Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Sejenak Bersama Jiwa

15 Juni 2023   07:00 Diperbarui: 15 Juni 2023   07:09 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jiwa manusia adalah merupakan bagian ruh manusia yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Ketika ruh ditiupkan akan menjadi dua benih kehidupan yaitu nyawa yang mampu menggerakkan badan manusia dan jiwa yang mendiami qolbu. Karena merupakan benih kehidupan maka perlu di pupuk dan disiram dengan kebutuhannya.

Benih yang berupa nyawa akan tetap hidup manakala diri mampu memiliki asupan yang berupa makanan dan minuman yang mampu membangun bangunan fisik manusia.   Proses untuk menjadi manusia yang sempurna ini dalam aspek fisik tidak hanya sesaat melainkan sebagai sebuah bentuk kontiunitas yang terus menerus sampai mati menjemputnya.  Jika diri tidak pernah menerima asupan fisik maka nyawa pun akan melayang dan ruh pun akan kembali kepada Sang Pencipta.

Sedangkan benih yang kedua berupa jiwa adalah unsur immaterial yang mememiliki asupan berupa ilmu dan pengetahuan yang benar.  Asupan ilmu inilah yang membawa diri akan mengenal jiwa yang sesungguhnya jika pengetahuan yang dipelajari adalah benar.  Namun manakala asupan adalah salah maka ruh pun akan kembali kepada Sang pencipta dan benih yang hidup tidak menjadi manusia sebagai makhluk yang sempurna namun hidup sebatas makhluk yang selevel dengan hewan dan lainnya.

Mungkin ini sebuah pemahaman yang out of the box namun jika mau merenungkan secara mendalam akan tersentuh kesadaran untuk melakukan introspeksi dengan kondisi kehidupan sekarang.  Dengan menggunakan sebuah pertanyaan sederhana "apakah diri hidup selama ini sama dengan rutinitas hewan atau lebih baik dari hewan?".  Memang mungkin ini pertanyaan yang menyakitkan namun ini sebagai dasar diri untuk membangunkan kesadaran diri agar mampu menemukan jiwa yang seharusnya mengisi kekosongan qolbu.

Mencari Jiwa Yang Merana

Kosongnya qolbu akan menjadikan diri selalu berbuat hal yang tidak baik, ataupun melakukan perbuatan baik namun didasari atas cita-cita yang tidak baik.   Kekosongan jiwa dalam kehidupan diri kita menjadikan  hidup tidak memiliki personality atau kepribadian yang baik.  Jiwa yang kosong inilah menyebabkan perilaku diri yang selalu mengutamakan logika material dalam kehidupan dunia dengan melihat untung ruginya dengan ukuran material juga.

Terlalu percaya dan fokus pada kehidupan yang bersifat jasmani atau fisik menjadikan diri terlena dengan pembangunan aspek ruhani.  Bahkan tidak heran mungkin diri termasuk bagian dari orang-orang yang melalaikan hal-hal yang berhubungan dengan aspek ruhani tersebut.  Hal ini diakibatkan oleh balutan pemahaman yang dirasa benar karena dianggap umum namun sebetulnya merupakan hal yang keliru, maka akibatnya diri tidak pernah hidup dengan aspek ruhani yang tumbuh menjadi jiwa  dan menjadi penyeimbang kehidupan di dunia ini.

Jiwa manusia tidak pernah bersatu dalam dirinya karena benih kehidupan tidak pernah dipupuk ataupun diperhatikan sehingga hidup diri hanya diperhatikan jiwa diri yang merana dari jauh.  Merananya jiwa ini akibat tidak pernah diberi asupan yang benar sehingga menjadikan diri memiliki prinsip dan watak yang "keliru".  Bagaikan batu yang keras sulit sekali untuk dilunakkan akibat jiwa tak pernah mengisi qolbu manusia.

Qolbulah sebetulnya "as kerja" dari tiga indra (pikiran, perasaan, dan keinginan) yang dimiliki oleh manusia.  Qolbu akan bekerja manakala jiwa mendiaminya, namun manakala jiwa tidak mau tinggal (akibat merana) karena diri tak pernah menyediakan tempatnya. Dan ketika qolbu tidak bekerja maka tersesatlah kehidupan di dunia ini akibat dari kerja diri di dasarkan atas ego yang berdasar dari pikiran yang berupa logika, atau didasarkan atas perasaan, atau juga didasarkan atas hasrat untuk memuaskan keinginan.

Mencari jiwa yang merana agar mau kembali pada diri kita adalah dengan kembali pada pemahaman yang benar dan didasarkan atas ajaran yang ada dalam Buku Panduan hidup manusia.  Bukan hanya sekedar sebagai pajangan dalam lemari atau bukan hanya digunakan sebagai stempel untuk pembenaran aktivitas yang dilakukan namun perlu dibaca dan dikaji. 

Rutinitas diri dalam membaca dan mengkaji akan menjadi magnet jiwa diri yang merana (membuka selimut hati) agar mau kembali mendiami qolbu.  Menyiapkan bangunan yang siap didiami oleh jiwa bukan perkara yang mudah namun manakala diri memiliki tekat yang kuat pasti ada campur tangan Sang Pencipta untuk memudahkannya.  Karena cinta dan sayangnya Sang Pencipta kepada manusia melebihi cinta dan sayangnya kepada makhluk lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun