Berbicara tentang cinta yang merupakan gambaran tentang hasrat keindahan dan kepuasan diri untuk mendapatkan kehendak yang ingin diperolehnya. Cinta sebagai sebuah daya ledak diri dan biasanya membutakan indra yang dimiliki oleh setiap diri manusia. Â Bahkan untuk meraihnya kadang dibutuhkan pengorbanan berupa harga diri agar yang tercinta dapat tunduk dengan jerat-jerat yang diberikannya.
Cinta yang seperti itu adalah merupakan gambaran umum pemahaman diri dalam berkehidupan di dunia ini. Â Jelas hal ini menunjukkan dominasi pikir yang dimiliki terbelenggu oleh perasaan manusia dalam bekerja di kehidupan sehari-hari bukan logika akal yang seharusnya digunakan. Â Sehingga seringkali diri dalam memperjuangkan cinta berperilaku seperti orang yang tak memiliki logika karena unsur jasad atau materi yang di prioritaskan agar terjamin keberlangsungan kehidupan diri di dunia ini.
Makna cinta yang hakiki sebetulnya merupakan bentuk keseimbangan antara raga dan jiwa yang dimiliki.  Tidak hanya terfokus pada perasaan melainkan sebagai upaya diri untuk menemukan jalan pulang agar diri mampu bertemu dengan Sang Tercinta.  Maka cinta adalah sebagai sebuah penyalaan (start) diri yang dimulai dari terpompanya darah yang menjalar ke seluruh urat nadi  dan menimbulkan semangat hidup yang benar dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Perjuangan untuk mendapatkan jawaban cinta dari Yang Tercinta dibutuhkan upaya yang sistematis dan cermat dengan menggali pemahaman tentang alur dan maknanya. Â Karena perilaku diri yang demikian merupakan sebuah bentuk "kegilaan" tentang arah kehidupan dan kematian yang akan di tuju. Â Menggali alur dan makna cinta dibutuhkan pelepasan (meng-off-kan) pemahaman yang sudah dimiliki serta melakukan perenungan kembali dengan berdasarkan pada pengetahuan yang tertulis pada Buku Panduan hidup manusia.
Alur Perjalanan Menuju Yang Tercinta Â
Banyak orang dan pemahaman umum yang sekarang ada mengatakan bahwa bulan puasa adalah bagian dari tiket mudah untuk dapat menemui Sang Tercinta. Â Saking mudahnya maka apapun ibadah diri yang dilakukan pada bulan tersebut dirasa sangat ringan dan mudah. Â Sehingga mengakibatkan fokus umat dalam beribadah pun terasa seperti sebuah keramaian sebuah perayaan di bulan puasa tanpa meninggalkan kesakralannya.
Namun realita yang terjadi  banyak diri kita yang "merasa" berat melakukan ibadah di bulan puasa ini.  Ataupun jika diri melakukannya hanya sekedar budaya yang turun temurun atau dilakukan akibat dari munculnya rasa malu apabila diri tidak ikut sibuk dalam beribadah.  Sebuah kebodohan diri apabila selama ini diri mengisi bulan puasa dengan hal seperti itu.
Kehendak diri yang ingin melakukan ibadah dengan baikpun harus memiliki pemahaman akan ibadah-ibadah yang harus dilakukan dalam bulan puasa. Â Untuk mendapatkan pemahaman yang baik maka diri perlu mengenal alur atau kejiwaan cinta terhadap bulan puasa ini. Karena sebagai sebuah alur atau tingkatan maka tingkat yang paling baik apabila diri mampu mencapai titik terakhir dari kejiwaan cinta kepada bulan puasa sebagai tiket mudah untuk menemui Sang Tercinta.
Tahapan kejiwaan merupakan unsur yang tak terlihat namun memiliki sebuah nilai yang melekat dan mempengaruhi perilaku diri dalam memaknai sebuah cinta itu sendiri. Â Biasanya diri manusia umum mengatakan bahwa tahap kejiwaan ini merupakan motivasi diri dalam melakukan aktivitasnya. Â Namun hakekat yang sesungguhnya pemahaman tahap kejiwaan ini akan memberikan sebuah bentuk kesadaran diri dalam beraktivitas.
Alur perjalanan yang membangun motivasi dalam sebuah kesadaran bertindak terdapat lima macam tahapan yang harus dijalani oleh setiap diri manusia.  Alur ini merupakan perjalanan batin (non fisik) diri yang berguna untuk membangun bangunan kesadaran diri  yang sempurna.  Tahapan yang dibangun melewati lima buah tingkatan yaitu :
Pertama, Kehendak (Iradah). Kehendak merupakan sebuah modal dasar yang dimiliki oleh setiap diri manusia akibat dari pelimpahan wewenang yang menjadi beban tugas hidup ini. Dua unsur yang ada dalam kehendak yang merupakan titik keseimbangan antara kekuasaan dan kesempurnaan wujud diri sebagai makhluk manusia. Â