Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Santri, Antara Ngagem Peci dan Gondelan Sarung

21 Oktober 2021   11:26 Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:32 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Twitter/abcdefuxyz

Kata Santri, begitu kita dengar pasti pemahaman diri adalah mereka yang belajar di pondok pesantren.  Ciri utama santri adalah mereka yang selalu dalam keseharian memakai kopyah (peci) dan idententik dengan sarung.  Walaupun perkembangan jaman dan mode pakaian berkembang dengan pesat dan namun identitas itu tidak hilang dengan diri seorang santri.  Memang banyak pondok-pondok pesantren modern yang aktivitas pembelajarannya sudah tidak memakai sarung, akan tetapi identitas itu tetap merupakan pakaian utama dalam kehidupannya.

Pemakaian peci dan sarung bukan merupakan pakaian yang murahan dan sederhana serta mudah di dapatkan di manapun.  Namun jika diri kita kaji lebih mendalam dua identitas itu ternyata memiliki makna yang mendalam.  Bahkan menjadi sebuah nilai yang tertanam dalam diri santri dalam belajar di pondok pesantren terlebih yang bernaung di pondok-pondok pesantren NU. 

Ngagem Peci

Peci atau kopyah adalah merupakan penutup kepala atau topi khas yang sering dipakai oleh orang Indonesia.  Namun peci biasanya identik dengan santri karena dalam aktivitas keseharian mereka selalu menggunakan itu.  Memang itu bukan identitas santri aja namun semua orang boleh memakai dalam kehidupannya.

Ketika diri melihat orang berpeci maka dalam benak kita terlintas bahwa mereka yang memakai adalah memiliki kharisma dan ilmu, namun hal ini jika yang memakai adalah dengan benar.  Memang kadangkala kita melihat orang memakai peci tapi tidak melihat kharisma atau tingkat keilmuwannya melainkan malah seperti menunjukkan hal yang sebaliknya. Dalam hubungannya antara peci dengan santri maka akan banyak makna yang tersirat dan hal ini yang menunjukkan kharisma atau tingkat keilmuwan orang yang memakainya.  

Makna peci itu sendiri adalah pertama, dari letaknya.  Pemakaian peci pasti di kepala, ini menunjukkan bahwa peci adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi diatas diri manusia. Artinya bahwa dalam diri manusia haruslah memiliki sebuah nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan di dunia ini.  Nilai yang dijunjung tinggi akan turun dan menjadi prinsip dalam kehidupan manusia.  Nilai itu seharusnya merupakan nilai-nilai yang berasal dari ajaran.  Dan nilai itulah yang akan membentuk kharisma diri manusia si pemakai peci.

Nilai yang berasal dari ajaran inilah yang dalam diri santri disebut sebagai ketahuidan atau prinsip kehidupan yang berasal dari Tuhan.  Satu nilai inilah yang menjadi diri selalu berpegang teguh pada prinsip hidup dalam kehidupan di dunia.  Prinsip hidup akan di dapat jika diri memiliki ilmu, namun orang yang tidak berilmu maka tidak akan memiliki prinsip hidup yang baik. 

Memegang prinsip kehidupan merupakan hal utama dan harus ditegakkan, maka bukan hal yang aneh jika orang orang yang berpeci adalah mereka yang baik dan memiliki nilai spesial di mata orang lain.  Memang tidak jarang kita melihat "orang jahat" memakai peci dalam suatu acara.  Pemakaian ini adalah bentuk kamuflase bahwa agar diri mereka dikatakan orang baik dan bukan orang yang membuat kesalahan.  Sebuah ironi yang sering dilakukan agar diri dianggap baik hanya karena tampilan, namun sebetulnya diri kita akan tertawa jika melihat orang jahat memakai peci.

Implementasi pada diri santri adalah bahwa mereka belajar ajaran agama maka nilai-nilai yang dipejari harus dijunjung tinggi diatas kepala sebagai bentuk perjuangan dalam menjalankan kehidupan.  Satu nilai yang dijunjung tinggi ini merupakan kewajiban yang harus dipertahankan sebagai "tujuan" dalam kehidupan sehari-hari baik di pondok maupun di masyarakat.  Mengenalkan dan memperingatkan tentang nilai adalah tugas diri manusia yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran kepada diri manusia lain. 

Kedua, sebagai identitas. Sudah pasti bahwa ketika diri memakai peci pasti dalam benak orang yang melihat sudah bisa mengenali identitas umum yang selama ini menjadi pemahaman yang berlaku.  Baik itu identitas secara agama, budaya atau malah sebagai identitas berbangsa.  

Sebagai sebuah identitas maka implementasi pada santri adalah dalam kehidupannya diri dianggap sebagai orang yang paham akan ilmu agama.  Maka alangkah baiknya jika diri selalu memegang teguh prinsip hidup yang berdasarkan ajaran agama ini.  Maka ketika diri melakukan kekeliruan dampak yang diambil ibarat menyakiti orang yang memiliki identitas yang sama.

Sebagai seorang santri yang ngagem peci maka diharapkan selalu memperjuangkan nilai-nilai ajaran untuk kebaikan bersama bukan untuk kepentingan pribadi.  Karena tujuan hidup adalah menjaga keseimbangan yang sejalan dengan tugas sebagai khalifatul fil ardh.  Ketika diri manusia memakai peci akan tetapi tidak memegang nilai-nilai ajaran dan lebih mementingkan nilai-nilai pribadi maka ketidakseimbangan kehidupan pasti terjadi.  Hal ini berdampak pada rusaknya kehidupan di dunia ini.

Gondelan sarung

Prinsip gondelan sarung ketika diri kaji secara mendalam memiliki makna bahwa  "jangan sampai berbelok arah dari ajaran yang telah dicetuskan oleh para wali songo dan para kyai NU jika diri tidak tersesat yang berarti berpeganglah teguh dengan ajaran yang disampaikan oleh para Kyai NU. Hal ini berakibat bahwa sarung menjadi ikon kaum Nahdlatul Ulama bahkan para kyai pun ketika keseharian dan berpergian memakai sarung.  

 

Nilai Fanatisme dan loyalitas yang tinggi   warga Nahdiyin  kepada para Kyai maka sarung adalah menjadi budaya yang terus akan dijaganya.  Sehingga berdampak bahwa fanatisme dan loyalitas sarung mengakar menjadi pola pikir dalam hubungannya dengan akuntabilitas atau nilai kepercayaan dalam pondok pesantren untuk menyiapkan generasi menjadi ummat yang baik.  

Secara filosofi dengan berdasarkan hakekat sebuah sarung maka dapat ditarik sebuah hal yang melekat dalam sebuah sarung dari segi makna yaitu: pertama, Satu ikatan.  Pemakaian sarung yang umum adalah hanya dengan satu ikatan dipinggang pemakai tanpa menggunkan tali.  Hal ini dapat di artikan bahwa dalam diri seorang santri (manusia) hanya memiliki satu ikatan tujuan atau ketauhidan melalui ikatan pembelajaran yang dipimpin oleh Kyai.  

Nilai ketauhidan inilah yang menjadikan prinsip kehidupan diri manusia yang menjadikan diri menjadi manusia yang selalu memegang teguh prinsip hidup yang sesuai dengan ajaran agama.   Sehingga menjadikan diri sebagai manusia yang tangguh yang berpegang pada Ajaran dan tidak bersifat "mendua" dalam menjalani kehidupan ini.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu keterikatan kepada sang kyai sangatlah kuat.  Karena kyai sebagai simpul hidup yang diibaratkan sebagai konektivitas diri dengan Tuhan dalam belajar ajaran agar dapat menemukan jalan yang benar.  Ikatan yang kuat antara sang kyai dengan santri inilah yang menunjukkan nilai luhur yang kuat dan tidak luntur oleh perubahan kondisi zaman.

Kedua, tanpa jahitan.  Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah membutuhkan satu jahitan untuk menyambung antara ujung dan tidak memiliki perkembangan lain, jika ada mode sarung yang dijahit laksana celana pada hakekatnya itu bukanlah sarung. Satu jahitan adalah menyambung itulah bahwa hidup adalah satu aturan yang berasal dari Tuhan, ketika ditemui aturan yang lain maka itu adalah aturan yang dibuat untuk membatasi atau mempermudah kehidupan diri manusia.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu aturan yang ada dalam pondok.  Aturan itu adalah aturan yang berasal dari kyai yang dipercaya merupakan kristalisasi nilai-nilai dari ajaran. Satu aturan yang berasal dari kyai inilah yang dipegang teguh oleh ara santri dalam kehidupan di pesantren atau untuk kehidupan di masyarakat setelah khatam dalam mengaji.  Jika aturan-aturan lain maka sifatnya hanya menyederhanakan namun tidak mengurangi atau membatasi "point aturan" yang diberikan oleh kyai.

Ketiga, Kesederhanaan. Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah selembar kain sederhana yang tidak butuh aksesoris agar tampilan kelihatan cantik.  Kesederhanaan ini menggambarkan bahwa perjalanan hidup diri adalah kehidupan dalam nilai "cukup". Nilai "cukup" adalah bahwa diri dalam kehidupan harus dapat menjaga keseimbangan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, ataupun dengan dengan alam semesta. 

Nilai cukup ini menggambarkan bahwa diri manusia adalah tidak memiliki tujuan yang "neko-neko" dalam menjalankan tugas dari Tuhan.  Apabila nilai cukup diartikan lain maka diri sudah memiliki difinisi lain dari "kecukupan" sehingga berdampak pada dominasi unsur negatif mengalahkan unsur positif.  Maka pasti dampaknya adalah ketidakseimbangan kehidupan dan menjadikan diri lupa pada tugas yang di bawa.

Implementasi pada kehidupan santri maka diri manusia memiliki satu tugas penting yaitu tugas dari Tuhan.  Untuk melaksanakan tugas ini hanya santri hanya memiliki satu pola pikir yaitu "belajar" dan tidak "neko-neko" dalam kehidupan.  Ketika diri belajar dengan benar maka pemahaman tentang kehidupan yang baikpun akan dapat dipahami.  Dengan belajar bukan berarti diri santri menjadi "miskin"  tetapi menjadikan diri yang penuh dengan keseimbangan hidup.

Keempat, Pakaian yang longgar. Sebagai sebuah pakaian yang baik sarung memberikan kebebasan dan banyak memiliki nilai kebermanfaatan.  Makna kelonggaran atau kebebasan dan kebermanfaatan inilah yang menjadikan diri sebagai manusia yang diberi hak untuk "mengelola" baik manusia atau alam semesta, namun bukan sebuah kelonggaran yang mutlak tanpa ada aturan. 

Nilai longgar ibaratnya sarung merupakan pakaian multiguna yang bisa digunakan untuk dipakai dalam acara apapun dan bisa digunakan untuk ibadah, pakaian seharian, selimut bahkan bisa digunakan sebagai alat yang bersifat fleksibel (penutup kepala pada saat kehujanan atau sebagai alat untuk membungkus barang).

Implementasi pada kehidupan santri bahwa diri manusia harus siap berperan apapun dan dimanapun.  Selama itu adalah sejalan dengan tugas diri manusia sebagai makhluk yang sempurna yang memegang amanah sebagai khalifatullah.  Santri harus bersifat dinamis dan fleksibel karena berperan dalam mengajarkan "ilmu kehidupan yang benar" dan memiliki kebermanfaatan untuk siapapun dan apapun yang ada di dunia ini. 

Filosofi ngagem peci dan gondelan sarung adalah sebuah nilai yang harus ditanamkan pada diri santri agar bisa berperan dalam tugasnya sebagai motor penggerak untuk memberi peringatan dan pengajaran kepada manusia lain.  Namun memang tidak semua santri itu berpeci dan pakai sarung karena memakainya adalah bentuk "budaya" untuk memberikan "sesuatu yang beda".  Dan bukan berarti yang tidak memakai adalah bukan santri. Selamat hari santri, semoga selalu menjadi umat yang terbaik di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun