Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Humor Sufi: Potensi Diri (Renungan Akhir Tahun 2022)

27 Desember 2022   18:30 Diperbarui: 28 Desember 2022   12:14 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana banyak terjadi dan menjadikan fokus pikir diri manusia tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia.  Dimulai dari tahun 2020 sampai sekarang pun kerangkeng kehidupan diri yang bernama COVID masih terasa dan menjadi pembatas aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.  Dan ketika sudah agak redapun di penghujung tahun 2022 ini banyak fenomena yang mungkin menjadi perhatian setiap diri manusia.  

Banyaknya kejadian bencana alam yang susul menyusul bahkan sampai sekarang belum reda.  Ibarat sebuah kalimat yang terangkai dalam paragraf yang disusun oleh alam sebagai bentuk pemberontakan atas perilaku diri di dunia ini.  Ketidak terimaan alam semesta atas perlakuan diri manusia selama ini yang bertindak di luar batas dengan dalih mempertahankan eksistensi kehidupannya

Mungkin banyak dari diri kita yang tak sadar dengan banyaknya musibah yang terjadi dan menganggap ini hanyalah sebuah siklus kehidupan manusia yang mengalami pasang surut.  Kadang dalam kondisi tenang dan melihat alam juga bersahabat dalam kebisuan. Ketika kondisi yang demikian dianggap hal yang wajar dan alam tidak akan pernah berbicara dengan untaian kalimat bencana maka hidup dianggap hanyalah sebuah kepentingan diri manusia saja

Kondisi yang dianggap wajar inilah menjadi perilaku diri semakin melampaui batas dalam berkehidupan.  Dengan dalih pembenaran diri namun melupakan tugas utama diri sebagai manusia.  Arah perjalanan yang hanya memaksimalkan mencari bekal materi untuk kehidupan dilanjutkan sehingga orientasi ilmu yang dikembangkan ilmuwan pun sebatas hal tersebut.

Kondisi ini menjadikan diri terseret arus kehidupan yang mungkin dapat dikatakan memiliki arah peta perjalanan yang keliru.  Namun karena diri nyaman dengan lingkungan yang ada maka tidak mungkin terbesit sebuah keinginan untuk mereview dan merevisi peta perjalanan kehidupan diri kita.

Tidaklah mungkin hidup hanya sebatas ini yang diisi dengan kesibukan materi saja. Dan juga tidak mungkin diri kita diciptakan sebagai manusia tidak memiliki tugas yang lebih penting selain bekerja mencari nafkah.  Bahkan peribadatan diri mungkin dilakukan hanya sebatas ritual dan penyampaian keluh kesah kepada Sang Pencipta.

Kesadaran harus dibangun dalam diri kita ketika menghadapi musibah yang terus menerus terjadi.  Mungkin bukan diri kita yang terkena dampak secara langsung.  Namun apa yang diri lihat dan dengar adalah sebuah "bacaan" yang kembali pada pribadi setiap manusia.  Kesadaran akan hal tersebut bahwa bacaan yang ada lewat musibah adalah merupakan sebuah "ayat-ayat Tuhan" dan seharusnya diri menyikapinya dengan bijak.

Tidak hanya ucapan bela sungkawa ataupun bantuan baik moril maupun material, akan tetapi kesadaran bahwa bencana tersebut adalah peringatan diri untuk melanjutkan tugas "baca dan belajar" tentang kehidupan yang benar.  Pemahaman tentang kehidupan yang benar inilah merupakan sifat kritis diri yang muncul dan mengembalikan pengetahuan yang benar agar peta kehidupan diri tak salah arah dalam meneruskan sisa perjalanan yang ada.

Hukum Keseimbangan Alam

Musibah yang terjadi pada hakekatnya adalah akibat dari perilaku diri manusia.  Sadar atau tidak bahwa alam semesta ini diciptakan dengan perhitungan keseimbangan yang rumit oleh Sang Pencipta.  Dan tugas diri setiap manusia adalah mengelola alam semesta ini dengan "baik" dan digunakan sebagai kehidupan di dunia.

Keseimbangan alam apabila terjadi maka akan menjamin kehidupan manusia dan semesta alam dan membentuk sebuah harmonisasi optimal untuk menuju kebahagiaan hidup. Tidak ada yang merasa kurang ataupun dirugikan baik itu manusia maupun alam semesta ini.  Hal itu merupakan "hukum keseimbangan alam" yang diciptakan dan diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap makhluk hidup.

Hukum keseimbangan alam inilah yang merupakan jaminan bekal untuk kehidupan.  Tidak perlu diri harus bersifat "menguasai dan ingin lebih" karena setiap makhluk hidup itu sudah dijamin dan dicukupi dengan aturan main dari hukum tersebut.  Maka ketika ini terjadi akan membuat hidup akan selalu di liputi dengan kedamaian dan kebahagian.  

Diciptakannya diri manusia sebagai pelaku utama untuk menjaga kekekalan dari hukum keseimbangan alam tersebut.  Maka diri diberikan amanah dan tanggungjawab yang lebih agar mampu mengelola alam semesta ini untuk kehidupan.  Dan tidak salah maka diri manusia diciptakan dari tanah sebagai bentuk implementasi tugas suci di dunia dan selalu membumi dalam aktivitasnya.

Kondisi diri manusia yang melaksanakan tugas ini diberikan pangkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lain yaitu sebagai derajat makhluk yang sempurna.  Karena diri memiliki tugas yang berat ini dan dianggap sebagai pemimpin maka tidak salah ketika dalam kehidupan muncul adanya koalisi dan  oposisi.

Koalisi merupakan pihak-pihak yang tunduk dan patuh terhadap diri manusia karena memiliki tujuan sama dalam kehidupan.  Dibawah kepemimpinan diri manusia untuk bersama-sama hidup dalam "peribadatan" karena hidup adalah memiliki pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta.  

Dengan rekan koalisi inilah sebetulnya diri manusia ditugaskan untuk selalu memimpin dalam kehidupan agar selalu menjaga keseimbangan.  Karena dengan keseimbangan maka hidup akan selalu dalam keberuntungan dan jauh dari rasa dirugikan. Maka dibutuhkan kesadaran bahwa hidup diri manusia ini tidak untuk kepentingan sendiri melainkan ada pihak-pihak koalisi yang membutuhkan kehidupan yang penuh dengan keseimbangan.

Sedangkan oposisi adalah merupakan pihak-pihak yang tidak pernah memiliki rasa berterima kasih kepada Sang Pencipta.  Keinginan yang berlebih dari ekspektasi yang diharapkan menjadikan dirinya menjadi oposisi.  Maka tidak heran ketika berada di pihak oposisi tugasnya bukan menyeimbangkan melainkan menjadikan ketidakseimbangan kehidupan.

Tugas oposisi yang dimotori oleh "setan" dan kerabatnya adalah dengan cara melakukan manipulasi dan kegaduhan dalam kehidupan sehingga menjadikan hidup dalam ketidakseimbangan alam.  Hal ini dilakukan dengan cara menipu - menghasut -menfitnah dan bahkan melakukan tipudaya agar usaha menjaga keseimbangan kehidupan tidak terjadi.

Manakala oposisi berhasil melakukan tugasnya maka hukum keseimbangan alam tidak dapat terwujud dalam kehidupan.  Hal ini ditandai dengan banyaknya peran diri manusia yang keliru dan menjadi sama dan kodratnya yaitu membuat kerusakan alam dan saling menumpahkan darah.  Sehingga hidup diri kita adalah ibarat manusia yang saling bunuh membunuh dan membuat penderitaan dalam kehidupannya.

Musibah dan bencana alam yang terjadipun tidak lepas dari keberhasilan opisisi yang melakukan tugasnya di dalam memotivisi kehidupan diri manusia yang tak pernah mengenal potensi dirinya.  Akibatnya dalam hidupnya adalah hidup mengikuti oposisi yang seharusnya kehidupannya di bawah level hakekat manusia yang sesungguhnya.

Musibah Sebagai Kalimat Alam Semesta

Alam semesta hakekatnya adalah makhluk hidup.  Maka sebagai makhluk hidup tidak bedanya dengan diri kita sebagai manusia yang butuh untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya.  Sehingga dalam hidupnya pun butuh juga kedamaian dan kebahagiaan.

Memang diri kita tidak dapat memahami kebahagiaan dan eksistensi kehidupannya.  Namun sebagai makhluk yang ditugaskan oleh Sang Pencipta seharusnya diri tidak bersifat  mementingkan kepentingannya sebagai manusia karena alam semesta adalah rekan koalisi dalam kehidupan.  Melestarikan dan menjaga keseimbangan adalah salah satu sarana diri manusia memberikan jaminan kehidupan agar mereka mampu mencapai kebahagian dan mempertahankan eksistensinya.

Tugas utama diri manusia adalah selalu menjaga keseimbangan alam. Dan  ketika ketidakseimbangan alam tidak terjadi maka sebagai rekan koalisi (alam) pun akan melakukan interupsi.  Bentuk interupsi yang diberikan alam kepada manusia adalah bencana yang berupa gejolak alam dan menimbulkan rasa khawatir ataupun musibah bagi diri manusia.

Karena banyak dari diri kita yang tidak dapat berkomunikasi langsung dengannya maka kejadian dan fenomena alam yang digunakan sebagai bahasanya sebagai isyarat atas kehendak dari alam.  Mungkin tidak banyak yang diinginkan oleh alam dari diri kita sebagai manusia.  Bencana yang ada hakekatnya hanya sekedar mengingatkan diri manusia untuk selalu menjaga keseimbangan agar tidak keliru dalam perjalanan kehidupan di dunia ini.

Banjir dan tanah longsor adalah salah bentuk ketidakseimbangan akibat ulah segelintir diri manusia itu sendiri yang merugikan sesama manusia yang lain.  Gempa dan angin puting beliung merupakan isyarat turunnya tingkat keseimbangan alam semesta.  Maka tugas diri adalah selalu mampu menangkap isyarat dan keinginan dari alam tersebut.  

Tetapi diri kita mungkin sudah menjadi "tuli dan buta" akibat tidak pernah belajar dalam pemahaman isyarat alam maka tidak mampu menangkap isyarat-isyarat yang ada.  Dan ini mengakibatkan diri tetap menganggap bahwa musibah yang terjadi adalah sebuah fenomena yang biasa.

Sebuah "kebodohan" diri kita manakala hal ini terjadi.  Karena setiap musibah pun sebetulnya alam sudah memberikan tanda-tandanya.

(lanjut: Humor Sufi: Potensi Diri (Renungan akhir tahun 2022)  yang akan membahas bahasa tubuh alam sebagai eksistensi menemukan dan mencari potensi diri)

Penutup

Sekedar humor sufi yang tidak ada maksud apa-apa selain sebagai sebuah kajian untuk diri kita.  Tidak ada yang lucu dan pantas ditertawakan dalam tulisan ini.  Dan yang pantas ditertawakan adalah perbedaan alur pikir yang menjadikan perbedaan pemahaman yang dimiliki.

Dijadikannya diri ini tuli dan buta.... Manakala diri tak pernah mau mendengar ajakan dan peringatan
Dijadikannya diri ini dalam kesedihan dan kesusahan.... Manakala diri tak pernah mau menerima keseimbangan
Dijadikannya diri ini dalam kekhawatiran dan kesusahan... Manakala diri tak pernah memahami arah perjalanan
Dijadikannya diri ini dalam kerugian... Manakala diri tak pernah menjalankan ajaranNYA.

Terima kasih

Salam

Magelang, 27/12/2022

KAS 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun