Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Aku Ingin Sehat?

20 Februari 2022   22:27 Diperbarui: 20 Februari 2022   22:31 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah potongan cerita mengawali dalam pembahasan tulisan ini.  "Diceritakan ada dua orang pengemis yang datang ke rumah seseorang.  Pengemis itu adalah yang satu sangat dicintai dan yang satu sangat dibenci oleh tuan rumah.  Ketika yang datang adalah pengemis yang dibenci maka tuan rumah akan dengan segera memberi sisa-sisa roti yang ada agar segera pergi dari rumahnya.  Namun ketika yang datang adalah pengemis yang dicintai maka tuan rumah akan meminta pengemis untuk menunggunya karena rotinya belum matang dan meminta untuk sabar menunggu agar mendapatkan roti yang baik dan enak".

Cerita tersebut memberikan sebuah respon kondisi bagaimana diri menghadapi sebuah fenomena yang dianggap sebagai sebuah hal yang baik (dicintai) atau hal yang kurang baik (dibenci).  Perbedaan sikap atau perilaku diri dalam menghadapi hal yang sama akan nampak dan memiliki makna yang berbeda yang mensikapi dan mengambil pelajaran atas hal yang dihadapi.  Demikian juga ketika diri menghadapi kondisi sakit sebagai sesuatu yang dibenci atau sesuatu yang dicintai.  

Kondisi sekarang ini baru ditengah pandemi Corona yang menyebabkan stagnasi kehidupan manusia.  Corana bagaikan "penjara" semua aktivitas kehidupan yang mengedepankan kebebasan dalam hidupnya.  Hal ini terjadi ketika diri kita hanya sekedar mengikuti apa yang "dilihat" dan "didengarkan" dari informasi yang ada.  Dan informasi inilah yang menjadikan batas-batas atau aturan-aturan yang menjadikan diri memiliki penjara dalam kehidupan bahkan sampai pada "ketakutan" yang melebihi nilai ketakutan yang sebetulnya.

Ketika ini menjadi pemahaman diri kita maka tidak heran cuma berharap agar diri selalu disehatkan dan terlepas dari masa pandemi ini tanpa memiliki makna dan manfaat  yang dapat diambil untuk bekal dalam kehidupan mendatang.  Maka hal yang dilakukan adalah usaha-usaha jasadiyah (material) dikorbankan.  

Disisi lain ada beberapa pihak yang menjadikan pandemi ini sebagai bahan untuk memperbaiki kualitas hidupnya dengan mencari resep "sehat" yang sesungguhnya.  Resep sehat ini merupakan sebuah bentuk pensikapan diri manusia dalam "melihat" dan "mendengar" atas peristiwa yang dijalani sekarang ini.     "Melihat" dan "mendengarkan" adalah bentuk introspeksi diri bukan secara jasadiyah (fisik) manusia namun merupakan bentuk mencari  makna yang dalam atas peristiwa yang menimpa manusia.  

Pencarian makna ini adalah menemukan hikmah mendalam atas fenomena yang sedang terjadi dengan melakukan pandangan dan pendengaran hakiki diri sebagai manusia.  Pandangan dan pendengaran hakiki akan dapat tercapai jika diri mampu melepaskan batasan sifat-sifat buruk dan baik dari  informasi yang diterima selama ini.  Bentuk pelepasan diri ini bukan berarti melepas semua infomasi yang sudah ada melainkan meng"off"kan informasi tersebut dengan usaha mencari informasi yang berasal dari sifat-sifat asli (pemahaman) yang berasal dari fitrah diri sebagai manusia.

Makna Sehat

Sehat merupakan barang mahal sekarang ini karena usaha manusia yang berpikir bahwa sehat adalah sesuatu yang harus dibiayai dengan materi.  Ketika keterbatasan diri hanya melihat sehat adalah bentuk fisik (jasadiyah) manusia maka hal ini akan dilakukan.  Namun realita bahwa aktivitas materi/fisik ini dilakukan tidak mampu menemukan kondisi sehat yang dicarinya.

Upaya diri sebagai manusia agar selalu sehat selalu terpenjara oleh pemahaman yang selama ini sudah menjadi pengetahuan yang bersifat general.  Sehingga upaya yang dilakukannya pun hanya sebatas bagaimana diri dapat tampil dengan bugar dalam menjalani sebuah aktivitas kehidupan ini.  Ketika ini terjadi dan kemudian ditanyakan pada diri kita sendiri apakah ini yang dikatakan sehat?  Karena banyak orang yang bugarpun sebetulnya tidak dalam kondisi yang sehat.

Ketika ditanyakan kepada seorang yang sakit, "Apakah yang kamu ingingkan sekarang ini?" Pasti mereka menjawab ingin sehat kembali agar diri bisa beraktivitas kembali seperti semula.  Namun ketika ditanya kembali, "Bagaimana bentuk dari kesehatan itu agar aku dapat memberimu kesehatan?"  Pasti akan dijawab bahwa sehat itu tidak memiliki bentuk  dan sehat tidak memiliki cara.  Cara cara seperti olah raga, diet, makan makanan yang sehat juga belum tentu membawa diri kita bisa menjadi sehat.  Jika demikian jadi apa itu sehat?.

Ketika diri tidak dapat memahami arti dari sehat itu sendiri maka diri harus kembali pada alur pemikiran diri sebagai seorang manusia.  Karena ketika kembali pada pemikiran atau pengetahuan yang sebenarnya maka di situlah akan menemukan makna dari sehat untuk seorang manusia.  Pengetahuan dan pemahaman yang selama ini sudah menjadi penjara dari pemahaman sehat ternyata tidak mampu mendefinisikan bentuk sehat itu sendiri.

Ketika bentuk sehat tidak dapat terdefinisikan maka otomatis diri tidak mampu mengambil makna dari kata tersebut.   Karena melalui bentuk inilah manusia mampu baca dan belajar tentang pemahaman yang akan bermanfaat untuk kehidupan di dunia ini.  Hal ini senada dengan sebuah pernyataan "lihatlah langit dan bumi, melalui dua hal itu manusia mampu mengambil manfaat darinya yang sesuai dengan kadar penglihatan dan pendengarannya".

Sebuah pelajaran yang mengajak diri agar mampu menemukan makna sehat ditengah kondisi pandemi ini.  Kesehatan akan terjadi jika diri mampu kembali pada alur pemahaman yang sebenarnya bukan sekedar informasi pemahaman dari kebohongan mata dan telinga diri kita selama ini yang sudah menjadi penjara bagi pemahaman diri kita.  

  

Kembali Menjadi Diri Manusia

Kehidupan sekarang ini jika diri kita menyadari pasti banyak berafiliasi pada wujud keduniaan yang bersifat meterial/jasadiyah, dan  pasti akan sangat mempengaruhi pemahaman makna dan diri manusia sehari hari.  Hal ini mengakibatkan esensi diri sebagai manusia semakin berkurang bahkan berubah dan lepas dari fitrah diri sebagai manusia.  Dan ketika ini terjadi maka tidak salah jika diri sekarang ini bukan berposisi sebagai manusia namun bisa sebagai serigala.

Serigala yang digambarkan sebagai hewan buas yang suka berkelompok dalam memangsa buruan (menyendiri karena bekerja bersifat untuk kepentingan pribadi) tak jauh dengan pribadi diri kita sekarang ini.   Diri kita yang sudah berubah fungsi dari manusia yang sempurna dan tertinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain berubah menjadi sesuatu yang rendah derajatnya.  Penggambaran ini menunjukkan peran diri sebagai manusia telah hilang sehingga hidupnya pun jauh dari keseimbangan hidup sebagai manusia yang sejati.

Dan perubahan hakekat ini tidak hanya seperti serigala melainkan bisa digambarkan dengan hewan-hewan yang lain.  Apakah selama ini diri tidak pernah berpikir sampai demikian dalam kehidupan sekarang ini?  Maka tidak salah ketika ada sebuah fenomena yang "mengingatkan" untuk mengajak berpikir tentang kondisi kehidupan sekarang.  Karena ketika diri memiliki kesadaran bahwa perubahan ini mengakibatkan esensi diri sebagai manusia sudah lepas dan tergantikan oleh yang lain.

Esensi diri sebagai manusia yang lepas ini mengakibatkan lepas dari teori keseimbangan kehidupan.  Tugas diri sebagai manusia dilupakan karena ekstisten hewan yang telah menggantikan perilaku dalam diri kita.  Memang secara bukti (material/jasadiyah) diri kita masih dalam bentuk manusia  dan secara pemahaman bentuk inilah bukti yang kuat dalam pengetahuan modern.  Namun realita perilaku diri kita sudah menyimpang dari hakekat sebagai manusia.  Hal ini diperkuat dengan pernyataan "Keluarlah dari sarang serigala itu! karena penghuninya merasa tidak nyaman dengan kedatanganmu ke rumahnya".  Sebuah nasehat yang banyak dilupakan diri kita sebagai manusia bahwa hidup kita sekarang ini ibarat rumah sudah tidak dihuni oleh penghuninya.  

Kesadaran memang dibutuhkan untuk menyadari hal ini, namun tidak jarang karena "kebutaan" mata dan "tuli" pendengaran diri kita akibat dari penjara indahnya pemahaman yang ada sekarang ini.  Pemahaman yang ibaratnya sudah menggantikan peran Tuhan dan menjadikan diri sebagai tuhan mengakibatkan diri terperosok dalam kehidupan di dunia ini.  

Kesadaran untuk menjadikan diri memiliki pemahaman yang benar akan mampu menjadikan diri tetap sehat dan hidup yang tangguh dalam kondisi pandemi covid corona ini.  Bukan berarti bahwa pemahaman yang selama ini kita anggap benar itu salah namun belajar untuk lebih mengoptimalkan mata dan telinga diperlukan agar diri memiliki pemahaman yang sesuai dengan yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Tulisan ini hanya sekedar humor sufi yang memberikan pemahaman tentang bentuk sehat pada diri manusia agar diri mampu hidup dalam keseimbangan kehidupan.

"Sekalipun orang mampu melihat seribu cahaya, Namun tak kan ada cahaya itu yang dapat turun kepadanya... Kecuali dirinya menyiapkan rumah untuk cahaya tersebut... Rumah cahaya itu adalah hati yang bersih"

Magelang, 20/2/2022

Salam

KAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun