Mohon tunggu...
Andi MuhaiminDarwis
Andi MuhaiminDarwis Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah. Sebelum kenangan indah terbuang sia-sia. Hargai hidupmu lebih dari siapapun itu.

Teknik Sipil 2015, Univ. Muhammadiyah Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Melihat Kasus Audrey dalam Dua Perspektif

12 April 2019   20:07 Diperbarui: 12 April 2019   20:12 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus bullying kembali terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat, 29 Maret yang lalu. Seketika, kasus ini menjadi trending di jagat media sosial. Kabar duka seorang pelajar itu rupanya menarik perhatian pengguna media sosial se-dunia.

Melalui beberapa artikel dan cuitan, saya dapat menyimpulkan bahwa inti dari kasus ini adalah tentang bullying akibat asmara yang berawal di media sosial dan berakhir pengeroyokan dengan luka fisik dan psikologi. Sebenarnya, yang memancing kegeraman adalah isu bahwa luka pendarahan pada tubuh dan perusakan alat kelamin korban yang marak beredar.

Sejujurnya selaku pemerhati pelajar, saya juga merasa iba mendengar kabar duka ini. Sesekali terlintas dalam sela aktivitas saya betapa kejinya pelaku pengeroyokan sehingga tega melakukan perusakan fisik dan mental. Terlebih lagi, itu dilakukan oleh komplotan siswi SMA terhadap seorang siswi yang notabene masih duduk di bangku SMP. Tentu sangat tidak sebanding.

Belajar dari beberapa kasus terakhir, bagaimana kebohongan Ratna Sarumpaet yang menghebohkan publik, membuat saya harus menahan komentar agar tidak mendahului hukum. Asal berkomentar dan menuding, kita dapat dikategorikan sebagai penerus dan distributor hoax.

Lebih tenang, saya mencoba melihat kasus ini dari dua sudut pandang yang mungkin terabaikan oleh publik yang sudah terlanjur emosi. Tak salah sebenarnya, karena itu tanda bahwa masih banyak orang yang peduli sampai-sampai mengajukan petisi dan disebarluaskan di jagat dunia maya.

Dari perspektif Audrey sebagai seorang korban, tentu sangat memprihatinkan membayangkan jika kita yang berada pada posisi korban. Tentu memiliki luka yang amat mendalam. Terlebih karena Audrey yang masih SMP sudah  menjadi korban kekerasan seksual.

Terlebih lagi karena kabar tersebut beredar luas di masyarakat. Terlebih lagi karena sebenarnya yang bermasalah bukan dirinya (Audrey). Bisa dibayangkan jika kasus ini telah selesai dan Audrey kembali bersekolah. Tentunya ini sangat berdampak pada psikologis Audrey yang menjadi perhatian seluruh siswa sekolah.

Audrey sebenarnya juga masih sangat merasa terancam jika telah keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat. Bukan main-main jika beliau diancam oleh 12 orang yang lebih berumur daripada dirinya. Apalagi Audrey (kabarnya) tidak mengenal semua orang yang mengeroyoknya. Tentu sangat mencekam bagi Audrey.

Kabar yang juga membuat geram adalah tentang pelaku pengeroyokan yang katanya dibackingi oleh aparat hukum. Dari perspektif ini, sebetulnya ada kemungkinan bahwa hasil visum adalah rekayasa. Bisa jadi pula, pihak kepolisian yang datang terlambat untuk memeriksa tubuh korban yang telah membaik. Toh, lewatnya sudah seminggu.

Setelah hasil visum oleh aparat kepolisian mencuat di media, maka terbitlah kewajiban untuk memandang hal ini dari sudut pandang yang baru, yaitu dari perspektif pelaku. Ada kejanggalan yang mendominasi kasus ini. Pertama, bahwa ternyata pelaku adalah teman sepergaulan dengan Audrey, yang katanya dikeroyok oleh orang tak dikenal. Cukup membingungkan.

Kedua, sebenarnya terdapat celah hukum disini. Pelaku mengatakan, bahwa korban adalah person yang berwatak kurang baik, terlebih di media sosial. Saya yakin bahwa setiap dari kita pernah memiliki pengalaman yang seperti ini.

Terkadang, ada percakapan yang begitu menyakitkan hati namun tidak dapat dijelaskan secara rinci alasan mengapa kita benci, melihat Audrey yang "junior" daripada pelaku. Person yang sebenarnya sudah tidak polos lagi, tergambar dari postingan-postingan media sosial Audrey beserta rambutnya yang telah diwarnai di usia belia.

Ketiga, kejadian ini baru dilaporkan korban kepada orang tuanya 5 hari setelah kejadian. Apakah memar dan bengkak pada wajah dan tubuh tidak dapat dilihat oleh orang tua korban?

Keempat, tentunya hasil visum membuktikan tak ada memar dan bekas kekerasan pada tubuh korban, terlebih pada area kemaluan yang membuat masyarakat geram.

Sekadar saran, sepertinya kita kurang bijak dalam menghadapi kasus seperti ini. Ada kesalahpahaman mengenai "mengecam" dan "meneror". Mengecam lebih kepada perilaku dan kasus yang terjadi, sedangkan meneror ini mengarah kepada individu pelaku berdasarkan kecaman yang sepertinya berlebihan. Mengapa berlebihan? Karena belum ada fakta mengenai kasus ini.

Kita boleh mengecam, namun menyerang pelaku di media sosial dan secara langsung terlalu dini untuk dilakukan. Lalu yang kita lakukan apa? Yah, sama dengan kasus di atas, bullying juga kan? Bukan berniat untuk membela pelaku, hanya saja sikap kita yang seperti itu bisa membunuh kedua pihak.

Sebelum menutup, izinkan saya mengucapkan rasa prihatin terhadap kasus yang menimpa adinda Audrey. Semoga hukum berpihak pada garis kebenaran, bukan aktor yang sedang berperan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun