Membangun Kesadaran
Hidup seharusnya dijalani dengan kesadaran dalam setiap aktivitas kehidupan ini. Â Menumbuhkan kesadaran bukanlah sebuah peristiwa instan yang dapat ditemukan dengan tiba-tiba. Â Namun merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang dengan perjuangan yang mungkin dikatakan sebagai "keanehan".
Dikatakan sebagai hal yang aneh dikarenakan pembangunan hakekat kesadaran diri melalui proses yang tidak biasa bahkan mungkin dianggap sebagai perilaku yang tidak umum.  Karena proses pembangunan ini membutuhkan diri "off/melepaskan" (bukan meninggalkan) pemahaman yang selama ini  telah membangun logika persepsi pikir diri manusia.  Sadar atau tidak mungkin logika pikir yang selama ini menjadi acuan dalam beraktivitas selalu ditentang oleh suara dalam diri yang mengakibatkan keraguan atau kekhawatiran selalu menjadi teman dalam kehidupan sehari hari.
Realita pemahaman yang diri miliki sekarang ini masih berorientasi pada hal yang berifat alam (materialitas). Â Padahal selama alam masih dalam dada diri kita maka perasaanlah yang akan mendominasi diri dalam setiap aktivitas kehidupan ini. Â Maka tidak salah manakala banyak filosof mengatakan ketika dada manusia dikuasasi oleh alam maka akan menjadikan diri semakin jauh dari Sang Pencipta.
Memang butuh perenungan yang mendalam untuk memahami makna dari apa yang diucapkan oleh filosof tersebut.  Karena alam adalah mewakili fisik atau jasad yang nampak oleh panca indra manusia sehingga mengakibatkan dominasi fisik mengalahkan non fisik (ruhani/ghaib).  Padahal unsur diri seharusnya adalah keseimbangan antara fisik dan non fisik.  Dan ketika dada/sudur dikuasai oleh fisik maka  otomatis orientasi diri tidak lah sempurna dan mengakibatkan hilangnya keseimbangan diri untuk membangun hakekat kesadaran.
Percaya pada non fisik hanyalah sebatas pada pernyataan dan mungkin disempitkan pada hal-hal yang berhubungan dengan penampakan. Â Sebuah kekeliruan manakala diri memiliki pemahaman seperti itu akibat perilaku diri yang terpenjara oleh pemahaman pengetahuan yang berkembang sekarang ini. Â Maka dekonstruksi pemahaman atas kepemilikan pengetahuan perlu dilakukan dengan mencari sumber rujukan yang benar dan cara yang berbeda untuk menggantikan ilmu yang selama ini selalu membuat diri terpenjara dalam rasa.
Pemahaman tentang hal-hal yang non fisik termasuk bagian dari fase membangun kesadaran diri. Â Pembangunan kesadaran diri melalui tiga tahapan yang harus dijalani yaitu fase pertama adalah pemahaman tentang keterikatan dengan alam, fase kedua adalah terbebas dari alam dan fase ketiga adalah kebebasan yang terstruktur.
Fase pertama adalah keterikatan dengan alam menunjukkan bagaimana diri disibukkan dengan hal-hal yang fisik atau materialitas yang menjadi orientasi diri dalam kehidupan ini. Dalam fase ini menunjukkan pemahaman diri dengan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana diri dapat bertahan hidup. Â Maka ilmu yang di dapat adalah segala hal yang nampak dan mencakup segala aspek yang berkenaan dengan mengenal dan memanfaatkan alam semesta sebagai dasar diri dalam beribadah.
Kepemilikan pemahaman yang berhubungan dengan materialitas bukan untuk tujuan memakmurkan mencari nilai untuk dirinya sendiri. Â Karena banyak diri kita yang belajar dengan hal-hal yang bersifat materialitas terjebak dalam fase ini akibat merasa cukup dan puas dengan pencapaiannya. Â Padahal hakekatnya fase ini adalah untuk mengenal dan sebagai pijakan untuk mencapai fase kedua.Â
Tergodanya diri dalam kepemilikan fase ini menjadikan diri penguasa atau pemimpin yang salah tugas dan mengakibatkan diri hidup sekedar memuaskan keinginan dan rasa yang dimiliki. Â Sifat rakus dan selalu ingin lebih adalah ciri dari diri yang terjebak dalam fase ini. Â Maka hidupnya hanya terobsesi pada kesadaran yang terbatas yaitu hidup adalah sekedar kehidupan di dunia ini.
Fase kedua adalah terbebas dari alam.  Dalam fase ini diri melewati fase pertama karena terbangun dari ketidaksadaran yang menjadi jawaban atas segala problema yang dihadapi.  Tumpukan masalah yang tidak menenangkan dada dan memenuhi kepala serta menjadikan diri seorang pesakitan mungkin sebagai pintu untuk memasukinya.  Namun tidak semua diri sadar dengan kondisi yang sedang dihadapinya.