Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Obyektivitas Kebenaran

7 November 2022   00:01 Diperbarui: 7 November 2022   00:00 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pemahaman yang demikian karena didasarkan pada alur berpikir atau pemaknaan filosofi yang dimiliki dengan mengartikan bahwa obyektifitas kebenaran merupakan kenyaataan yang obyektif berdasarkan pengetahuan yang umum.  Pemahaman ini dianggap sebagai sebuah kebenaran dan dimulai di gunakan sejak berkembangannya ilmu pengetahuan modern. 

Dalam kondisi ini menyebabkan pengetahuan ini obyektifivitas disebabkan secara fisik dapat dibuktikan dan secara logika dapat diterima umum.  Pemahaman obyektivitas yang demikian berkembang diakibatkan logika pikir diri manusia tidak seimbang akibat faham materialisme (wujudiyah) mendominasi pemikiran para ilmuwan.  Akibatnya diri kita melupakan unsur non materialis (batiniah) dalam setiap aspek kehidupan dan akan sulit membuktikan kebenaran hakiki jika yang benar tersebut tidak mendapatkan dukungan.

Maka mungkin peristiwa yang terjadi di persidangan bisa memutuskan sebuah kekeliruan dalam mensikapi sebuah peristiwa. Kemungkinan drama kesalahan yang merugikan orang lain bisa merupakan kebenaran akibat alur pikir dari pemaknaan obyektivitas kebenaran seperti itu.  Dan kebenaran akan jauh diraihnya akibat tidak dapat menemukan fakta dari kondisi yang terjadi.  Hal ini pada hekekatnya sebuah langkah keliru karena kebenaran masih dipengaruhi oleh orang lain dan pengetahuan yang dimiliki.

Obyektivitas kebenaran

Secara arti bahwa obyektifitas adalah sikap jujur dan netral yang tidak dipengaruhi oleh pendapat orang lain dalam pengambilan keputusan atau tindakan. Makna ini bermaksud bahwa obyektif adalah kacamata kebenaran yang hakiki karena kebenaran adalah sebuah suratan yang semuanya bersifat alamiah.  Artinya bahwa kebenaran adalah tidak lepas dari keseimbangan kehidupan dan sumber kebenaran adalah dari pengetahuan Sang Pencipta yang diberikan kepada manusia.

Obyektivitas kebenaran bukan memposisikan mencari kebenaran atau menjadikan obyek dalam setiap aktivitas.  Karena jika diri kita menempatkan kebenaran sebagai tujuan akhir dalam setiap tindakan maka subyek (manusia) dapat dimanipulasinya. Orientasi tindakan bukan untuk mencari kebenaran melainkan melakukan untuk sebuah hal yang benar.  Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya obyektivitas kebenaran berkaitan dengan keputusan tindakan yang dihubungkan dengan ketenangan jiwa.

Kebenaran atas tindakan yang diambil selalu berdampak pada jiwa diri kita.  Ketika kebenaran hanyalah untuk membela diri agar tidak dipersalahkan maka memiliki pengaruh pada ketenangan diri.  Jiwa pasti akan berontak akibat tindakan tersebut. Maka pasti dalam hati akan merasa bersalah dan mungkin selalu menyesal melakukan yang dilakukan.

Ketika diri melakukan "kebenaran" yang sebetulnya sebuah kekeliruan dan tidak memiliki rasa penyesalan berarti diri masih memiliki hati yang berselimut.  Hati masih berselimut ini menunjukkan bahwa kehidupan diri masih belum pada rel kehidupan yang sesungguhnya dan  posisinya masih selalu bersentuhan aturan atau standar kehidupan.  Sebuah kerugian ketika dalam hidup kita tak pernah mencapai titik kebersihan hati.

Kebersihan hati kita adalah obyek yang harus dicari dalam kehidupan ini.  Ketika hati sudah menjadi bersih otomatis apapun tindakan adalah didasari atas dorongan yang muncul dari hati.  Tidak ada perbuatan atau tindakan yang kotor dan keliru ketika diri melakukan melakukan aktivitas dan tindakan sehingga apapun yang dilakukan adalah sebuah kebenaran absolut.  Walaupun kebenaran yang demikian di mata diri manusia lain dianggap sebuah kekeliruan.

Sebagai contoh misalkan ada pengendara mobil yang sengaja menabrak ayam yang sedang makan ditengah jalan hingga mati.  Biasa nya supir mencari alasan atau mengarang cerita agar dirinya tidak disalahkan atas aktivitas yang dilakukan.  Maka skenario pun dibuat dan mengkondisikan semuanya agar kebenaran dapat diterima. 

Namun sebetulnya pemilik ayam paham bahwa ayam itu mati bukan karena kesalahannya melainkan karena kesengajaan supir mobil tersebut.  Karena dirinya hanya menerima ayam tersebut dan tidak melihat kejadian maka untuk membuktikan kebenaran dan melawan skenario supir sangatlah sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun