Dalam artikel terdahulu yang membahas tentang hakekat angan-angan diri manusia yang sudah membungkus potensi diri manusia. Â Namun karena ketidaksadaran diri akibat angan adalah dikatakan sebagai sebuah kepemilikan yang menyertai setiap makhluk hidup. Â Walaupun dengan hadirnya angan menjadikan diri selalu berkeinginan untuk memenuhinya dengan jalan yang tidak sesuai dengan nurani yang dimiliki.
Angan-angan yang hadir dari ego yang mendominasi dalam kerja diri manusia menjadikannya orientasi kehidupan yang penuh dengan ketidakseimbangan. Â Hal berdampak pada diri yang selalu merasa kepayahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Â Sebuah kerugian manakala diri selalu mengalami kepayahan hidup.
Kepayahan diri dalam hidup ini akibat terlalu beratnya beban kehidupan yang menjadi tanggung jawabnya.  Beban tanggung jawab kehidupan  yang muncul dari hasrat diri untuk selalu berusaha memenuhi angan-angan menjadikan pribadi yang rakus dengan hal-hal yang bersifat duniawi.  Perlu diketahui bahwa setiap beban hidup yang di terima dalam kehidupan pada hakekatnya adalah sesuai dengan ukuran kemampuan diri manusia.
Bahkan karena ketidaksadaran diri sesuatu yang berhubungan dengan ruhani pun karena di desak oleh angan-angan yang dimiliki menjadikan ukurannya pun sama dengan ukuran duniawi. Â Hal ini dapat dilihat kondisi diri sekarang dalam hubungan dengan kemah peribadatan di bulan puasa ini ukurannya pun adalah semua ukuran yang ada dalam dunia mulai dari asupan gizi, pakaian bahkan sampai ibadah sholat atau zakat.
Ketika ukurannya adalah ukuran materi dan duniawi maka menjadikan kondisi hidup dijalani diibaratkan diri sebagai keledai yang berlebihan muatan dan tidak tahu kemana arah yang dituju. Â Sebuah kerugian yang besar manakala diri berlaku seperti ini. Â Padahal dalam bulan puasa ini adalah asupan untuk diri adalah asupan ruhani yang melepas atau membalik kemapanan kehidupan yang dijalani sehari-hari.
Sejenak menemukan Keteduhan
Sebuah hal yang aneh jika dirasakan seperti ini kondisi kita sekarang ini. Diri kita yang mengaku  sudah beriman dan mencintai Sang Kekasih namun diri ternyata melakukan hal-hal yang tidak disukai atau melakukannya untuk tujuan bukan mendapatkan cinta hanya ingin sebuah imbalan.  Bahkan hakekatnya aktivitas diri jauh dari mencari nilai cinta yang sejati melainkan hanya mengumbar hasrat dan kuasa yang berasal dari angan-angan.
Anganlah sebetulnya sumber masalah diri karena menjadi motivasi dalam kehidupan diri kita selama ini. Â Hal ini menjadikan perbuatan diri pada hakekatnya sama dengan menghancurkan jiwa yang seharusnya menjadi inti dalam hidup. Ketika segala aktivitas dilakukan tanpa jiwa maka hanya seperti rumah besar yang tak berkonstruksi dan tak berpenghuni.
Baca juga: Humor Sufi: Aroma Sang KekasihJiwa yang tak berbentuk atau bersifat abstrak sebetulnya "power" diri yang memberikan rasa berbeda dalam kehidupan. Â Hadirnya jiwa sejati yang seharusnya selalu mendampingi diri dalam kehidupan selama ini bagaikan lepas karena tak pernah terpikirkan tempat untuk mendudukkan (domisili jiwa). Karena tempat untuk mendudukkan sudah digeser oleh hal-hal lain yang muncul dari beratnya beban pikir dan perasaan yang selama ini berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah kerugian yang besar manakala diri tak pernah menyadari atau tidak pernah memiliki pemahaman tentang mendudukkan jiwa agar bisa mendampingi diri secara sempurna. Â Sehingga benar kata orang umum yang sering mengatakan diri ini tak berjiwa atau hidup dengan jiwa yang seharusnya menempatinya. Â Maka tidak heran aktivitas diri hanya sekedar memikirkan enaknya diri dengan mengorbankan orang lain dan mencari jalan pintas agar diri merasa menerima kepuasan (kepuasan fisik).
Kesadaran diri menemukan jiwa yang akan menemukan keteduhan hidup (kebahagian) dapat diperoleh manakala diri mampu menemukan pemahaman yang benar. Â Bentuk pemahaman yang benar dapat ditemukan di dalam buku yang seharusnya menjadi acuan dalam menurunkan pengetahuan dan bukan didasarkan atas kata orang atau kebiasaan yang biasa di gunakan. Bukanlah hal mudah untuk memahami pemahaman ini, namun manakala terdapat niat melangkah maka pasti ada kekuatan lain yang akan membantu untuk memahaminya.
Baca juga: Skenario CintaJalan mudah dalam menemukan keteduhan adalah menerima segala yang sudah ada baik itu materi maupun non materi. Â Penerimaan diri akan segala materi yang sudah berada ditangan diri (entah benar atau keliru jalannya) dipetakan dan dinikmati dengan hikmat kenikmatan. Â Ibarat diri menutup mata dan telinga dari "iklan" yang muncul dan menggoda hasrat hidup untuk kenikmatan semu.
Sedangkan penerimaan diri yang berupa non materi dan biasa berhubungan dengan kepemilikan pengetahuan yang ada sekarang dipetakan dan di analisis apakah sesuai dengan buku atau tidak. Â Maka tugas diri adalah melakukan "baca dan belajar" baik dari Buku Panduan ataupun dari kejadian atau peristiwa yang terjadi di depan mata untuk selalu direnungkan dan dicari hikmahnya. Â Ketika hal ini secara rutin di lakukan maka akan muncul siratan pemahaman baru yang dapat menganalisis apa yang ada dan mampu menunjukkan langkah yang tepat untuk menjalani kehidupan selanjutnya.
Kesucian bulan puasa tidak akan mampu terjadi manakala diri tidak mampu menjadi diri yang teduh.  Karena puasa mengajak dan mengajarkan diri untuk belajar mencari hakekat diri yang sebetulnya dengan membungkus angan-angan  akibat kebiasaan memanjakan hasrat dan kuasa diri.  Perjalanan hidup bukan tidak selalu stagnan posisinya (bisa diatas atau dibawah) namun yang stagnan adalah keikhlasan diri dalam menjalaninya tanpa mengharapkan imbalan atas aktivitas yang dilakukan.
Kesadaran diri akan bahayanya membiarkan angan menjadi dominasi diri dalam kehidupan harus segera dibangunkan. Ibarat diri mungkin tidur dengan memakai selimut yang tebal maka tugas diri harus bangun dan segera beraktivitas kembali. Â Maka dibutuhkan sebuah pemahaman yang benar tentang membuka selimut dan melakukan aktivitas yang benar agar diri mampu membungkus angan yang dimiliki.
Diri tidak mungkin dapat membungkus angan karena itu bukan sebuah aktivitas fisik/jasadiyah melainkan sifat abstrak dan non materi. Â Untuk mencapai dimensi abstrak dan non materi maka diri harus memiliki bekal yang berupa pemahaman yang benar dan sesuai dengan Buku Panduan. Â Karena dengan pemahaman ini ibarat diri "mendudukkan jiwa" dengan membangunkan rumah untuknya yang selama ini tertutup oleh selimut dan aktivitas yang berorientasi pada hal yang fana.
Maka langkah yang dilakukan adalah:Â
Pertama, Juallah dunia dan belilah akhirat. Diri yang sadar akan berpikir untuk beraktivitas yang selalu membawa pada keteduhan hidup yang abadi dan bukan yang sementara. Â Hal ini tidak dapat terjadi manakala diri selalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian semata. Â Memang kepentingan dan kebutuhan duniawi adalah utama tapi manakala hal ini menjadi orientasi aktivitas maka yang diukur adalah untung dan rugi semata bukan sebuah keteduhan yang abadi.
Pantaskah jika diri menginginkan sebuah keteduhan yang abadi hanya mengorbankan dengan hal yang sedikit. Â Ukuran sedikit atau banyak adalah hubungannya dengan waktu. Â Maka ketika diri tidak segera memiliki kesadaran dan terlibat dalam jual beli yang benar maka diri selalu rugi karena lupa dengan waktu yang ada.Â
Manajemen waktu yang benar bukan diukur dari ukuran kuantitas ataupun target fisik yang dicapai melainkan cara menikmati waktu untuk keseimbangan dunia dan akhirat.  Ilmu dan pengetahuan lah yang menunjukkan cara untuk dapat mengelola waktu dengan benar.  Karena sama-sama beraktivitas yang sama tapi tidak didasarkan oleh kehidupan akhirat  dan di dasarkan dengan kehidupan dunia akan menghasilkan hal yang berbeda.
Tugas diri hanya mengintrospeksi kepemilikan ilmu yang selama ini digunakan untuk hal ini. Â Kesadaran hal utama untuk menumbuhkan dan melakukan introspeksi diri. Â Singkatnya umur dan waktu kehidupan adalah hal yang sama dimiliki oleh semua manusia. Â Namun manusia yang tidak rugi adalah diri yang memiliki pemahaman yang benar tentang ilmu keseimbangan kehidupan.
Kedua, Tinggalkan ciptaan dan dekati Penciptanya. Aktivitas ini adalah hubungannya dengan "rasa Cinta".  Cinta diri kepada ciptaan ternyata yang selama ini menjadi prioritas diri dalam kehidupan di dunia ini.  Karena pemahaman yang menjadikan diri berlaku seperti ini karena menjadi ukuran keberhasilan hidup dan "keteduhan jiwa" yang fana.
"Cinta palsu" yang selama ini diperjuangkan dan menjadi dominasi hidup ternyata merupakan penghalang utama diri untuk mendapatkan "Cinta sejati". Â Hal ini dapat dibuktikan manakala diri beribadah pun yang seharusnya hadir dengan "cinta sejati" hilang atau diganggu dan selalu disertai hadirnya angan tentang "cinta palsu". Â Fokus dan orientasi dalam beribadah tidak hadir secara penuh bahkan mungkin ibadah hanyalah gerakan jasmani fisik tanpa hadirnya jiwa.
Maka kesadaran diri untuk meninggalkan ciptaan dan mendekati penciptanya adalah elemen utama dalam beribadah. Â Secara logika pun manakala diri berhasil mendekati Sang Pencipta maka semua ciptaan akan tunduk pada diri kita. Â Butuh tekat dan keyakinan yang kuat agar rasa khawatir dan was-was yang selalu menjadi penjara diri dapat dirubuhkan dan dengan pemahaman baru akan menemukan jawaban bahwa diri hidup sudah dipikirkan dan dipenuhi oleh Sang Pencipta.
Penutup
Hanya sekedar humor sufi yang mengajak untuk mengintrospeksi diri atas perilaku yang selama ini sudah dilakukan.  Tidak ada yang lucu dan pantas untuk ditertawakan, Namun perbedaan  pemahaman adalah hal yang bisa menjadi bahan tertawaan dalam tulisan ini. Â
Hari ini diri lihat tangga menuju langit... Yang mungkin dapat dilihat oleh orang lain... Namun mungkin bentuk penangkapan yang berbeda yang dimiliki setiap diri... Â Dan tidak setiap diri tergerak untuk menaiki.
Matahari sudah tenggelam dengan malu... Bulanpun bersinar dengan redup...Hembusan angin hanya sebagai teman dalam alur perjalanan menuju tempat MU... Bukan jasmani untuk menaikinya, hanya ruhani yang mampu menembus jalan pulang kerumah MU.
Seribu waktu yang tersedia dan disediakan... Membumbunglah runahi diri  ke langit sana... Menaiki tangga  hingga waktu fajar...  Hanya doa yang terucap untuk meraih puncak tertinggi dari langit yang ada. ( Puisi Lailatul Qodr)
Magelang, 11/4/2023
Salam
KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H