Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Santri, Antara Ngagem Peci dan Gondelan Sarung

21 Oktober 2021   11:26 Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:32 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Twitter/abcdefuxyz

Sebagai seorang santri yang ngagem peci maka diharapkan selalu memperjuangkan nilai-nilai ajaran untuk kebaikan bersama bukan untuk kepentingan pribadi.  Karena tujuan hidup adalah menjaga keseimbangan yang sejalan dengan tugas sebagai khalifatul fil ardh.  Ketika diri manusia memakai peci akan tetapi tidak memegang nilai-nilai ajaran dan lebih mementingkan nilai-nilai pribadi maka ketidakseimbangan kehidupan pasti terjadi.  Hal ini berdampak pada rusaknya kehidupan di dunia ini.

Gondelan sarung

Prinsip gondelan sarung ketika diri kaji secara mendalam memiliki makna bahwa  "jangan sampai berbelok arah dari ajaran yang telah dicetuskan oleh para wali songo dan para kyai NU jika diri tidak tersesat yang berarti berpeganglah teguh dengan ajaran yang disampaikan oleh para Kyai NU. Hal ini berakibat bahwa sarung menjadi ikon kaum Nahdlatul Ulama bahkan para kyai pun ketika keseharian dan berpergian memakai sarung.  

 

Sumber: Twitter/abcdefuxyz
Sumber: Twitter/abcdefuxyz

Nilai Fanatisme dan loyalitas yang tinggi   warga Nahdiyin  kepada para Kyai maka sarung adalah menjadi budaya yang terus akan dijaganya.  Sehingga berdampak bahwa fanatisme dan loyalitas sarung mengakar menjadi pola pikir dalam hubungannya dengan akuntabilitas atau nilai kepercayaan dalam pondok pesantren untuk menyiapkan generasi menjadi ummat yang baik.  

Secara filosofi dengan berdasarkan hakekat sebuah sarung maka dapat ditarik sebuah hal yang melekat dalam sebuah sarung dari segi makna yaitu: pertama, Satu ikatan.  Pemakaian sarung yang umum adalah hanya dengan satu ikatan dipinggang pemakai tanpa menggunkan tali.  Hal ini dapat di artikan bahwa dalam diri seorang santri (manusia) hanya memiliki satu ikatan tujuan atau ketauhidan melalui ikatan pembelajaran yang dipimpin oleh Kyai.  

Nilai ketauhidan inilah yang menjadikan prinsip kehidupan diri manusia yang menjadikan diri menjadi manusia yang selalu memegang teguh prinsip hidup yang sesuai dengan ajaran agama.   Sehingga menjadikan diri sebagai manusia yang tangguh yang berpegang pada Ajaran dan tidak bersifat "mendua" dalam menjalani kehidupan ini.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu keterikatan kepada sang kyai sangatlah kuat.  Karena kyai sebagai simpul hidup yang diibaratkan sebagai konektivitas diri dengan Tuhan dalam belajar ajaran agar dapat menemukan jalan yang benar.  Ikatan yang kuat antara sang kyai dengan santri inilah yang menunjukkan nilai luhur yang kuat dan tidak luntur oleh perubahan kondisi zaman.

Kedua, tanpa jahitan.  Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah membutuhkan satu jahitan untuk menyambung antara ujung dan tidak memiliki perkembangan lain, jika ada mode sarung yang dijahit laksana celana pada hakekatnya itu bukanlah sarung. Satu jahitan adalah menyambung itulah bahwa hidup adalah satu aturan yang berasal dari Tuhan, ketika ditemui aturan yang lain maka itu adalah aturan yang dibuat untuk membatasi atau mempermudah kehidupan diri manusia.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu aturan yang ada dalam pondok.  Aturan itu adalah aturan yang berasal dari kyai yang dipercaya merupakan kristalisasi nilai-nilai dari ajaran. Satu aturan yang berasal dari kyai inilah yang dipegang teguh oleh ara santri dalam kehidupan di pesantren atau untuk kehidupan di masyarakat setelah khatam dalam mengaji.  Jika aturan-aturan lain maka sifatnya hanya menyederhanakan namun tidak mengurangi atau membatasi "point aturan" yang diberikan oleh kyai.

Ketiga, Kesederhanaan. Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah selembar kain sederhana yang tidak butuh aksesoris agar tampilan kelihatan cantik.  Kesederhanaan ini menggambarkan bahwa perjalanan hidup diri adalah kehidupan dalam nilai "cukup". Nilai "cukup" adalah bahwa diri dalam kehidupan harus dapat menjaga keseimbangan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, ataupun dengan dengan alam semesta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun