Hari raya adalah sebuah puncak dari penantian panjang pribadi diri yang sudah melakukan perjalanan dan perjuangan dalam kehidupan. Â Dalam agama Islam terdapat dua buah hari raya yang dirayakan dan memiliki makna khusus di hati para pemeluknya sehingga menimbulkan budaya unik yang memerlukan perencanaan. Â Karena ibarat sebuah "pesta" atau ajang pertemuan dengan saudara atau kerabat maka tidak mungkin ada dan diputuskan secara tiba-tiba.
Demikian juga halnya dengan hari raya Idul Fitri yang merupakan puncak dari perjuangan besar diri muslim yang menjalankan puasa karena sebulan lebih sudah bersusah payah menikmati perjalanan ibadahnya. Â Idul fitri kembali diri menjadi fitrah sebagai manusia dianggap sebagai momen yang tepat untuk bersilaturahim dan halal bi halal sekedar bertemu untuk menghilangkan kerinduan atau sebagai waktu yang tepat untuk saling memaafkan.
Namun ada sebuah kejanggalan yang perlu direnungkan pada diri kita apabila hari raya itu terjadi secara tiba-tiba atau diri hanya menunggu perintah dari sang penguasa. Â Seperti sebuah "ketidaktepatan" manakala diri berperilaku seperti itu manakala merayakan hari raya dirayakan hanya menunggu "dawuh (perintah)" saja. Â Perilaku diri yang demikian ini mungkin tidak hanya disebabkan oleh internal faktor yang berasal dari diri kita atau eksternal faktor karena terlalu fanatik terhadap "penguasa".
Artikel ini tidak ada maksud mengkritisi perilaku umum namun sebagai bentuk pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran agar diri memiliki pengetahuan yang mampu membangun prinsip hidup sebagai hakekat manusia sejati. Â Karena sebagai manusia sejati diri harus memiliki sifat ketundukan yang mutlak hanya kepada Sang Pencipta dengan berdasarkan pada pemahaman ilmu yang didasarkan pada Al Qur'an. Â Karena pemahaman yang ada dalam Buku tersebut adalah hakekat dari kebenaran mutlak dari ilmu dan wajib digunakan untuk dasar pengembangan ilmu-ilmu yang ada.
Termasuk di dalamnya adalah pengembangan ilmu tentang kehidupan yang dapat menghindari sifat tiba-tiba. Â Karena semua kehidupan adalah sesuatu yang pasti ada hubungan sebab akibat yang dapat dilihat dari fenomena yang terjadi untuk menentukan dan merencanakan kegiatan dan tidak bersifat tiba-tiba.
Tiba-tiba Hari Raya
Memang belum pernah terjadi peristiwa yang tiba-tiba terjadi hari raya, namun apakah tidak mungkin terjadi jika peristiwa itu dapat terjadi. Â Jika diri penentu kebijakan berani jujur dan tidak terpenjara oleh "ego diri" yang dapat mempengaruhi keputusan walaupun didukung oleh pengetahuan yang dimiliki pasti akan berani mengatakan tiba-tiba hari raya. Â Tapi karena banyak pertimbangan yang ada peristiwa tiba-tiba hari raya alhamdulillah belum pernah terjadi sampai sekarang ini.
Tiba-tiba hari raya pun bisa terjadi manakala "kun" Tuhan (bukan tuhan-tuhan) terjadi. Â Dibukakan kesadaran dan hati nurani agar melakukan kebenaran dan bukan menutupi/memperdebatkan "masalah" yang dipertahankan maka bagaikan kiamat terjadi pada diri muslim ketika tiba-tiba hari raya. Â "Kun" Tuhan tidak akan mampu di tolak oleh siapapun makhluk hidup karena yang terjadi pasti akan terjadi dan menjadikan "dawuh" tuhan-tuhan tidak akan berguna.
Bagaikan menuhankan tuhan yang bukan Tuhan manakala ketergantungan diri terhadap "dawuh" sang tuan untuk aktivitas tertentu. Padahal diri sebagai manusia harus bersifat mandiri dan berilmu yang digunakan untuk membangun prinsip hidup dalam kehidupan di dunia ini. Â Pembangun prinsip hidup inilah yang menjadikan diri sebagai diri "takwa" yang hanya memiliki ketundukkan terhadap Illahi sehingga mampu memilih jalan kebenaran (menyampaikan) yang seharusnya dilakukan.
Ibarat diri seperti "makhluk" yang mudah diarahkan seperti hewan peliharaan karena diri takut tidak dapat mencari makan maka akan berlaku seperti itu. Â Pribadi diri yang seperti ini adalah diri yang tak yakin dengan kebenaran ilmu yang dimilikinya atau takut bila dikatakan diri berbeda dengan yang lain. Â Rasa ketakutan inilah sebetulnya sebuah penyakit yang kronis pada diri setiap manusia.
Sifat ketakutan dan kekhawatiran adalah sebagai salah satu hal yang menjadi fitrah diri yang negatif dan seharusnya hilang setelah diri menjalani "kemah peribadatan" selama bulan puasa ini. Â Maka manakala diri tidak mampu mengumpulkan ilmu di kemah peribadatan tersebut maka apakah mungkin puasa diri dikatakan berbobot atau jangan-jangan diri termasuk kategori hanya memperoleh lapar dan dahaga. Â Perdebatan yang memperdebatkan hal yang "tiba-tiba" bukan hanya terjadi maka apakah diri akan berlaku seperti pengekor saja.
Jika diri berlaku seperti ini maka pantas harus diingatkan bahwa tugas sebagai seorang manusia adalah baca dan belajar pada Buku yang benar dan bukan hanya sebagai pendengar saja. Â Karena tugas baca dan belajar adalah modal dasar diri untuk mendapat tiket pas sebagai diri yang takwa karena tidak mungkin tercapai manakala diri tidak memiliki pengetahuan yang banyak dan benar.
Penyebab Tiba-tiba Hari Raya
Tiba-tiba hari raya akan terjadi manakala diri berani berkata jujur dan tidak menutupi kebenaran.  Perilaku jujur dan tidak menutupi kebenaran sejati terjadi manakala diri amanah dengan tugas yang diembannya karena akuntabilitasnya tidak hanya untuk  duniawi saja.  Memang banyak dasar yang digunakan untuk alasan agar tiba-tiba hari raya tidak terjadi dan itupun sahih karena didasarkan atas kabar periwayatan yang benar.Â
Namun hati nurani hakekatnya tidak mungkin dapat berbohong menyuarakan kebenaran sehingga peristiwa tiba-tiba hari raya terjadi. Â Karena beratnya "ego" yang harus dipikulnya maka suara hati nurani serasa tidak di dengar ataupun hanya dianggap sebagai ilusi angan diri saja. Â Maka perilaku akan menjadi diri yang harus menunjukkan "ego" siapa yang berilmu dan berkuasa serta menganggap pendapat orang lain adalah kurang tepat.
Agar diri tidak berperilaku seperti ini maka wajib untuk melakukan perenungan agar mampu membangun kesadaran dalam memegang ilmu secara kuat. Â Faktor utama terjadinya tiba-tiba hari raya adalah masalah perjuangan untuk memuaskan "ego diri" Â agar diri mampu memenuhi hasrat dan kuasa untuk berkuasa. Â Karena berhubungan dengan ego maka yang mempengaruhi ego diri adalah masalah internal yang ada dalam diri manusia.
Bagaimana diri hidup dalam penjara ego? hal ini terjadi manakala diri gagal dalam membangun potensi diri sebagai manusia. Â Dan ketika diri tidak mampu menemukan potensi diri hakekatnya diri bukanlah menjadi manusia yang sempurna. Â Karena diri bukan menjadi yang sempurna maka posisi diri menjadi jatuh dan seburuk-buruknya makhluk yang ada.
Banyak pelajaran yang diambil dari kasus "setan" yang diusir dari surga, bukan masalah kepemilikan ilmu karena setan adalah makhluk yang cerdas dan memiliki pengetahuan. Â Namun diusirnya setan karena perjuangan memperjuangankan ego dirinya sebagai makhluk tertinggi derajatnya karena diciptakan dari api dan tidak mau sujud kepada Adam AS. Â Perjuangan ego yang keras oleh setan tersebut menjadikan dirinya menentang ajaran atau perintah Allah SWT dan menjadikan dirinya terbuang ke tempat yang buruk.
Maka tugas diri dalam hidup ini harusnya selalu membangun potensi diri dengan membaca dan belajar agar diri mampu memenjara ego yang dimilikinya. Â Ketika diri mampu memiliki pemahaman yang maknawi tidak hanya sekedar kulitnya maka akan mampu mengalahkan ego yang biasanya berhubungan dengan sifat materi (baik input atau output). Â
Ego diri yang berifat input adalah merupakan sebuah pembangunan diri manusia. Â Ketika diri gagal dalam membangun diri maka yang hidup dalam diri kita adalah perilaku jasad yang dipengaruhi oleh dominasi pikiran-perasaan-keinginan. Â Dominasi tersebut akibat dalam hidup "hati' yang berguna sebagai poros untuk menggerakkan kerja dari pikiran-perasaan-keinginan dapat saling berinteraksi, maka keputusan atau tindakan yang keluar adalah hal-hal yang bersifat kebaikan dan kebenaran.
Sedangkan ego diri yang bersifat output adalah sebagai bentuk hasil dari kerja diri manusia. Â Ukuran kerja diri dari pikiran-perasaan-keinginan yang tidak di landasi dengan hati maka target yang dicapai adalah materi yang berupa materialitas dan popularitas. Â Maka haus akan kekayaan dan pujian agar diri populer dan terkenal adalah muara akhir dalam kefanaan. Â Ingatlah bahwa kefanaan tidak akan dibawa mati dan mungkin malah menjadi beban dalam mempertanggungjawabkan.
Tiba-tiba hari raya seharusnya tidak terjadi manakala diri mampu hidup dengan kepemilikan potensi diri yang sesuai dengan harapan Tuhan dengan diciptakannya manusia. Â Kemah peribadatan yang dilakukan dalam bulan puasa ini hakekatnya adalah diri mampu kembali pada rel kehidupan yang benar sehingga keluar dari kemah mampu menemukan potensi dirinya kembali. Â
Idul fitri kembali pada fitrah adalah hakekat diri kembali pada rel kehidupan atau menemukan potensi diri yang selama ini dilupakan. Kehidupan dalam keseimbangan antara jasad dan non jasad adalah equilibrium hidup yang harus selalu terjadi. Â Puasa adalah waktu yang diberikan sebagai bentuk kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri manusia yang memiliki kesadaran dalam hidupnya.
Penutup
Hanya sekedar humor sufi yang tidak ada kelucuannya dan hanya sebuah penawaran ide pemahaman yang mungkin berbeda dalam memandang sebuah perspektif yang sering terjadi di depan mata diri kita. Â Tidak ada maksud apa-apa dalam tulisan ini dan jika ada kesalahan itu karena sekedar humor saja.
Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan Batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H