Bulan puasa yang dianggap bulan yang penuh dengan keberkahan merupakan sebuah momen yang ditunggu oleh setiap muslim di dunia ini. Â Kedatangan bulan ini bukannya hanya untuk kalangan terbatas (kaum muslimin) melainkan juga oleh umat lain yang juga ikut menikmati keberkahan dan kemurahannya. Â Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi yang ada baik itu dalam keadaan ekonomi sulit maupun tanpa masalah keberkahannya dirasakan juga oleh semua umat di dunia ini.
Memahami bulan puasa bagi diri kita (sebagai umat muslim) tidak sepantasnya hanya sekedar ikut menyemarakkan dan melaksanakan ibadah di dalamnya. Â Melainkan juga harus memahami hakekat dari bulan tersebut untuk dijadikan bahan renungan diri dalam kehidupan. Â Karena ketika diri hanya sekedar seperti itu maka ibarat kerugianlah yang akan menjadi beben di kehidupan di masa depan.
Di dalam memahami makna dan hakekat bulan puasa kiranya perlu belajar untuk menggali pemahaman yang tersirat ataupun tersurat. Â Salah satu bentuk awal dalam memahami ini adalah diri belajar mengenai alur puasa yang dimulai dari rekonstruksi/reevaluasi motivasi sampai dengan realisasi ibadah puasa agar sampai pada tujuan menjadi manusia yang bertakwa. Â Karena seperti banyak fakta yang ada bahwa diri tak pernah mampu menggali lebih dalam makna dan hakekat puasa serta menjalankan puasa sebatas ritualitas peribadatan sehingga mengakibatkan diri hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja.
Berbicara mengenai alur berpuasa seperti mengenal peta perjalanan yang akan dituju serta harus dilakukan petunjuk yang ada di dalamnya agar mampu berjalan mencapai titik finish yang dikehendakinya. Â Alur puasa ini hakekatnya adalah pegangan diri atau pedoman untuk melaksanakan ibadah. Â Dan jangan sampai diri hanya sekedar beribadah hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain namun tak memahami konteks yang terkandung di dalamnya.
Alur perjalanan atau tahapan yang harus dipersiapkan dan dijalankan dalam ibadah ini akan membangun sebuah motivasi diri untuk menumbuhkan kesadaran dalam beribadah dengan baik dan benar. Â Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya ada lima tahap persiapan yang harus di jalani khususnya perjalanan batin (non fisik) agar menyeimbangkan ibadah fisik yaitu puasa. Â Kelima alur tersebut adalah: (tiga alur sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya dalam Mutiara Puasa (Jalan Menuju Sang Tercinta) )
Pertama, Kehendak (Iradah). Kehendak merupakan sebuah modal awal yang harus dibangun oleh setiap diri manusia dalam melakukan aktivitas kehidupan (khususnya ibadah puasa).  Terdapat dua unsur yang terkandung yang mempengaruhi kehendak seseorang yaitu  adanya kepemilikan unsur kekuasaan dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan wujud diri sebagai manusia.
Kedua, Ketertarikan (Muhabbah). Â Ketertarikan merupakan keadaan diri terhadap sesuatu yang ditemuinya. Â Ketertarikan ini merupakan sebuah "rasa ingin" yang tidak sekedar di dominasi oleh unsur fisik semata melainkan juga hal-hal yang bersifat non fisik. Â Keseimbangan unsur fisik dan non fisik inilah menjadikan sebuah ketertarikan memiliki nilai untuk diri manusia.
Ketiga, Kecenderungan (Hawa). Kecenderungan merupakan respons diri yang dipengaruhi oleh kualitas karakter diri dan biasanya meliputi kebiasaan, persiapan, keadaan persiapan untuk mengambil keputusan dalam bertindak dengan cara tertentu.  Kepemilikan atas kecenderungan dipengaruhi oleh pemahaman yang dimilikinya.  Dan Ketika diri memiliki ilmu yang benar dan sesuai dengan teori-teori yang benar bukan relevan maka akan menghasilkan tindakan yang baik dan benar.
Keempat, Hasrat ('Isyq). Hasrat merupakan sebuah tahapan kemeradangan kuat yang bersumber pada nafsu diri manusia. Â Kemeradangan ini mempengaruhi keinginan diri untuk "sesuatu" atas hal yang akan dilakukan. Â Maka hasrat bisa menjadikan diri berperilaku positif apabila nafsu mampu di kelola dengan baik dan akan menjadi sebuah "kegilaan" apabila nafsu yang menjadi dominasi dalam kehidupan diri manusia.
Kebenaran atau kesalahan diri banyak bersumber pengelolaan hasrat yang dimiliki oleh manusia. Â Pengelolaan indra terlebih dalam hubungannya dengan nafsu adalah unsur utama yang menunjukkan pada kualitas diri sebagai manusia. Â Jika diri memiliki pengetahuan atau pemahaman mengenai pengelolaan diri (indra) yang benar agar diri tidak sesat jalan maka akan membawa pada kebaikan dan kembali pada harkat diri sebagai manusia yang sesungguhnya.
Hubungannya dengan pengelolaan nafsu ini sejalan dengan adanya bulan puasa, dimana setiap diri manusia diharuskan untuk mengekangnya (mengelola) dengan baik. Â Karena bulan puasa nafsu-nafsu yang menjadikan diri menjadi makhluk yang "liar" akibat dari orientasi pada fisik diharapkan dapat dikelola sesuai dengan kebutuhannya. Â Karena hakekatnya puasa adalah menghindari aktivitas atau perilaku diri manusia agar tidak terjadi penyimpangan dan kebodohan yang tak berguna.
Pengurangan asupan materi digantikan dengan memperbanyak asupan non materi menjadikan "kerja hati" lebih maksimal. Â Hal ini dikarenakan "pikir-rasa-keinginan" yang dimiliki tidak disupport oleh asupan materi. Â Sehingga perilaku diri dapat dikontrol dengan baik manakala puasa betul-betul dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang sesuai dengan Buku Panduan.Â
Kelima, Kedekatan (Ulfa). Kedekatan menunjukkan ketidakadaan jarak antara diri dengan Sang Pencipta atau dalam arti lain dapat dikatakan sebagai sebuah kepemilikan pemahaman mengenai hakekat dan jati diri sebagai manusia. Â Hal ini diakibatkan dengan kepemilikan pengetahuan tentang kehidupan yang harus ditempuh menjadikan diri tergerak untuk dapat memaksimalkan apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipata kepada manusia.
Kepemilikan pengetahuan yang benar dan cukup menjadikan diri memiliki kesadaran untuk memaksimalkan indra (pikir-rasa-keinginan dan di gerakkan oleh hati) sehingga mampu menggunakan akal sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Â Kondisi diri dalam posisi ini akan menjadikan diri sesuai dengan prototipe manusia yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin dan makhluk yang sempurna.
Bulan puasa yang merupakan "tiket mudah" dalam mendekati Sang Tercinta dikarena kondisi diri yang berusaha untuk "naik derajat" dengan meninggalkan segala hal yang berhubungan materi duniawi dan menggantikan asupan non materi yang bersifat "santapan ruhani". Â Penjaminan atas segala aktivitas hal-hal yang bersifat "santapan ruhani" inilah sebetulnya sebuah upaya dari Sang Pencipta dalam memberikan kemudahan untuk setiap diri manusia.
Namun tidak semua diri manusia tertarik dengan kemudahan yang ada dalam puasa tersebut. Â Hal ini dikarenakan diri terlalu buta/lalai dengan pengetahuan yang seharusnya menjadi pegangan dalam hidup akibat disibukkan dengan kegiatan untuk mengobati rasa "was-was/khawatir" yang sudah menjadi penyakit dasar diri manusia. Â Sebuah kerugian manakala diri tidak pernah memiliki kesadaran atas kondisi yang seperti ini dalam kehidupan sekarang ini.
Kedekatan diri dengan Sang Tercinta yang seharusnya dapat terwujud dengan bersusah payah berpuasa di bulan puasa tak akan tercapai manakala diri berpuasa hanya seperti sebuah ritualitas ibadah. Â Maka perlu setiap hari diri untuk selalu belajar dan memaksimalkan pemahaman agar dapat mendapatkan prioritas untuk tiket mudah ini. Â Karena Yang Tercinta sudah memberikan jaminan kepada diri manusia yang dapat melakukan ibadah puasa dengan baik dan benar sesuai dengan aturan yang benar.
Keenam, Keterbelengguan (Tatayum). Keterbelengguan atau terbelenggu mengisyaratkan diri kita sudah tidak bebas lagi karena adanya batas-batas kehidupan yang berupa aturan harus dijalani.  Aturan-aturan berkehidupan ini yang berasal dari Sang Pencipta sudah ada sejak manusia pertama (Adam AS) belum di ciptakan.  Dan aturan ini seharusnya dipatuhi agar diri mampu hidup dengan baik.  Namun kebebasan dari Sang Pencipta membolehkan diri untuk melanggar nya namun dengan konsekuensi kejatuhan harkat dan martabat diri sebagai makhluk yang sempurna.  Â
Kejatuhan harkat diri sebagai manusia sempurna akibat melanggar aturan yang ada (Adam AS) menjadikan diri sekarang ini menjadi makhluk manusia yang hidup mencari identitasnya kembali. Â Maka agar diri mampu menemukan harkat diri sebagai manusia memiliki tugas khusus yaitu melakukan kajian mendalam agar tidak terlena atau salah jalan. Â Kajian ini dapat ditemukan dalam Buku Panduan Hidup yang seharusnya menjadi acuan dalam "baca dan belajar" tentang ilmu kehidupan dan bukan pada acuan lain yang sekarang banyak berkembang.
Demikian juga dalam hubungannya dengan puasa yang dilakukan dalam bulan Ramadhan ini. Sebagai sebuah "tiket mudah" yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia agar mampu menemukan jati dirinya maka seharusnya diri memperbanyak "baca dan belajar" untuk mengkaji pemahaman yang berkaitan dengannya. Â Karena puasa bukan sekedar ibadah jasmaniah namun banyak makna yang terkandung di dalamnya terutama berkaitan dengan aspek non fisik.
Keterbelengguan dengan aturan yang merupakan pilihan diri manusia bukanlah merupakan hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebuah batas yang membedakan diri dengan makhluk lain.  Puasa yang secara fisik adalah mengurangi asupan unsur materi  yang masuk ke tubuh digantikan dengan asupan non materi.  Banyaknya asupan yang non materi tersebut menjadikan diri memudahkan untuk mencapai hakekat nilai-nilai Illahiyah yang seharusnya menjadi dasar perilaku diri dalam berkehidupan di dunia ini.
Hakekat nilai-nilai Illahiyah inilah merupakan pegangan diri manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai penerima tanggungjawab untuk mengelola bumi dan isinya. Â Hal ini dapat dicapai jika unsur diri yang selama ini terlalu berat sebelah karena di didominasi oleh asupan materi harus di kurangi dan digantikan dengan asupan non materi. Â Maka ketika ibadah puasa dilakukan jika diri di dasarkan atas pemahaman yang benar akan mendekatkan pada kemudahan diri untuk lahir kembali menjadi manusia yang sempurna.
Keterbelengguan yang mungkin dirasa sebagai sebuah ketidakbebasan diri atas aturan yang ada, namun hakekatnya adalah sebuah puncak dari motivasi diri untuk kembali pada rel kehidupan yang benar. Â Terbelenggu akan menjadi muara akhir yang harus dijalani setelah empat alur dapat dipahami dan di mengerti agar diri mencapai keterbelengguan yang sejati.
Penutup
Hanya sekedar humor sufi tentang mutiara puasa yang menggali tentang motivasi diri untuk menjalani puasa dengan baik dan benar. Â Tidak ada yang lucu dan pantas ditertawakan dalam humor ini, Â kecuali perbedaan pendapat dalam penggalian makna motivasi dalam perspektif yang lain.
Siapa saja yang berniat dan melakukan perjalanan untuk Yang Tercinta, Melangkah dengan perut kosong dan kaki yang pegal, Tak pernah ketemu dengan diriNYA, Â Hanya iklhas dan pengetahuan yang benar adalah hakekat bekal yang sesungguhnya.
Terima kasih
Magelang, 20/3/2023
Salam, KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H