Pengurangan asupan materi digantikan dengan memperbanyak asupan non materi menjadikan "kerja hati" lebih maksimal. Â Hal ini dikarenakan "pikir-rasa-keinginan" yang dimiliki tidak disupport oleh asupan materi. Â Sehingga perilaku diri dapat dikontrol dengan baik manakala puasa betul-betul dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang sesuai dengan Buku Panduan.Â
Kelima, Kedekatan (Ulfa). Kedekatan menunjukkan ketidakadaan jarak antara diri dengan Sang Pencipta atau dalam arti lain dapat dikatakan sebagai sebuah kepemilikan pemahaman mengenai hakekat dan jati diri sebagai manusia. Â Hal ini diakibatkan dengan kepemilikan pengetahuan tentang kehidupan yang harus ditempuh menjadikan diri tergerak untuk dapat memaksimalkan apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipata kepada manusia.
Kepemilikan pengetahuan yang benar dan cukup menjadikan diri memiliki kesadaran untuk memaksimalkan indra (pikir-rasa-keinginan dan di gerakkan oleh hati) sehingga mampu menggunakan akal sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Â Kondisi diri dalam posisi ini akan menjadikan diri sesuai dengan prototipe manusia yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin dan makhluk yang sempurna.
Bulan puasa yang merupakan "tiket mudah" dalam mendekati Sang Tercinta dikarena kondisi diri yang berusaha untuk "naik derajat" dengan meninggalkan segala hal yang berhubungan materi duniawi dan menggantikan asupan non materi yang bersifat "santapan ruhani". Â Penjaminan atas segala aktivitas hal-hal yang bersifat "santapan ruhani" inilah sebetulnya sebuah upaya dari Sang Pencipta dalam memberikan kemudahan untuk setiap diri manusia.
Namun tidak semua diri manusia tertarik dengan kemudahan yang ada dalam puasa tersebut. Â Hal ini dikarenakan diri terlalu buta/lalai dengan pengetahuan yang seharusnya menjadi pegangan dalam hidup akibat disibukkan dengan kegiatan untuk mengobati rasa "was-was/khawatir" yang sudah menjadi penyakit dasar diri manusia. Â Sebuah kerugian manakala diri tidak pernah memiliki kesadaran atas kondisi yang seperti ini dalam kehidupan sekarang ini.
Kedekatan diri dengan Sang Tercinta yang seharusnya dapat terwujud dengan bersusah payah berpuasa di bulan puasa tak akan tercapai manakala diri berpuasa hanya seperti sebuah ritualitas ibadah. Â Maka perlu setiap hari diri untuk selalu belajar dan memaksimalkan pemahaman agar dapat mendapatkan prioritas untuk tiket mudah ini. Â Karena Yang Tercinta sudah memberikan jaminan kepada diri manusia yang dapat melakukan ibadah puasa dengan baik dan benar sesuai dengan aturan yang benar.
Keenam, Keterbelengguan (Tatayum). Keterbelengguan atau terbelenggu mengisyaratkan diri kita sudah tidak bebas lagi karena adanya batas-batas kehidupan yang berupa aturan harus dijalani.  Aturan-aturan berkehidupan ini yang berasal dari Sang Pencipta sudah ada sejak manusia pertama (Adam AS) belum di ciptakan.  Dan aturan ini seharusnya dipatuhi agar diri mampu hidup dengan baik.  Namun kebebasan dari Sang Pencipta membolehkan diri untuk melanggar nya namun dengan konsekuensi kejatuhan harkat dan martabat diri sebagai makhluk yang sempurna.  Â
Kejatuhan harkat diri sebagai manusia sempurna akibat melanggar aturan yang ada (Adam AS) menjadikan diri sekarang ini menjadi makhluk manusia yang hidup mencari identitasnya kembali. Â Maka agar diri mampu menemukan harkat diri sebagai manusia memiliki tugas khusus yaitu melakukan kajian mendalam agar tidak terlena atau salah jalan. Â Kajian ini dapat ditemukan dalam Buku Panduan Hidup yang seharusnya menjadi acuan dalam "baca dan belajar" tentang ilmu kehidupan dan bukan pada acuan lain yang sekarang banyak berkembang.
Demikian juga dalam hubungannya dengan puasa yang dilakukan dalam bulan Ramadhan ini. Sebagai sebuah "tiket mudah" yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia agar mampu menemukan jati dirinya maka seharusnya diri memperbanyak "baca dan belajar" untuk mengkaji pemahaman yang berkaitan dengannya. Â Karena puasa bukan sekedar ibadah jasmaniah namun banyak makna yang terkandung di dalamnya terutama berkaitan dengan aspek non fisik.
Keterbelengguan dengan aturan yang merupakan pilihan diri manusia bukanlah merupakan hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebuah batas yang membedakan diri dengan makhluk lain.  Puasa yang secara fisik adalah mengurangi asupan unsur materi  yang masuk ke tubuh digantikan dengan asupan non materi.  Banyaknya asupan yang non materi tersebut menjadikan diri memudahkan untuk mencapai hakekat nilai-nilai Illahiyah yang seharusnya menjadi dasar perilaku diri dalam berkehidupan di dunia ini.
Hakekat nilai-nilai Illahiyah inilah merupakan pegangan diri manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai penerima tanggungjawab untuk mengelola bumi dan isinya. Â Hal ini dapat dicapai jika unsur diri yang selama ini terlalu berat sebelah karena di didominasi oleh asupan materi harus di kurangi dan digantikan dengan asupan non materi. Â Maka ketika ibadah puasa dilakukan jika diri di dasarkan atas pemahaman yang benar akan mendekatkan pada kemudahan diri untuk lahir kembali menjadi manusia yang sempurna.