Ketidak inginan diri diganggu cita-citanya dan kehendak dari keinginannya maka tidak heran diri selalu melakukan kamuflase dalam kehidupan ini. Â Salah satu strategi yang dilakukan adalah sering kali berdekatan dengan diri manusia yang memiliki pengaruh. Â Hal yang ingin dicapai hanyalah sebuah pemikiran sederhana ingin memiliki pengaruh yang baik untuk pejabat maupun diri manusia lain. Â Semua strategi akan dilakukan terlebih untuk menjadi "teman bagi pejabat" dan berteman manakala keinginannya sejalan dan akan menjadi lawan jika keinginannya diganggu.
Pola ketiga menunjukkan pribadi yang suka "bangkai" merupakan sebuah pernyataan yang jelas dalam ajaran kehidupan. Hubungannya dengan bangkai yang berhubungan dengan etika kontinuitas adalah baik segi asupan jasmaniah maupun asupan kehendak diri. Â Makna bangkai adalah sebuah kamuflase dari perilaku diri dan juga makanan bangkai (ikan dst) adalah sesuatu cara untuk mendapatkan asupan untuk mempertahankan kehidupan secara jasmaniah. Â
Sebagai asupan kehendak diri "bangkai" diartikan sebagai sebuah asupan informasi dengan cara membicarakan kejelekan atau keburukan pribadi manusia lain di olah menjadi jembatan untuk asupan diri mencapai keinginannya. Â Tidak dipungkiri bahwa membicarakan orang lain adalah hal yang menjadi kebiasaan diri kita. Â Dan hal ini sudah digambarkan bahwa hidup kita tidak jauh dari bangkai itu sendiri bahkan matipun diri kita juga menjadi bangkai. Â Sebuah makna yang dalam tentang bangkai yang ternyata juga disukai oleh rubah.
Ternyata pola kehidupan rubah dalam menjaga eksistensinya dalam kehidupan dari hewan lemah menjadi memiliki pengaruh yang kuat tidak berbeda dengan diri kita sebagai manusia. Â Bahkan manakala hal ini tidak disadari mungkin akan menjadikan diri kita sebagai manusia yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan rubah karena mungkin akan lebih kejam dengan mengorbankan teman sendiri untuk dibunuh baik secara jasmani atau karakternya untuk dijadikan "bangkai".
Etika kontinuitas Hidup Rubah
Jika diri (penulis) sadar dengan ketiga kondisi tersebut maka mungkin diri akan malu bila dikatakan sebagai pribadi manusia yang sempurna. Â Namun realita kesadaran dikalahkan dengan hati yang sering be"rubah". Â Hal ini senada dengan kondisi manusia yang diciptakan memiliki fluktuasi dalam kehidupan maka dibutuhkan pegangan agar diri tetap teguh dalam kehidupan sebagai manusia yang sempurna
Perubahan diri sebagai manusia yang be"rubah" rubah ini adalah dalam hal hati yang dimiliki. Â Perubahan ini diakibatkan oleh hati diri yang masih terselimuti sehingga tidak mampu memberikan masukan "yang baik" untuk keputusan yang diambilnya. Â Sebuah kondisi diri yang tidak pernah menyadari tentang hakekat atau tugas "hati" sebagai sebuah as bagi kerja tiga indra yang dimiliki (Pikir-perasaan-keinginan). Â
Ketika hati masih terselimut maka perilaku diri sebagai pola pikir rubah adalah hal yang "halal" menurut pemahaman yang dimiliki diri kita. Â Karena tujuan dalam hidup adalah mencapai cita-cita atau keinginan diri yang sudah dibangunnya. Â Walaupun dengan cara mengorbankan orang lain baik secara individu atau kelompok asal diri memiliki asupan untuk eksistensi kontiunitas hidup adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Â Inilah mungkin dikatakan sebagai pemahaman "berpolitik yang baik". Â
Bukankah fenomena seperti ini sudah menjadi pilihan politik dan strategi hidup kita. Bahkan mungkin orang yang baik pun akan dikorbankan dengan melakukan "fitnah" akibat diri rakus dengan kebiasaan makan bangkai ini. Â Sebuah kerugian manakala diri terjebak dalam kehidupan seperti ini.
Ketahuilah bahwa rubah tidak sekejam seperti yang kita bayangkan. Â Karena rubah hanya makan bangkai dari daging-daging buruan sisa dari para penguasa hutan yang bukan dari bangsanya. Â Karena dirinya (rubah) memiliki "rasa kemanusiaan" jika dirinya makan bangkai saudara atau temannya. Sehingga memakan "bangkai" sebangsanya adalah hal yang "haram" untuk dilakukannya.
Kedekatan rubah dengan penguasa sekedar mencari aman dan mencari sisa makanan yang ada walaupun dirinya dianggap pencuri oleh kawanan penguasa. Â Rubah merasa dirinya hewan lemah yang tidak mampu untuk berburu maka sebagai kelebihan yang diberikan oleh Sang pencipta adalah diberikan "jalan" dan "kamuflase diri" untuk sekedar mengumpulkan asupan untuk kehidupannya. Â Dan hanya sebatas itulah pola pikir rubah dan menjadi pemahaman untuk kehidupannya.
Maka diri sebagai manusia seharusnya tidak melampaui etika kontinuitas rubah jika diri meniru pola mereka. Â Namun apakah mungkin mau jika diri dikatakan "si Rubah" pasti jawabannya adalah tidak mau karena merasa direndahkan martabatnya. Â Untuk itu kesadaran perlu dibangun agar diri tidak menjadi si Rubah dengan jalan kembali kepada etika hidup sebagai manusia.