Hal ini dikarenakan petani sudah berlaku diluar batas diri sebagai manusia karena mengorbankan burung, kesuburan tanah bahkan hewan-hewan yang lain yang hidup di areal persawahan tersebut. Â Ketidak sadaran diri petani bekerja hanya untuk kepentingan diri agar mendapatkan prestasi (dengan panen yang bagus) namun melupakan hakekatnya sebagai penjaga atau pemelihara alam.
Di satu sisi pembelajaran dari diri burung. Â Sebagai profesi yang hidupnya makan biji-bijian karena dirinya tidak bisa menanam maka otomatis berpikir bahwa alam yang menyediakan. Â Dirinya tidak pernah memiliki rasa kuatir dalam kehidupannya maka mencari makan hanya sekedar bisa mencukupi kebutuhan sehari itu. Â Ketika burung melihat biji padi yang merupakan makanan yang disukainya terhampar luas di persawahan maka otomatis akan mampir dan mencari makanan yang cukup untuk kebutuhannya.
Burung tidak akan pernah berpikir untuk menabung atau membawa persediaan agar dirinya bisa cukup untuk makan hari berikutnya. Â Ketika diri makan maka hanya sekedarnya dan mengakibatkan lolos dari jaring petani. Â Ketika burung itu berlebihan maka otomatis akan mati konyol karena tertangkap oleh jaring petani. Â
Sebuah kesadaran diri burung yang sangat hebat yang mampu mengalah ego (ambisi diri) biar dikatakan lebih dibandingkan dengan burung yang lain. Burung sebagai makhluk yang derajat kesempurnaannya di bawah dengan manusia mau berpikir dengan bijak dalam aktivitas bekerja menjalankan profesinya untuk mencari bekal kehidupan. Â
Bagaimana diri kita yang dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun realitanya lebih bodoh dari burung tersebut? Â Ketika diri kita bekerja pun secara tidak sadar lebih memuja ego diri agar dikatakan sebagai manusia yang berprestasi. Â Nilai cukup yang seharusnya dimiliki sebagai bentuk penjara ego ternyata telah hilang. Â Hal ini karena diri selalu merasa kuatir dengan kehidupan esuk hari.Â
Kekhawatiran diri terhadap kehidupan besuk hari menjadikan diri selalu waspada dan berusaha untuk memastikannya. Â Maka ketika bekerjapun diri tidak pernah menikmati profesi yang dijalaninya karena orientasi bukan pada menjalankan aktivitas namun untuk kecukupan kehidupan esuk hari.
Hilangnya nilai profesi karena diri terpenjara oleh ego yang dimilikinya sendiri bukan oleh ego orang lain. Â Ketika profesi dijalankan dengan dasar ego maka aktivitasnya pun bukan untuk mengabdi (profesional) melainkan untuk sebuah prestasi. Â Karena perjuangan untuk mendapatkan prestasi membutuhkan pengorbanan yang tanpa di sadari dan berdampak pada ketidakseimbangan kehidupannya baik dengan dirinya sendiri-keluarga-manusia lain-ataupun dengan alam.
Apakah Diri Tak Butuh Prestasi Â
Jawabannya pasti diri butuh prestasi. Â Namun prestasi bukan merupakan obyek atau hasil dari kerja kita. Â Ketika diri beraktivitas dengan baik dan benar tanpa hadirnya ego diri serta memiliki niat yang tulus maka otomatis diri akan mendapatkan prestasi. Â Prestasi bukan gambaran materi yang di peroleh namun sebuah "rasa" penerimaan dan kepasrahan atas usaha yang dilakukan untuk menyeimbangkan kehidupan.
Petani butuh hasil yang maksimal dengan panen yang banyak. Â Usaha yang dilakukan atas dasar nilai yang tulus menjalani profesinya dengan baik dan benar tanpa ada usaha untuk keluar dari keseimbangan kehidupan. Â Keikhlasan dalam bekerja dan beraktivitas bukan berarti tidak butuh prestasi karena dirinya menganggap bahwa hasil panen adalah sebuah bekal yang cukup yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â
Keyakinan diri petani dengan beraktivitas seperti itu karena terbentuk dari keyakinan yang dimiliki bahwa rejeki adalah pemberian dari sang Pencipta. Â Besar kecilnya rejeki adalah cukup jika diri mau menerima apapun baik dalam kekeringan atau basah. Â Ketika diri ingin hasil yang besar dan melupakan keseimbangan pasti akan berbuat sebagai diri perusak keseimbangan kehidupan.