Gas liar tersebut tidak stabil sehingga ketika ada warga yang tida mengetahui dan memanfaatkan gas tersebut sebagai kompor alam maka sebenarnya dia berada dekat sekali dengan bahaya kebakaran. Selain udara dan gas liar yang berpengaruh pada kehidupan korban bencana lumpur panas sidoarjo, dampak lain adalah kualitas air yang menurun. Sehinggga warga tak lagi bisa memanfaatkan air yang berasal dari sumur mereka, oleh karenanya mereka memanfaat air yang berasal dari donatur maupun sddikit bantuan dari pemerintah ataupun juga air yang mereka beli dari penjual keliling, demi memenuhi kebutuhan air hanya untuk minum.
Itulah sedikit gambaran umum tentang bancana lumpur sidoarjo yang sampai sekarang (2016) saya rasa belum selesai penanganannya. Mulai dari ganti rugi yang dijanjikan oleh PT Lapindo Brantas maupun perhatian pemerintah terkait hak – hak asasi warga korban lumpur panas sidoarjo ini pun belum kunjung usai, karena kehidupan mereka dalam bayang – bayang bahaya.Â
Karena tanggul sebagai produk buatan manusia tentunya memiliki kualitas yang berbeda dengan asli buatan Tuhan sehingga resiko jebol sangat besar jika pihak – pihak yang berada dalam lingkaran penanganan Lumpur panas Lapindo sidoarjo sedikit lalai memperhatikan cela pada tanggul yang telah dibuat. Semoga bencana ini memeberikan pelajaran bagi kita semua untuk lebih menghargai lingkungan dan tidak mengeksploitasi seenaknya, tanpa memberikan sesuatu imbalan yang tepat dan nyata untuk pelestarian alam, seperti reboisasi dll.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H