Kewajiban diri manusia dalam kehidupan di dunia ini adalah wajib memiliki ilmu.  Karena ilmu merupakan pegangan dasar diri dalam menjalani perjalanan sebagai lelaku manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.  Pegangan dasar ini ibarat sebagai sebuah lentera  yang mampu menerangi diri dalam memilih peta perjalanan agar dapat menentukan arah perjalanan yang benar.
Realita di lingkungan kehidupan sekarang ini banyak diri manusia yang memiliki ilmu yang tinggi, bahkan dikatakan tamat dalam pendidikan baik formal maupun non formal seharusnya dapat mempengaruhi perilaku pribadi yang positif kepada diri manusia yang lain. Dan ternyata bukan lampu penerangan kehidupan yang di dapat dan digunakan juga untuk menerangi saudaranya malah kebalikannya.
Misalnya seorang pejabat yang dianggap memiliki ilmu seharusnya mementingkan kepentingan masyarakat malah lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Â Dan juga seorang guru yang seharusnya "digugu dan ditiru" dalam hal kebaikan malah bukan contoh yang baik diberikan kepada diri manusia yang lain. Â
Namun hal itu bukan hal yang dapat digeneralisasi untuk semua pejabat ataupun guru karena hanya oknum-oknum yang ada.  Tetapi fenomena ini bisa terjadi dan mungkin tak terpikirkan serta dianggap hal yang biasa  akibat pemahaman yang kurang tepat atau sebuah deviasi pemahaman yang kurang sempurna dari sebuah kepemilikan ilmu karena semakin tinggi harusnya simetris dengan perilaku kehidupan yang baik. Â
Simetrisnya hubungan ilmu dan perilaku merupakan sebuah  tugas diri manusia dalam mencari/menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan yang dijalani sekarang maupun untuk masa depan.  Namun contoh-contoh tersebut di atas banyak terjadi bahkan sekarang ini banyak ilmu yang "dijual belikan" untuk kepentingan mengejar popularitas dan materi kehidupan di dunia.  Ketika hal ini terjadi maka perlu di renungkan kembali tentang kepemilikan ilmu yang sekarang kita miliki ini. Â
Apakah simetris ilmu yang diri miliki dengan perilaku kita? Ataukah ilmu yang diri miliki malah menjadikan hati dan mata menjadi gelap karena kesibukan dalam mencari/mempertahankan jabatan dan popularitas?
Perenungan atas hal tersebut perlu dilakukan di sela-sela kesibukan diri dalam mempertahankan hidup yang serba sulit sekarang ini.  Pencarian atas akar permasalahan yang terjadi  antara "derajat" kepemilikan ilmu dengan perilaku diri yang tidak simetris dalam kehidupan menjadikan masalah baru dan menjadikan diri semakin "terjebak" dengan pola kehidupan. Â
Hal ini mengakibatkan semakin tua bukan diri menjadi orang yang "menerima" realita malah menjadikan diri orang yang menerjang realita yang seharusnya dilakukan sebagai makhluk yang sempurna.
Ketika diri tidak merasa bahwa hidup jauh dari "tugas" akibat diri terlalu sibuk dengan aplikasi ilmu yang ada sekarang, maka mungkin akan dianggap produk gagal oleh Sang Pemberi Tugas. Â Kesadaran tentang hal ini dibutuhkan agar dapat memahami pengetahuan yang benar untuk menjalani perjalanan diri sebagai seorang musafir dalam kehidupan di dunia ini. Â Dan hal ini bukan berarti menyalahkan ilmu yang ada sekarang namun sekedar menambah dasar pijakan berpikir agar diri dapat menemukan lentera kehidupan yang baru.Â
Ilmu yang baik
Diri kita sekarang ini mungkin disibukkan dengan bekerja keras dari pagi sampai pagi dengan kesibukan mencari materi agar mendapatkan  kasih sayang ataupun popularitas dan kebahagian.  Namun ternyata tidak semua dapat dicapai malah mungkin akan hilang rasa kasih sayang dan jauh dari nilai kebahagiaan. Â
Padahal kesibukan itu semua adalah sebuah lelakon dalam mencari dan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan ternyata nilai-nilai yang dicari tidak didapat atau bahkan mungkin kehilangan nilai-nilai tersebut.
Kehilangan sebuah barang pastilah akan dicari dengan seksama dan teliti. Â Namun ketika diri dalam menjalani kehidupan tidak merasa kehilangan nilai-nilai yang dicari maka mungkin termasuk orang-orang yang keliru dalam kehidupan. Â Nilai-nilai yang hilang bukanlah dicari dengan pelampiasan dengan berbagai macam cara, tetapi dengan cara mencari akar permasalahan tentang kehidupan yang dijalani.
Hilangan nilai-nilai yang selama ini dicari tersebut ibarat kehilangan hakekat makna diri sebagai manusia yang sesungguhnya. Â Kehilangan makna diri maka ibarat diri kehilangan atau salah jalan dalam menempuh perjalanan kehidupan di dunia ini. Â Hal ini diakibatkan diri "keliru" dalam memahami hakekat hidup dan kehidupan sebagai tugas yang diemban sebagai manusia. Â Sebuah ironi jika diri tak menyadari hal ini?
Ketidaksadaran ini mungkin memang diri kita tak pernah tersentuh oleh pengetahuan yang mengajari tentang kehidupan yang benar. Hal ini diakibatkan adanya dikotomi atau pembedaan dalam pemahaman atau pengetahuan ilmu tentang hidup di dunia dan masa depan adalah hal yang berbeda.Â
Sehingga mengakibatkan diri terpenjara pada kehidupan yang sekarang yang dijalani yaitu kehidupan di dunia saja, karena banyak yang berpikir bahwa kehidupan masa depan adalah hal yang khusus dan bukan merupakan sesuatu yang komprehensip dengan ilmu dunia.
Ketika hal ini terjadi maka akibatnya adalah jauh dari keseimbangan kehidupan yang dijalani dalam hidup ini. Â Jauhnya dari keseimbangan ini mengakibatkan semakin terperosok jatuh dan menjauhi titik keseimbangan. Â Butuh kesadaran dan mencari pemahaman benar untuk mencari keseimbangan tersebut karena tugas yang berat menjalaninya.Â
Pencarian tentang pemahaman yang benar harus dikembalikan kepada Buku Pedoman kehidupan manusia. Â Buku tersebut merupakan standar baku dan arah perjalanan yang harus dijalani oleh setiap diri manusia. Â
Dan jaminan dari Sang Pencipta bahwa dengan buku tersebut maka akan mempermudah diri dalam menjalani kehidupan karena dengan memahaminya akan memunculkan nilai dan keyakinan serta kecukupan tentang kebutuhan kehidupan manusia.
Pemahaman atau pengetahuan yang benar bukan merupakan ilmu yang berbeda antara ilmu untuk kehidupan di dunia maupaun ilmu untuk kehidupan di masa depan. Â Pemahaman ini adalah merupakan implementasi dari dua kehidupan (dunia dan akhirat) dalam satu ilmu yang teraplikasikan dalam ilmu yang digunakan di dunia. Â
Ilmu yang komprehensip ini dapat digunakan dalam segala aspek ilmu yang sekarang ini kita kenal. Â Karena semua yang aktivitas diri dan alam semesta sudah digambarkan secara jelas dan memiliki rotasi (tugas) masing masing. Â Pemahaman seperti inilah pemahaman yang didasarkan atas ilmu keseimbangan.
Manakala keseimbangan ini tidak digunakan sebagai dasar filosofi dalam mengembangkan ilmu maka pasti yang terjadi adalah kerusakan alam semesta dan saling menumpahkan darah antar sesama manusia. Â Hal ini dapat dilihat dari fenomena yang terjadi sekarang ini bagaimana ilmu-ilmu yang ada adalah dengan tujuan untuk eksploitasi alam semesta dan pengembangan alat untuk berkuasa atau menguasai manusia lain/alam semesta.
Tidak ada larangan dari Sang Pencipta untuk mengeksplore alam semesta demi kepentingan hidup manusia. Â Namun usaha yang dilakukan adalah dengan kembali pada "fitrah" diri sebagai manusia yang sejalan dengan kodrat ditugaskan manusia di muka bumi ini. Â Pengembangan ilmu wajib dilakukan oleh setiap diri manusia, akan tetapi ilmu yang dikembangkan adalah ilmu keseimbangan kehidupan.
Ilmu keseimbangan kehidupan adalah filosofi keilmuwan yang mudah sebetulnya untuk dikembangkan setiap diri manusia. Â Namun ilmu ini butuh perjuangan yang berat untuk menjalaninya. Â Pemahaman tentang ilmu keseimbangan kehidupan akan dapat diperoleh melalui beberapa tahapan.Â
Tahap pertama adalah mengenali diri manusia. Mengenali diri sendiri artinya diri kenal dengan "awak" yang ada dalam badan iii.  Awak badan dimulai dari mengenal akan anatomi fisik (jasadiyah) dan non fisik (ruhiyah).  Jasadiyah adalah merupakan pemberian dari Sang Pencipta yang digunakan untuk gerak dan langkah dalam kehidupan. Â
Sedangkan non fisik manusia dimulai dari mengenal indra hakiki manusia (pikir-rasa-keingingan) yang merupakan alat pemroses atau "kerja" yang baik dalam memutuskan setiap niat dan aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan ini.  Dan unsur non fisik inilah sebetulnya  (indra hakiki)  sebetulnya "awak" sesungguhnya yang menggerakkan tubuh manusia.
Tahap kedua adalah Mencari konektivitas kesempurnaan. Konektivitas kesempurnaan manusia dapat dicari ketika diri mampu mengelola diri secara benar.  Pengelolaan yang benar ibarat diri mampu menyeimbangkan semua aspek yang ada dalam diri baik secara fisik maupun non fisik. Â
Ketika hal ini dapat terjadi ibarat diri mulai menempuh perjalanan vertikal untuk mencari konektivitas yang merupakan karunia dari sang Pencipta dan sebuah pembeda yang mengangkat derajat diri manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat tertinggi. Â Konektivitas inilah yang disebut dengan akal manusia.
Tahap ketiga adalah Membaca Ilmu dengan Benar. Membaca ilmu dengan benar adalah sebuah bentuk cara menemukan pemahaman yang komprehensip karena selalu berdasarkan pada unsur horizontal dan vertikal.  Ilmu yang benar ini adalah merupakan ajaran kehidupan manusia yang digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan pengetahuan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Â
Membaca dengan benar dapat dilakukan ketika diri memiliki pemahaman dan kesadaran untuk memahami apa yang akan dibaca. Â Jadi membaca dengan benar bukan sekedar membaca atau menghafal namun mampu memaknai setiap unsur yang ada dalam bacaan yang seharusnya menjadi sumber bacaan untuk kehidupan.
Ketiga tahapan tersebut adalah langkah yang harus dijalani oleh setiap diri manusia agar mampu selamat dalam perjalanan kehidupan di dunia ini. Â Keselamatan perjalanan akan menjadikan diri selalu tenang dan tidak mudah putus asa dalam langkah kehidupan yang djalani. Â
Karena hal ini akan menjadikan diri selalu menerima apapun yang digariskan dan garis tersebut adalah merupakan garis-garis kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya.
Penutup
Tulisan ini hanyalah sekedar humor sufi. Â Tidak ada yang lucu dalam tulisan ini yang pantas untuk ditertawakan. Â Namun ketika ada perbedaan dalam pemahaman inilah yang mungkin pantas untuk ditertawakan.
Mataku bisa melihat orang lain... Namun mataku tidak bisa melihat diriku sendiri.. Mungkin kejelekan orang lain dapat aku lihat .. Namun kejelekanku tidak aku sadari dan tampak...
Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini... agar senantiasa dapat memperbaiki diri... agar senantiasa selalu menjadi manusia yang tahu tujuan hidupnya.
(KAS, 16/6/2021)
Terima kasih
Magelang, 7/6/2022
Salam
KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H