"Akses dan fasilitas pendidikan adalah hal yang fundamental sekaligus pintu awal bukti hadirnya negara dalam memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak bangsa."
Pada tahun 1948, PBB pernah mengeluarkan suatu deklarasi terkait tentang Hak Asasi Manusia (HAM), namanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR), isinya adalah pondasi-pondasi utama terkait HAM yang harus dilaksanakan oleh setiap negara. Dari deklarasi tersebut, dibuatlah beberapa perjanjian internasional terkait HAM, salah satunya adalah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) yang kemudian ditetapkan pada tahun 1966.
Indonesia sendiri sudah meratifikasi ICESCR tersebut ke dalam UU 11 Tahun 2005, salah satunya menyorot tentang pendidikan, seperti di Pasal 13 ayat (2) huruf a: setiap negara menyediakan layanan wajib belajar pada pendidikan dasar secara cuma-cuma bagi semua orang. Namun jauh sebelum hal itu, Indonesia sudah lebih dahulu membuat norma-normanya sendiri terkait HAM dalam UUD 1945 kita; dalam Pasal 31 ayat (2) menyebutkan "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Â Ketentuan ini pun diejawantahkan dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang intinya menyebutkan bahwa pendidikan dasar ini artinya untuk jenjang di SD dan SMP.
Pada tahun 1950, pertama kalinya ada UU terkait pendidikan, pemerintah menerapkan wajib belajar 6 tahun (SD), sejak tahun 1989 seiring diubahnya UU Sisdiknas, wajib belajar menjadi 9 tahun, dimana pendidikan dasar tersebut adalah SD dan SMP.
Pasal 13 ayat (2) merupakan pondasi berbasis internasional yang menyampaikan konten terkait "wajib belajar", sehingga pendidikan dasar itu harus diberikan oleh negara, secara gratis. Dari dasar-dasar hukum tersebut, kita bisa membuat kriteria apa saja yang bisa dilakukan untuk memenuhi wajib belajar tersebut ke dalam beberapa poin: 1). Daya tampung dengan anak usia wajib belajar tercukupi; 2). Pembiayaan oleh negara; dan 3). Orangtua memastikan anak-anaknya masuk ke jenjang SD dan SMP paling minimal.
Tentu untuk mewujudkan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab sampai hari ini masih banyak ditemukan permasalah dalam tiga pembagian di atas, terutama pada poin nomor satu dan dua. Untuk membuktikan pernyataan ini, mari kita bedah satu per satu.
Daya Tampung
Berdasarkan olahan data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) dan Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dapodik Kemdikbud) terlihat bahwa untuk penduduk usia 7-12 tahun (Usia SD) berjumlah 28 juta jiwa, daya tampungnya sebanyak 27 juta untuk sekolah negeri, dan 4 juta untuk sekolah swasta. Terlepas masih banyaknya permasalahan akses dan fasilitas pendidikan, pada jenjang SD, digabung dengan swasta, daya tampung terlihat tercukupi. Namun untuk SMP lebih parah, anak usia 13-15 tahunnya ada sebanyak 13,6 juta jiwa, tapi daya tampungnya untuk sekolah negeri hanya sebanyak 8 juta, dan 3 juta untuk sekolah swasta. Jika dijumlahkan menjadi 11 juta, yang artinya masih kurang sebanyak 2,6 juta daya tampung.
Bisa dibayangkan, dari data di atas negara secara sistematis "telah membiarkan" 2 juta anak Indonesia tidak bisa masuk ke jenjang SMP/sederajat, padahal SMP adalah bagian dari mandat wajib belajar yang juga dilindungi oleh konstitusi. Ini pun masih dibantu oleh swasta yang operasionalnya dibiayai sendiri oleh yayasan sekolah, jadi seharunya sekolah swasta hanya menjadi opsi saja ketika orang tua atau si anak tidak ingin masuk di sekolah negeri dengan berbagai alasannya.
Anggaran Pendidikan
Sekarang kita masuk ke anggaran, kita bedah berapa besar anggaran pendidikan dasar (SD dan SMP) yang disiapkan oleh negara?