Kasus bullying kembali terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat, 29 Maret yang lalu. Seketika, kasus ini menjadi trending di jagat media sosial. Kabar duka seorang pelajar itu rupanya menarik perhatian pengguna media sosial se-dunia.
Melalui beberapa artikel dan cuitan, saya dapat menyimpulkan bahwa inti dari kasus ini adalah tentang bullying akibat asmara yang berawal di media sosial dan berakhir pengeroyokan dengan luka fisik dan psikologi. Sebenarnya, yang memancing kegeraman adalah isu bahwa luka pendarahan pada tubuh dan perusakan alat kelamin korban yang marak beredar.
Sejujurnya selaku pemerhati pelajar, saya juga merasa iba mendengar kabar duka ini. Sesekali terlintas dalam sela aktivitas saya betapa kejinya pelaku pengeroyokan sehingga tega melakukan perusakan fisik dan mental. Terlebih lagi, itu dilakukan oleh komplotan siswi SMA terhadap seorang siswi yang notabene masih duduk di bangku SMP. Tentu sangat tidak sebanding.
Belajar dari beberapa kasus terakhir, bagaimana kebohongan Ratna Sarumpaet yang menghebohkan publik, membuat saya harus menahan komentar agar tidak mendahului hukum. Asal berkomentar dan menuding, kita dapat dikategorikan sebagai penerus dan distributor hoax.
Lebih tenang, saya mencoba melihat kasus ini dari dua sudut pandang yang mungkin terabaikan oleh publik yang sudah terlanjur emosi. Tak salah sebenarnya, karena itu tanda bahwa masih banyak orang yang peduli sampai-sampai mengajukan petisi dan disebarluaskan di jagat dunia maya.
Dari perspektif Audrey sebagai seorang korban, tentu sangat memprihatinkan membayangkan jika kita yang berada pada posisi korban. Tentu memiliki luka yang amat mendalam. Terlebih karena Audrey yang masih SMP sudah  menjadi korban kekerasan seksual.
Terlebih lagi karena kabar tersebut beredar luas di masyarakat. Terlebih lagi karena sebenarnya yang bermasalah bukan dirinya (Audrey). Bisa dibayangkan jika kasus ini telah selesai dan Audrey kembali bersekolah. Tentunya ini sangat berdampak pada psikologis Audrey yang menjadi perhatian seluruh siswa sekolah.
Audrey sebenarnya juga masih sangat merasa terancam jika telah keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat. Bukan main-main jika beliau diancam oleh 12 orang yang lebih berumur daripada dirinya. Apalagi Audrey (kabarnya) tidak mengenal semua orang yang mengeroyoknya. Tentu sangat mencekam bagi Audrey.
Kabar yang juga membuat geram adalah tentang pelaku pengeroyokan yang katanya dibackingi oleh aparat hukum. Dari perspektif ini, sebetulnya ada kemungkinan bahwa hasil visum adalah rekayasa. Bisa jadi pula, pihak kepolisian yang datang terlambat untuk memeriksa tubuh korban yang telah membaik. Toh, lewatnya sudah seminggu.
Setelah hasil visum oleh aparat kepolisian mencuat di media, maka terbitlah kewajiban untuk memandang hal ini dari sudut pandang yang baru, yaitu dari perspektif pelaku. Ada kejanggalan yang mendominasi kasus ini. Pertama, bahwa ternyata pelaku adalah teman sepergaulan dengan Audrey, yang katanya dikeroyok oleh orang tak dikenal. Cukup membingungkan.
Kedua, sebenarnya terdapat celah hukum disini. Pelaku mengatakan, bahwa korban adalah person yang berwatak kurang baik, terlebih di media sosial. Saya yakin bahwa setiap dari kita pernah memiliki pengalaman yang seperti ini.