Ketika diri berbicara mengenai bulan maka ada beberapa hal yang terlintas dalam benak dan menjadi tafsiran pemahaman yang berbeda. Â Perbedaan penafsiran ini diakibatkan oleh kepemilikan pengetahuan yang tertanam dan dimiliki oleh masing-masing diri manusia, mulai diri yang berpendidikan tinggi sampai diri yang tak berpendidikan. Â Dan perbedaan bukanlah sebagai sebuah kesalahan dan menjadi penyebab diri untuk menyalahkan orang orang yang tidak memiliki persepsi berbeda atas "bulan" tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa bulan adalah merupakan perhiasan yang diberikan kepada makhluk di dunia ini yang muncul di malam hari. Â Diri yang berpersepsi ini dikarenakan memang bulan adalah sebagai bentuk keindahan diwaktu kondisi dalam kegelapan. Â Maka secercah cahaya dan penampakan bulan merupakan "obat dahaga" untuk kebutuhan penerangan sebagai penerang jalan kehidupan serta sebagai bentuk penemuan keistimewaan di malam hari.
Persepsi ini muncul akibat diri memang dalam kondisi "primitif" yang belum tersentuh oleh pengetahuan yang maju sehingga bulan dipandang sebagai sebuah obat dahaga bagi yang membutuhkannya. Â Kondisi primitif ini diakibatkan pengetahuan belum maju sepesat sekarang ini dan memang persepsi atas pemahaman ini masih dipegang teguh karena kebenarannya postulat masih belum terbantahkan dan berlaku.
 Ada juga yang berpendapat bahwa bulan merupakan sekedar "planet mati" yang hanya sekedar membiaskan cahaya matahari sehingga mampu menjadi penerang di malam hari.  Walaupun dikatakan sebuah planet mati namun bulan memiliki dampak atas kondisi alam yang menyebabkan perubahan fenomena di bumi.  Maka kemunculan bulan digunakan sebagai perhitungan untuk meramalkan kondisi alam di masa depan.
Persepsi ini muncul manakala diri sudah lebih keluar dari hal umum karena sudah keluar dari bumi dan melihat alam semesta secara lebih general. Â Karena alam semesta tidak hanya di ciptakan berupa bumi saja melainkan banyak planet lain yang diciptakan untuk kepentingan kehidupan manusia. Dan persepsi atas pemahaman inipun juga tidak salah dan masih berlaku sampai sekarang ini.
Ada juga yang berpendapat bahwa bulan adalah merupakan pencarian tuhan bagi manusia. Â Dalam pencarian ini bagamana diri manusia menganggap bahwa tuhan adalah mereka yang mau menerangi kehidupan dikala mengalami kegelapan. Â Bulan diangap sebagai tuhan karena mampu memberikan cahaya kehidupan, namun terbantahkan karena bulan menghilang akibat waktu dan hadirnya matahari yang lebih terang sinarnya diwaktu siang hari.
Fenomena bulan dianggap tuhan ini sudah terpatahkan oleh Ibrahim AS yang pada waktu itu mencari kebenaran dan Tuhan yang sesungguhnya. Â Tidak mungkin Tuhan adalah sesuatu yang bersifat sementara dan dikalahkan oleh sesuatu yang lain. Â Kisah Ibrahim ini seharusnya menjadikan pelajaran diri yang tidak sederhana karena banyak makna yang mungkin bisa menjadi pemahaman untuk kehidupan diri manusia.
Dan masih banyak makna nilai lain yang bisa diturun dari kehadiran bulan tersebut. Â Terutama dalam hubungannya dengan puasa ramadhan yang sangat tergantung pada hadirnya bulan. Bahkan mungkin bisa dianggap sebagai tuhan untuk menentukan awal atau berakhirnya puasa. Â Mungkin diri kita tidak sampai pada pemahaman ini jika tidak mampu menghubungkannya manakala sempitnya hati dan berkuasanya ego diri dalam menentukan waktu puasa.Â
Bulan Pun Luluh
Hubungannya dengan "bulan luluh" adalah kaitannya dengan bulan yang digunakan sebagai hitungan waktu untuk menandai era atau masa bagi kehidupan.  Dan kehadiran bulan seperti ibarat waktu yang tepat bagi diri  untuk mendekat dalam mencari Tuhan. Hal ini sama halnya apa yang terjadi dalam fenomena Ibrahim AS.  Sebuah ketidaksadaran diri mungkin terjadi manakala diri berpikir seperti ini walaupun memiliki hakekat yang benar namun dengan cara yang kurang benar.
Makna bulan Luluh dalam hubungannya dengan puasa hakekatnya terdapat hal-hal yang perlu dikaji dan dipahami dalam memposisikan bulan secara semestinya. Pemaknaan bulan yang luluh pada bulan puasa ini bukan diposisikan sebagai tuhan melainkan diposisikan sebagai pengkondisian waktu dan perjalanan lintas dimensi.
Pertama, Pengkondisian waktu. Â Pemahaman tentang waktu adalah merupakan sebuah satu kesatuan rangkaian kehidupan diri sebagai makhluk dalam berproses dalam kondisi atau alam yang ada. Â Hal ini berarti merupakan skala interval antara dua keadan atau kejadian dan bisa juga dikatakan sebagai kondisi lama berlangsungnya kejadian atau peristiwa yang dijalani diri manusia dalm kehidupan.
Dengan adanya pemahaman ini maka waktu pun merupakan ukuran dan sarana diri dalam menjalani kehidupan. Karena masa edar diri dibatasi oleh waktu tersebut dalam kehidupan. Maka diri diharapkan mampu memanfaatkan waktu yang ada dengan optimal agar tidak termasuk dalam kategori manusia yang rugi. Â Diri yang tidak rugi adalah mereka yang mampu mengkondisikan waktu sebagai hitungan petunjuk kehidupan agar tidak terjebak dalam kondisi yang sama.
Terjebaknya diri dalam kondisi yang sama diakibatkan karena terlalu sibuk menjadikan bulan sebagai dasar dalam menghitung waktu. Â Sehingga menjadikan diri cahaya bulan sebagai pembatas waktu untuk beraktivitas. Pembatasan ini diakibatkan kehidupan diri tergantung pada sinar yang ada akibat munculnya dua dimensi keadaan (terang dan gelap).
Demikian juga dalam hubungannya dengan berpuasa dimana dua dimensi ini juga menjadi ukuran aktivitas ibadah diri. Dan manakala ini terjadi dan menjadi pemahaman diri maka pasti orientasi diri hanya sekedar melaksanakan ibadah secara jasmaniah/fisik. Â Maka keseimbangan yang terjadi juga merupakan keseimbangan fisik dalam hubungannya dengan asupan diri.Â
Orientasi diri yang hanya berhubungan dengan fisik ini mengakibatkan keseimbangan kehidupan semakin jauh dari harapan yang dikehendaki NYA. Memang bahwa bulan puasa adalah bulan ibadah fisik akibat selama ini diri terjebak dalam realita kehidupan yang selalu memprioritas hal hal yang bersifat fisik dan diterima logika material. Â Maka Sang Pencipta menyuruh diri manusia untuk beribadah puasa agar mengubah kehidupan yang berorientasi fisik menuju keseimbangan antara fisik dan non fisik dengan memperbanyak asupan ruhaninya.
Bulan puasa yang merupakan sebuah kesempatan dan peringatan yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada diri untuk kembali kepada jalan menuju hakekat diri sebagai manusia sesungguhnya. Â Memperbanyak asupan ruhani dan mengurangi asupan fisik adalah bentuk mudah untuk menemukan jalan tersebut. Â Hal ini untuk mengubah bahwa hidup tidak dibatasi oleh kondisi waktu melainkan hidup adalah sebuah pelepasan kondisi pembatas diri untuk menuju diri yang tak terbatas.
Kedua, Pengkondisian lintas dimensi diri. Ketika waktu masih menjad sebuah pembatas kondisi maka tidak mungkin diri akan mencapai lintas dimensi. Â Karena diri selalu terbatas pada pemahaman bahwa apa yang terlihat dan terpikir secar logika materi adalah hal yang harus dijalani. Hal ini mengakibatkan diri terlalu sibuk dalam kesibukan untuk mencari materi tersebut agar mampu mempertahankan kehidupan di dunia ini saja.
Padahal mungkin diri kita sadar bahwa hidup manusia tidak hanya di dunia ini saja melainkan bahwa kehidupan diri dimulai dari alam rahim sampai nanti diri pulang di rumah Sang Pencipta. Â Kelahiran dan kematian hanyalah sebagai pintu bukan awal dan akhir dari sebuah kehidupan. Â Sehingga hakekat diri adalah manusia yang hidup dalam lintas dimensi dengan berakhir sebagai sebuah kebahagiaan atau penderitaan.
Agar diri mampu mencapai lintas dimensi dengan sempurna maka diperlukan sebuah keseimbangan agar mampu meniti titian terakhir dalam perjalanan pulang menuju rumah Sang Pencipta. Puasa adalah bentuk pembelajaran diri agar mampu berpikir mengenai hakekat tentang asupan yang seharusnya menjadi bahan bakar kehidupan. Â Mengurangi asupan materi atau jasadiyah dan memperbanyak asupan ruhani (non materi) adalah langkah awal agar diri mampu membangun rumah untuk jiwa yang selama ini tak terpikirkan.
Bulan puasa inilah sebetulnya waktu yang tepat untuk membangun rumah bagi jiwa seorang manusia sesungguhnya. Â Karena dalam bulan puasa ini diri belajar mengurangi asupan-asupan yang selama ini mendominasi pembangunan diri manusia yang menjadan diri terlalu tambun fisiknya dan terlalu gelap hatinya akibat banyaknya kondisi yang dipikirkan. Â Ketambunan fisik dan gelapnya hati dalam bangunan diri selama ini menjadikan jiwa tidak masuk dalam diri manusia. Â
Bersambung...
Penutup
Hanya sekedar humor sufi yang membahas tentang mutiara puasa (bulanpun luluh). Â Masih ada sambungan mengenai pembahasan bulanpun luluh berikutnya. Jika terjadi perbedaan pemahaman dan pengetahuan tentang tulisan ini maka pantas ditertawakan karena ini hanya sekedar humor.
Jasadku bagaikan bulan.. Yang hidup terbatas oleh cahaya... Pipiku montok karena banyak materi yang ku makan.. Akalku tidur nyenyak karena berselimut hangat dengan pemahaman yang tak pernah ku cari kebenarannya.
Jasadku bagaikan bulan.. Â Yang hidup hanya pada sisi malam.. Hatiku gelap karena tak pernah ku perhatikan... Gelap gulita bagaikan batu hitam yang kelam.
Oooiii... Apakah ini hidupku yang seharusnya kujalani.. Pantaskah diri untuk pulang ke rumah Sang Kekasih... Dan pantaskah dir untuk menemui NYA
Magelang, 2/4/2023
Salam
KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H