Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Obyektivitas Kebenaran

7 November 2022   00:01 Diperbarui: 7 November 2022   00:00 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fenomena yang terjadi sekarang ini dengan perilaku diri kita dalam memperjuangkan kebenaran atau pembenaran atas aktivitas yang dilakukan.  Perjuangan diri untuk mempertahankan hal tersebut dilakukan dengan upaya yang maksimal agar aktivitas yang dilakukan dianggap sebagai sebuah kebenaran.  Bukan hal yang asing jika kekeliruan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan juga mungkin sebaliknya sebuah kebenaran malah dianggap hal yang salah.

Dan kesadaran diri atas fenomena ini tersadar dengan adanya rutinitas berita yang tersaji dilayar televisi dengan dalih mengawal kebenaran yang sejati.  Dalam sajian berita tersebut setidaknya diri kita melihat ada empat kubu yang berusaha untuk memperjuangkan sebuah nilai kebenaran.  

Kubu pertama adalah diwakili oleh pihak korban yang berupaya untuk menegakkan fakta kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Perjuangan yang dilakukan adalah dengan tujuan memperbaiki nama korban dari naskah drama kehidupan.  Perlawanan yang sementara ini dikatakan sudah mendekati setengah jalan dengan berhasil membongkar "noda" institusi yang kuat.  Namun masih perlu setengah jalan lagi perjuangan yang perlu dilakukan yaitu dengan perlawanan di pengadilan.

Kubu kedua adalah mereka yang selama ini dikatakan sebagai sutradara dari  sandiwara yang memiliki pengaruh kuat dalam informasi dan legalitas power di negara ini.  Kubu ini di babak awal mampu mengendalikan irama dan naskah drama kehidupan.  Namun ternyata nasib berkata lain sehingga berubah menjadi pihak yang mendominasi menjadi pesakitan yang harus dihadapkan di pengadilan. 

Kubu ketiga adalah mereka yang dikatakan sebagai wayang yang hanya sekedar melakonkan tokoh yang diembannya.  Namun karena diri mereka adalah wayang yang memiliki jiwa maka tidak mungkin akan selalu menurut skenario yang dirasa akan menjerumuskan perjalanan kehidupannya.  Maka mungkin akan terjadi pemberontakan dan mungkin akan berbelok dari skenario yang ada walaupun dengan taruhan nyawa.

Kubu keempat adalah pihak yang selama ini dianggap sebagai pemutus kebenaran.  Pihak ini ibarat sebagai sebuah juri yang keputusannya adalah sangat menentukan derajat kebenaran yang asli atau manipulasi.  Sebagai pihak yang sangat berat tanggung jawabnya terlebih fenomena ini menjadi santapan harian diri kita semua maka obyektivitas dan netralitas serta kecerdasan dalam pengambilan keputusan sangat ditunggu. 

Walaupun tidak diragunakan lagi atas keprofesionalan dari kubu keempat ini namun mereka pun manusia yang mungkin juga bisa terseret skenario ataupun memiliki motivasi lain disamping tugas utama yang selalu dijunjung yaitu nilai obyektivitas.   Maka tidak heran jika sekarang mungkin terjadi pergeseran tentang makna dari obyektivitas sebuah kebenaran.  

Muncul dalam kesadaran dalam diri penulis untuk mengulas tentang obyektivitas kebenaran yang hakiki.  Sehingga muncul pertanyaan mengapa terjadi hal yang demikian dan kemudian diteruskan dimana sebetulnya makna dari sebuah kebenaran yang hakiki sesungguhnya itu.

Makna Obyektivitas 

Realita di lapangan sekarang ini diri kita mungkin dalam keseharian sering mengucapkan kata obyektif. Pengucapkan kata obyektif tersebut hanya sekedar melihat bahwa hal yang dimaksud adalah secara obyek sesuai dengan kondisi atau fakta yang ada.  Ketika diri mengatakan hal tersebut maka mungkin hanya dipengaruhi oleh kondisi dan pemahaman yang real di lapangan dan itu semua adalah hal yang berterima umum.  Hal ini mengakibatkan bahwa obyektif adalah terbentuk dari sebuah realita kondisi dan tidak melihat kebenaran yang sesungguhnya.

Pembiasan makna dari obyektivitas ini mengakibatkan nilai sebuah kebenaran pun hanya didasarkan atas pemahaman yang dimiliki sehingga kebenaran adalah hal yang umum dan dianggap wajar. Ibarat sebagai sebuah pemungutan suara maka kebenaran yang obyektif adalah tergantung suara terbanyak pada suatu kondisi.  Dan suara terbanyak itu baik benar atau salah akan menjustifikasi kebenaran yang terjadi.  

Pemahaman yang demikian karena didasarkan pada alur berpikir atau pemaknaan filosofi yang dimiliki dengan mengartikan bahwa obyektifitas kebenaran merupakan kenyaataan yang obyektif berdasarkan pengetahuan yang umum.  Pemahaman ini dianggap sebagai sebuah kebenaran dan dimulai di gunakan sejak berkembangannya ilmu pengetahuan modern. 

Dalam kondisi ini menyebabkan pengetahuan ini obyektifivitas disebabkan secara fisik dapat dibuktikan dan secara logika dapat diterima umum.  Pemahaman obyektivitas yang demikian berkembang diakibatkan logika pikir diri manusia tidak seimbang akibat faham materialisme (wujudiyah) mendominasi pemikiran para ilmuwan.  Akibatnya diri kita melupakan unsur non materialis (batiniah) dalam setiap aspek kehidupan dan akan sulit membuktikan kebenaran hakiki jika yang benar tersebut tidak mendapatkan dukungan.

Maka mungkin peristiwa yang terjadi di persidangan bisa memutuskan sebuah kekeliruan dalam mensikapi sebuah peristiwa. Kemungkinan drama kesalahan yang merugikan orang lain bisa merupakan kebenaran akibat alur pikir dari pemaknaan obyektivitas kebenaran seperti itu.  Dan kebenaran akan jauh diraihnya akibat tidak dapat menemukan fakta dari kondisi yang terjadi.  Hal ini pada hekekatnya sebuah langkah keliru karena kebenaran masih dipengaruhi oleh orang lain dan pengetahuan yang dimiliki.

Obyektivitas kebenaran

Secara arti bahwa obyektifitas adalah sikap jujur dan netral yang tidak dipengaruhi oleh pendapat orang lain dalam pengambilan keputusan atau tindakan. Makna ini bermaksud bahwa obyektif adalah kacamata kebenaran yang hakiki karena kebenaran adalah sebuah suratan yang semuanya bersifat alamiah.  Artinya bahwa kebenaran adalah tidak lepas dari keseimbangan kehidupan dan sumber kebenaran adalah dari pengetahuan Sang Pencipta yang diberikan kepada manusia.

Obyektivitas kebenaran bukan memposisikan mencari kebenaran atau menjadikan obyek dalam setiap aktivitas.  Karena jika diri kita menempatkan kebenaran sebagai tujuan akhir dalam setiap tindakan maka subyek (manusia) dapat dimanipulasinya. Orientasi tindakan bukan untuk mencari kebenaran melainkan melakukan untuk sebuah hal yang benar.  Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya obyektivitas kebenaran berkaitan dengan keputusan tindakan yang dihubungkan dengan ketenangan jiwa.

Kebenaran atas tindakan yang diambil selalu berdampak pada jiwa diri kita.  Ketika kebenaran hanyalah untuk membela diri agar tidak dipersalahkan maka memiliki pengaruh pada ketenangan diri.  Jiwa pasti akan berontak akibat tindakan tersebut. Maka pasti dalam hati akan merasa bersalah dan mungkin selalu menyesal melakukan yang dilakukan.

Ketika diri melakukan "kebenaran" yang sebetulnya sebuah kekeliruan dan tidak memiliki rasa penyesalan berarti diri masih memiliki hati yang berselimut.  Hati masih berselimut ini menunjukkan bahwa kehidupan diri masih belum pada rel kehidupan yang sesungguhnya dan  posisinya masih selalu bersentuhan aturan atau standar kehidupan.  Sebuah kerugian ketika dalam hidup kita tak pernah mencapai titik kebersihan hati.

Kebersihan hati kita adalah obyek yang harus dicari dalam kehidupan ini.  Ketika hati sudah menjadi bersih otomatis apapun tindakan adalah didasari atas dorongan yang muncul dari hati.  Tidak ada perbuatan atau tindakan yang kotor dan keliru ketika diri melakukan melakukan aktivitas dan tindakan sehingga apapun yang dilakukan adalah sebuah kebenaran absolut.  Walaupun kebenaran yang demikian di mata diri manusia lain dianggap sebuah kekeliruan.

Sebagai contoh misalkan ada pengendara mobil yang sengaja menabrak ayam yang sedang makan ditengah jalan hingga mati.  Biasa nya supir mencari alasan atau mengarang cerita agar dirinya tidak disalahkan atas aktivitas yang dilakukan.  Maka skenario pun dibuat dan mengkondisikan semuanya agar kebenaran dapat diterima. 

Namun sebetulnya pemilik ayam paham bahwa ayam itu mati bukan karena kesalahannya melainkan karena kesengajaan supir mobil tersebut.  Karena dirinya hanya menerima ayam tersebut dan tidak melihat kejadian maka untuk membuktikan kebenaran dan melawan skenario supir sangatlah sulit.

Pemilik ayam pun minta tolong ke pengadil untuk memutuskan apakah ayamnya dibunuh atau memang mati karena kesalahan ayam makan ditengah jalan. Berat memang bagi si pengadil untuk memutuskan secara obyektif masalah tersebut karena dirinya hanya mendengar dari cerita dan bukti-bukti yang sudah di manipulasi oleh supir.  Dan alhasil si supir memenangkan dan dianggap dirinya tidak salah oleh pengadil.

Kondisi supir yang mencari kebenaran yang demikian mungkin dapat diterima oleh masyarakat karena  dapat meyakinkan pengadil dengan skenario yang dibuat dan saksi-saksi yang di bayar untuk menguatkan keterangannya.  Namun sebetulnya supir akan merasakan jiwa yang tidak tenang walaupun masalah nya selesai dan dirinya dalam "kebenaran".

Ketika kekeliruan dianggap benar dan supir tidak merasa bersalah karena dalam dirinya tidak merasakan jiwa yang memberontak. maka inilah sebetulnya contoh dari diri kita yang tidak memiliki hati yang bersih (hati masih berselimut).  Dan realita dalam kehidupan sekarang kondisi diri yang demikian banyak dan tidak pernah memiliki keinginan untuk menuju hati yang bersih.  Bahkan masalah hati yang bersih mungkin adalah hal yang langka dan terlupakan oleh diri kita.

Maka tidak salah jika sebetulnya makna dari obyektivitas kebenaran tidaklah seperti yang sekarang ini ada dalam gambaran diri kita.  Karena makna obyektivitas kebenaran jauh lebih dalam artinya, karena harus dimulai dari pencarian hati yang bersih.  Tugas diri manusia haruslah mencapai titik kebersihan hati agar dalam kehidupan terjadi sebuah kondisi yang ekuilibrium.

Penutup

Sebuah humor yang sekedar mengingatkan makna dari hakekat obyektivitas kebenaran yang harus dicari dalam kehidupan diri manusia.  Mungkin berbeda gambaran tentang hal ini dengan para pembaca yang diakibatkan oleh alur pikir yang mungkin berbeda.  Hanya sekedar humor tidak ada yang lucu dalam tulisan dan mungkin yang pantas ditertawakan adalah perbedaan pendapat dengan asumsi yang dimiliki oleh pembaca.

"Hati ibarat as dalam sebuah roda, Ketika hati berkarat maka rodapun tak akan dapat berjalan dengan baik, Demikian juga dengan hati diri manusia, Ibarat as untuk kerja dari indra manusia."

Magelang, 6/11/2022

Salam 

KAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun