PEMILIHAN presiden merupakan salah satu rutinitas penting dalam sebuah negara demokrasi. Indonesia sendiri telah melewati berbagai dinamika pemilihan presiden sejak awal kemerdekaanya, mulai dipilih oleh PPKI, kemudian oleh MPR, sampai setelah reformasi 98 dilakukan pemilihan langsung berdasarkan suara mayoritas nasional yang dimulai pada tahun 2004; di mana suara dari seluruh rakyat Indonesia dihitung secara akumulasi di tingkat nasional.
Namun, masalah dominasi satu pulau yang terjadi dalam kurun waktu beberapa periode kepresiden terakhir ini, memunculkan sebuah wacana dan diskusi baru tentang kemungkinan perlunya mengubah skema pemilu presiden menjadi berbasis satu provinsi-satu suara. Ide ini menurut saya tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga akan mengundang perdebatan yang serius tentang kemungkinan dan konsekuensi atas ide ini.
Melalui tulisan ini, saya akan coba menjelajahi ide reformasi sistem pemilu ini dengan mengeksplorasi argumen berdasarkan kondisi Indonesia yang senyatanya saya rasakan dan lihat saat ini, serta mengidentifikasi potensi dan konsekuensi yang mungkin terjadi.
Indonesia, bukan Jawanesia
Indonesia terbentuk dari banyak keragaman budaya, bahasa, agama, dan etnis yang membentuk identitas nasional yang kuat, dimana Pulau Jawa memang menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi. Penting untuk diingat bahwa Indonesia bukan hanya sekedar Jawa.
Menjelang Pilpres, sering kali terjadi dinamika dan kritik tentang pemusatan perhatian pada satu pulau, Pulau Jawa, di mana populasi pemilih terbesar Indonesia berada. Namun kita harus selalu mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang heterogen, yang punya masalah, aspirasi, dan kebutuhan yang berbeda di setiap provinsi. Oleh karena itu, kebijakan, diskursus diskusi dan kampanye politik harus mencerminkan keragaman ini dan memastikan bahwa kepentingan seluruh daerah diwakili dengan baik.
Perpolitikan Indonesia, terutama dalam hal Pilpres jangan lagi sebatas otak-atik pasangan dengan tujuan untuk menguasai suara mayoritas di satu pulau; yang membuat arus perhatian publik hanya berada di lingkaran itu. Sehingga isu-isu yang terjadi di pulau lain sama sekali tidak diperhatikan. Seperti halnya kasus penggusuran masyarakat Rempang dan kasus lainnya yang sama sekali tidak menjadi wacana publik untuk didiskusikan oleh para calon karena secara kuantitas pemilih berbeda jauh dengan yang ada di Jawa.
Pemilihan presiden adalah momen penting, di mana rakyat Indonesia memiliki hak untuk memilih pemimpin yang akan memimpin mereka dan membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat perlu untuk menjaga proses Pilpres sebagai sarana yang adil, inklusif, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dikotomi Jawanesia sudah saatnya dihentikan, kepada para praktisi dan pelaku politisi nasional, sudah harus mulai memperluas skop pembicaraan dan perhatiannya pada Indonesia yang utuh, Â Indonesia secara keseluruhan, dengan cara itu kita bisa membuat harapan bahwa kebijakan publik dan tindakan pemerintah dapat mencerminkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
Reformasi Skema Pilpres Berbasis Satu Provinsi-Satu Suara
Konteks politik Indonesia sebagai negara kesatuan, sudah seharusnya tidak hanya mencakup kepentingan dan realitas Pulau Jawa, melainkan seluruh aspek kehidupan di setiap daerah yang tergabung dalam NKRI. Berangkat dari latar belakang masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka perlu dilakukan reformasi sistem pemilu dengan skema yang lebih baik; yang tidak hanya menyangkut tata cara teknis dalam pemilihan presiden, tetapi juga menjadi cermin dari semangat desentralisasi dan perwakilan seluruh Indonesia dalam ranah politik.
Salah satu tawaran yang menurut saya ideal adalah dengan menghapus sitem pemilu yang berbasiskan akumulasi suara mayoritas nasional menjadi berbasis 'Satu Provinsi, Satu Suara'. Dimana pemilihan umum pilpres dilakukan di tiap-tipa provinsi, kemudian kandidat dengan suara mayoritas di provinsi tersebut merepresentasikan satu suara di tingkat nasionalnya.
Misalnya Provinsi NTB dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT tahun 2024) sebanyak 3.918.291 pemilih, harus memilih salah satu dari tiga kandidat capres A, B atau C. Jika calon A menang suara mayoritas di Provinsi NTB, maka di tingkat nasional NTB mewakili satu suara Calon A. Sehingga dari 38 provinsi yang dimiliki Indonesia saat ini, calon presiden A minimal harus menang di 20 provinsi untuk bisa menjadi presiden (50+1 %).
Dengan skema ini kita akan mendapati bahwa keseluruhan Indonesia akan memiliki representasi yang lebih merata dalam menentukan keterpilihan, dan memastikan bahwa suara setiap daerah didengar dan diperhitungkan secara proporsional.
Reformasi ini akan memungkinkan tiap provinsi untuk memberikan kontribusi suara yang lebih seimbang dalam menentukan arah politik nasional; memberikan kesempatan bagi aspirasi dan kebutuhan setiap wilayah untuk didengar di tingkat nasional.
Salah satu negara yang memiliki sistem pemilihan presiden yang mirip dengan ide satu provinsi satu suara ini adalah Amerika Serikat. Mereka menggunakan bentuk negara federal yang masing-masing negara bagiannya mempunyai otonomi sendiri, namun jika ingin di bawa ke konteks Indonesia yang bentuk negaranya adalah negara kesatuan, maka representasinya dapat melalui keterwakilan provinsi tanpa harus mengubah bentuk negara menjadi negara federal.
Dengan cara itu, representasi suara dapat dilakukan dengan lebih merata untuk seluruh provinsi. Cara ini juga dapat memaksa kandidat presiden untuk berkampanye di seluruh negeri, bukan hanya di wilayah berpenduduk padat saja.
Implikasi Sistem Pemilu Presiden Skema Satu Provinsi-Satu Suara
Merubah suatu UU, terlebih UU Sistem Pemilu tentunya tidak akan mudah, dan mungkin saja dapat menimbulkan gejolak yang tidak kecil. Tapi sebagai hasil dari ide manusia, hampir tidak mungkin kita bisa membuat sebuah kebijakan sosial yang sempurna, pasti akan ada saja pro-kontranya. Namun yang pasti, kita perlu terus berusaha dan mengupayakan untuk menemukan sebuah bentuk terbaik dari sistem bernegara kita, termasuk dalam hal pemilihan pemimpin nasional.
Ada beberapa implikasi positif menurut saya yang bisa didapatkan dengan menggunakan sekema satu provinsi-satu suara, diataranya adalah dapat memperkuat kembali asas desentralisasi.
Bangsa kita memang telah mengadopsi asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan sejak setelah peristiwa reformasi 98, namun belakangan ini sangat terasa bagaimana sentralisasi mulai dikembalikan; dimana keterlibatan pusat kembali menjadi lebih dominan.
Dengan mengubah skema pemilihan presiden menjadi berbasis satu provinsi satu suara, kita dapat lebih mempertegas nilai dan prinsip desentralisasi ini. Setiap provinsi akan memiliki suara yang setara, memastikan bahwa tidak ada daerah yang merasa diabaikan atau terpinggirkan dalam pemilihan presiden. Ini akan membantu menguatkan ikatan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah di seluruh negeri.
Semakin kuat asas desentralisasi, maka hal ini dapat mengurangi dominasi wilayah terpadat, dimana tiap-tiap daerah diberikan kewenangan lebih dalam mengelola fungsi manajemen dan administrasi.
Dikarenakan dalam sistem pemilihan presiden berbasis suara mayoritas nasional, kandidat presiden cenderung berfokus pada kampanye di daerah dengan populasi terbesar seperti Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi. Ini bisa mengakibatkan ketidaksetaraan dalam pemberian perhatian dan sumber daya kepada daerah-daerah yang lebih kecil dan terpencil.
Dengan sistem satu provinsi-satu suara, perhatian akan jauh lebih merata terdistribusi. Para kandidat akan dipaksa untuk berkomunikasi langsung dengan pemilih di seluruh wilayah, bukan hanya di wilayah yang memiliki populasi besar.
Masalah sistem pemilu presiden yang dilakukan selama ini menyebkan rendahnya partisi politik di beberapa daerah karena merasa termarjinalkan, misalnya saja di 2019 lalu, Papua, Papua Barat dan NTT dilaporkan memiliki tingkat partisipasi politik yang paling rendah. Sehingga dengan adanya sistem satu provinsi-satu suara dimungkin bisa mendorong partisipasi politik lokal menjadi lebih tinggi.
Selain itu, pemilihan presiden dengan sistem yang ada saat ini sering kali memusatkan perhatian pada figur nasional tanpa banyak peran bagi pemimpin lokal. Dengan skema baru ini, setiap tokoh di berbagai provinsi akan memiliki kesempatan untuk tampil dan mendorong mereka untuk lebih aktif dalam politik nasional.
Implementasi sistem ini juga dapat meningkatkan responsifitas terhadap isu lokal, seperti halnya yang saya singgung di awal-awal tulisan tentang kasus-kasus yang terjadi di luar pulau jawa, yang tidak masuk dalam diskusi politik nasional.
Yang menjadi tantangannya, tidak mudah untuk melakukan perubahan terhadap suatu perundang-undangan. Dibutuhkan kemauan dan kekuatan politik yang besar, karena jalan satu-satunya untuk mewujudkan ide ini hanya bisa dilakukan lewat jalur parlemen legislatif sebagai lembaga pembentuk UU.
Banyak yang berpendapat, dikarenakan sistem birokrasi pemerintahan kita yang masih belum kuat, implementasi skema ini dikhawatirkan dapat memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah daerah, seperti misalnya memanfaatkan kekuasaannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan dengan menggunakan fasilitas dan wewenang mereka dalam mendukung kandidat tertentu dengan cara-cara yang tindak etis.
Namun dalam hemat saya, masalah seperti itu tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga terjadi di pusat, sehingga potensi penyalahgunaan ini dapat diminimalisasi dengan memperkuat sistem pemantauan dan pengawasan selama tahap pemilihan berlangsung, atau mungkin dengan menggunakan teknologi modern yang lebih efektif dan efisien.
Pada akhirnya, dalam keseluruhan analisis dan argumentasi dalam tulisan ini, ide perubahan skema pemilihan presiden ini semata-mata hanyalah harapan dalam rangka untuk memperkuat demokrasi Indonesia, dan memastikan bahwa semua rakyat Indonesia di berbagai daerah memiliki suara yang terwakilkan secara setara dalam pemilihan presidennya sebagai pemimpin nasional. Dan karena penjelasan yang masih kurang mendalam, serta data dan referensi yang masih minim, sehingga masih perlu didiskusikan lebih jauh, terutama pada sisi implikasi negatif dari skema ini.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H