mengamankannya.  Panasnya diri (internalitas) kemudian mampu mengubah panasnya luar (eksternalitas) kehidupan yang ada disekitarnya adalah suatu hal yang pasti terjadi.  Maka hal ini adalah gambaran dari kebenaran bahwa kosmik (iinvidu) mampu mempengaruhi kosmos (alam semestas).

Namun kesadaran yang seperti ini masih jarang masuk dalam pemahaman diri kita karena beranggapan panasnya perpolitikan individu tidak mempengaruhi panas semesta alam.  Bukankah kerusakan alam yang dibuat oleh pribadi manusia dan mampu menggerakkan orang orang lain adalah bukti nyata bahwa kosmik itu mempengaruhi kosmos.  Memang dibutuhkan perenungan dan jalan yang panjang untuk mengkaji hubungan ini.

Dialog rubah yang merupakan sebuah pemahaman kecil yang mungkin bisa digunakan untuk membangkitkan sebuah kesadaran diri tentang bagaimana diri memposisikan sebagai manusia. Karena banyak diri kita (menurut penulis) yang ternyata tidak jauh berbeda dan meniru gaya rubah dalam kehidupannya.  Bahkan ketika diri kita dikatakan lebih pintar dari rubah maka tidak hanya sekedar meniru tapi mengembangkan lebih (ke arah negatif) bila dibandingkan dengannya.  Maka tidak heran mungkin diri juga sekarang dalam posisi kehidupan di bawah si rubah itu sendiri.

Rubah yang merupakan faktor ekternalitas dari diri namun sebagai bahan kajian untuk internalitas diri.  Perilaku rubah yang ternyata bila  terjadi pada diri manusia mudah sekali membakar internalitas diri (kosmik) sehingga akan sangat mempengaruhi ekternalitas baik langsung maupun tidak langsung.  Dengan mengkaji hewan rubah yang memiliki derajat lebih rendah dari manusia ternyata secara tidak langsung menjadi filsafat atau root pemahamaan dan digunakan dasar dalam perilaku diri kita  (penulis) sehari-hari.

 

Rubah Dalam diri Kita

Gambaran hidup diri kita (penulis) sekarang ini mungkin tepat jika di kategorikan dengan Rubah.  Ketahuilah bahwa rubah memiliki strategi yang hebat dalam mempertahankan jaminan hidup  Dalam berstrategi memiliki tiga pola yang sama dengan diri yaitu: 1) bagaimana hobi dalam menimbun harta (makanan); 2)  Senang dekat dengan kekuasaan; 3) Suka makan bangkai.

Pola yang pertama menunjukkan bagaimana diri suka melakukan menimbun atau menabung di berbagai tempat sebagai akibat dari diri tidak yakin dengan kondisi kehidupan di masa yang akan datang  Kondisi ini menjadikan diri "rakus" dalam mencari "materi" bahkan melebihi dari kadar kecukupan sebagai pribadi yang hidup.  Karena memang pandangan dan pemahaman ini didasarkan oleh sebuah kepercayaan atas teori-teori yang selama ini dipelajari.

Memang tidak salah dalam menabung atau saving akan tetapi berlebihan itu yang dikatakan tidak baik bahkan mungkin sampai untuk persediaan anak cucu diri kita.  Ingatlah bahwa sebetulnya kecukupanlah yang seharusnya dikejar.  Kecukupan dalam arti kesesuaian dengan kebutuhan bukan keingingan atau kehendak diri sebagai manusia. Ingatlah bahwa Sang Pencipta sudah menjamin kehidupan diri kita dalam berkehidupan di dunia ini hanya berbekal "gerak dan beraktivitas" pasti akan mencukupi semuanya.  Keseimbanganlah akhir dari kehidupan yang dijalani.

Pola yang kedua menunjukkan bagaimana diri senang dengan kekuasaan adalah hal yang lumrah.  Keinginan diri untuk selalu dihormati dan dipandang oleh orang lain dan bukan sebagai pribadi yang dilecehkan atau direndahkan dan menjadi manusia kalah adalah kondisi ideal setiap diri manusia.  Maka manakala keinginan diri yang seperti ini di "ganggu" otomatis akan melakukan perlawanan baik dengan fisik maupun non fisik.

Ketidak inginan diri diganggu cita-citanya dan kehendak dari keinginannya maka tidak heran diri selalu melakukan kamuflase dalam kehidupan ini.  Salah satu strategi yang dilakukan adalah sering kali berdekatan dengan diri manusia yang memiliki pengaruh.  Hal yang ingin dicapai hanyalah sebuah pemikiran sederhana ingin memiliki pengaruh yang baik untuk pejabat maupun diri manusia lain.  Semua strategi akan dilakukan terlebih untuk menjadi "teman bagi pejabat" dan berteman manakala keinginannya sejalan dan akan menjadi lawan jika keinginannya diganggu.

Pola ketiga menunjukkan pribadi yang suka "bangkai" merupakan sebuah pernyataan yang jelas dalam ajaran kehidupan. Hubungannya dengan bangkai yang berhubungan dengan etika kontinuitas adalah baik segi asupan jasmaniah maupun asupan kehendak diri.  Makna bangkai adalah sebuah kamuflase dari perilaku diri dan juga makanan bangkai (ikan dst) adalah sesuatu cara untuk mendapatkan asupan untuk mempertahankan kehidupan secara jasmaniah.  

Sebagai asupan kehendak diri "bangkai" diartikan sebagai sebuah asupan informasi dengan cara membicarakan kejelekan atau keburukan pribadi manusia lain di olah menjadi jembatan untuk asupan diri mencapai keinginannya.  Tidak dipungkiri bahwa membicarakan orang lain adalah hal yang menjadi kebiasaan diri kita.  Dan hal ini sudah digambarkan bahwa hidup kita tidak jauh dari bangkai itu sendiri bahkan matipun diri kita juga menjadi bangkai.  Sebuah makna yang dalam tentang bangkai yang ternyata juga disukai oleh rubah.

Ternyata pola kehidupan rubah dalam menjaga eksistensinya dalam kehidupan dari hewan lemah menjadi memiliki pengaruh yang kuat tidak berbeda dengan diri kita sebagai manusia.  Bahkan manakala hal ini tidak disadari mungkin akan menjadikan diri kita sebagai manusia yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan rubah karena mungkin akan lebih kejam dengan mengorbankan teman sendiri untuk dibunuh baik secara jasmani atau karakternya untuk dijadikan "bangkai".

Etika kontinuitas Hidup Rubah

Jika diri (penulis) sadar dengan ketiga kondisi tersebut maka mungkin diri akan malu bila dikatakan sebagai pribadi manusia yang sempurna.  Namun realita kesadaran dikalahkan dengan hati yang sering be"rubah".  Hal ini senada dengan kondisi manusia yang diciptakan memiliki fluktuasi dalam kehidupan maka dibutuhkan pegangan agar diri tetap teguh dalam kehidupan sebagai manusia yang sempurna

Perubahan diri sebagai manusia yang be"rubah" rubah ini adalah dalam hal hati yang dimiliki.  Perubahan ini diakibatkan oleh hati diri yang masih terselimuti sehingga tidak mampu memberikan masukan "yang baik" untuk keputusan yang diambilnya.  Sebuah kondisi diri yang tidak pernah menyadari tentang hakekat atau tugas "hati" sebagai sebuah as bagi kerja tiga indra yang dimiliki (Pikir-perasaan-keinginan).  

Ketika hati masih terselimut maka perilaku diri sebagai pola pikir rubah adalah hal yang "halal" menurut pemahaman yang dimiliki diri kita.  Karena tujuan dalam hidup adalah mencapai cita-cita atau keinginan diri yang sudah dibangunnya.  Walaupun dengan cara mengorbankan orang lain baik secara individu atau kelompok asal diri memiliki asupan untuk eksistensi kontiunitas hidup adalah hal yang wajar untuk dilakukan.  Inilah mungkin dikatakan sebagai pemahaman "berpolitik yang baik".  

Bukankah fenomena seperti ini sudah menjadi pilihan politik dan strategi hidup kita. Bahkan mungkin orang yang baik pun akan dikorbankan dengan melakukan "fitnah" akibat diri rakus dengan kebiasaan makan bangkai ini.  Sebuah kerugian manakala diri terjebak dalam kehidupan seperti ini.

Ketahuilah bahwa rubah tidak sekejam seperti yang kita bayangkan.  Karena rubah hanya makan bangkai dari daging-daging buruan sisa dari para penguasa hutan yang bukan dari bangsanya.  Karena dirinya (rubah) memiliki "rasa kemanusiaan" jika dirinya makan bangkai saudara atau temannya. Sehingga memakan "bangkai" sebangsanya adalah hal yang "haram" untuk dilakukannya.

Kedekatan rubah dengan penguasa sekedar mencari aman dan mencari sisa makanan yang ada walaupun dirinya dianggap pencuri oleh kawanan penguasa.  Rubah merasa dirinya hewan lemah yang tidak mampu untuk berburu maka sebagai kelebihan yang diberikan oleh Sang pencipta adalah diberikan "jalan" dan "kamuflase diri" untuk sekedar mengumpulkan asupan untuk kehidupannya.  Dan hanya sebatas itulah pola pikir rubah dan menjadi pemahaman untuk kehidupannya.

Maka diri sebagai manusia seharusnya tidak melampaui etika kontinuitas rubah jika diri meniru pola mereka.  Namun apakah mungkin mau jika diri dikatakan "si Rubah" pasti jawabannya adalah tidak mau karena merasa direndahkan martabatnya.  Untuk itu kesadaran perlu dibangun agar diri tidak menjadi si Rubah dengan jalan kembali kepada etika hidup sebagai manusia.

Ingatlah bahwa diri kita diciptakan sebagai manusia yang memiliki derajat yang tinggi dibandingkan dengan makhluk lain.  Namun manakala diri kita berperilaku tidak jauh dengan rubah bukankah ini ada sebuah kekeliruan dalam kepemilikan pemahaman tentang menjalani kehidupan.  Maka perlu perubahan dalam kepemilikan ilmu yang sudah dimiliki dengan dekonstruksi bukan tambal sulam seperti yang biasa diri lakukan.

Ibarat sebagai sebuah tambal sulam dan perbaikan jalan walaupun dengan material yang berbeda maka jalan yang diperoleh tetap hal yang sama.  Sedangkan dekonstruksi adalah membangun baru jalan untuk kehidupan walaupun nantinya menemukan rute yang sama tetapi jalan baru adalah sebuah jalan baru bukan jalan lama yang diperbaiki.

Penutup

Hanya sekedar humor sufi yang menggambarkan tentang pola kontinuitas hidup rubah yang mungkin secara tidak sadar menjadi bagian dari pemahaman diri untuk menjaga eksistensi kehidupan di dunia ini.  Tidak ada yang lucu dalam tulisan ini dan mungkin humor pemahaman adalah sebagai awal kesadaran diri untuk membangun sebuah kesadaran agar diri tidak seperti rubah yang suka makan bangkai.

Magelang, 2/11/2023
KAS 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun